Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak, Kartel Politik dan Kuasa Oligarki

24 September 2013   02:09 Diperbarui: 6 Desember 2015   19:17 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Pilkada Serental (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption]

Pemerintah akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah Serentak atau dikenal dengan "Pilkada Serentak" pada tanggal 09 Desember 2015 di 219 kabupaten, 33 kota dan 9 Provinsi. Tentu, hasil Pilkada serentak ini diharapkan melahirkan pemimpin yang adil, amanah, mencintai rakyat dan tidak korup.

Pilkada langsung adalah produk dari reformasi tahun 1998, dengan berlakunya otonomi daerah (Otda) di Indonesia. Otda lahir berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya Otda telah mengubah paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, serta terjadinya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi langsung.

Kepala daerah yang dipilih langsung sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004, pada awalnya diharapkan membawa perubahan di daerah. Namun pada prakteknya, sebagian besar kepala daerah yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, diantaranya tidak memiliki kompetensi, terlibat penyalahgunaan jabatan, tidak memiliki moral yang baik, dan yang memperihatinkan, hampir 70% Bupati/Walikota terlibat dalam tindak pidana Korupsi. 

Diakui, ada Kepala Daerah yang berkualitas dari hasil Pilkada seperti Ahmad Heryawan, Ridwan Kamil, Rismawati, Ahok dan lain-lain.  Namun, pemimpin daerah yang berkualitas dan kreatif masih bisa dihitung dengan jari.  Pertanyaannya, kenapa proses demokratisasi di daerah sebagian besar menghasilkan Pemimpin yang kurang berkualitas?

Kita bisa cermati dari proses rekrutmen calon pemimpin daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota. Sebagian besar calon pemimpin daerah dihadapkan kepada realita politik, bertarung dalam kompetisi politik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan kendaraan politik saja mereka harus mengeluarkan "mahar" yang tidak sedikit.

Kemudian dalam tahapan Pilkada, mulai dari penetapan calon di Komisi Pemihan Umum (KPU), masa kampanye dan pasca Pilkada, milyaran rupiah harus digelontorkan oleh masing-masing calon. Implikasinya, hanya calon dengan "banyak amunisi" yang memiliki kesempatan untuk ikut bertarung di Pilkada.

Sedangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi tersisih dari panggung politik. Yang akan terjadi dalam Pilkada adalah lahirnya "Kartel Politik", yakni partai politik hanya mendukung calon kepala daerah berdasarkan "Mahar" yang diterima. Bahkan ada praktek "memborong" semua partai sebagai kendaraan politik untuk maju di Pilkada. Seperti di Provinsi Lampung, beberapa Bupati/Walikota dikuasai oleh "Koalisi Besar" dan hanya melawan pasangan Independen atau pasangan calon yang hanya di dukung satu partai saja.

Muara akhir dari praktek "kartel politik" adalah lahirnya kuasa Oligarki di daerah-daerah. Pemimpin daerah yang terpilih, terlebih dahulu akan "melunasi" ongkos politik yang telah dikeluarkan. Untuk itu, dengan kewenangan yang dimilikinya, mengontrol dan memanfaatkan sistem yang ada untuk menguasai sumber kekuatan ekonomi politik. Mereka membangun relasi-relasi secara eksklusif dengan menciptakan elit-elit politik berdasarkan kedekatan keluarga, pertemanan atau loyalis. Mereka hanya bersinggungan dengan kepentingan sendiri dan menjauhkan diri dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Duduk di kuasa oligarki tentu saja membuat semua pemimpin daerah merasa "nyaman", oleh karena itu kekuasaannya harus dipertahankan dengan segala cara. Hal ini bisa kita lihat dalam praktek Pilkada di daerah, dimana calon pemimpin daerah petahana mengerahkan semua sumberdaya yang ada, baik melalui birokrasi, program daerah, bahkan dana APBD digunakan untuk memenangkan kembali kursi kekuasaannya.

Bahkan ada kecenderungan di daerah-daerah, para "pemimpin incumbent" sudah menyiapkan pewaris tahta untuk melanggengkan dinasti kekuasaannya, baik itu pasangannya (suami/istri), anak maupun sanak saudaranya.

Secara tidak langsung, praktek politik Oligarki diatas telah mengkooptasi proses demokrasi itu sendiri. Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Jeffrey A Winters, sistem demokrasi di Indonesia memang telah disandera oleh oligarki dengan mengandalkan kekuasaan material dalam kegiatan politiknya.

Memang, demokrasi "captured by" oligarki tidak hanya terjadi di Indonesia, namun praktek politik uang untuk meraih kekuasaan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.

Dengan "politik padat modal" tidak akan muncul pemimpin yang kreatif dan berkualitas. Calon pemimpin kreatif lain seperti Ridwan Kamil dan Rismawati sulit muncul jika "Kartel Politik" masih ada. 

Jika rakyat Indonesia "salah memilih" pemimpin dalam Pilkada Serentak, maka yang akan terjadi adalah "Langgengnya Kuasa Oligarki" di Indonesia. Jangan harap akan ada perubahan signifikan di daerah jika kepala daerahnya masih memiliki "mental inlander", KKN menjadi panglima, dan menjual "kepentingan rakyat" untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Salahsatu cara mencegah kembalinya "kuasa oligarki" adalah dengan melibatkan kekuatan politik kaum miskin atau marginal serta akar rumput lainnya. Dengan advokasi, secara perlahan, berikan pemahaman bahwa memilih pemimpin tidak semata karena uang, keturunan atau nama besar (popularitas).

Selanjutnya, mengajak media massa dan kekuatan masyarakat sipil lainnya untuk  turut serta mengawasi Pilkada serentak ini agar kecurangan-kecurangan bisa diminimalisir.

Pemimpin daerah harus direkrut berdasarkan rekam jejak dan kompetensinya, tidak boleh dilihat dari sisi "kekayaan" dan "kepopulerannya". Masih banyak calon-calon pemimpin yang baik di daerah-daerah.

Langkah tersebut akan mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar memilih pemimpin daerah, menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan pembangunan sebagai proses pembebasan atau kemerdekaan hakiki.

Selamat melaksanakan Pilkada Serentak.

Oleh : Muhammad Ridwan, Citizen Reporter di Mediawarga.info 

 

Baca juga:

Tentara, Politik dan Isu Kudeta

Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri

Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Saran dari IMF?

Analisis Marxis Tentang Islam Politik

Dari Tun Abdul Razak ke Najib Razak, Lompatan Besar Mahathir dan Relasi Sosial di Malaysia

Radikalisme Islam bukan Produk Impor, tapi "Home Ground"

Detik-detik Menentukan Perubahan Piagam Jakarta

Kelompok Syiah Rencanakan "Revolusi" Tahun 2018?

Jokowi SalahSatu Pemimpin Muslim Terkuat, tapi "Lembek" Soal Konflik di Suriah

Konflik Yaman, Perang Terselubung Arab Saudi-Iran

HTI Tidak Mengakui ISIS Sebagai Negara Islam

Perceraian Kang Jalal, Allah Pecah-Belah Rencana Makar Syiah di Indonesia

Lembaran Putih Petisi 50, Mengingat Kembali Tragedi Tanjung Priok 1984

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun