Secara tidak langsung, praktek politik Oligarki diatas telah mengkooptasi proses demokrasi itu sendiri. Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Jeffrey A Winters, sistem demokrasi di Indonesia memang telah disandera oleh oligarki dengan mengandalkan kekuasaan material dalam kegiatan politiknya.
Memang, demokrasi "captured by" oligarki tidak hanya terjadi di Indonesia, namun praktek politik uang untuk meraih kekuasaan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
Dengan "politik padat modal" tidak akan muncul pemimpin yang kreatif dan berkualitas. Calon pemimpin kreatif lain seperti Ridwan Kamil dan Rismawati sulit muncul jika "Kartel Politik" masih ada.Â
Jika rakyat Indonesia "salah memilih" pemimpin dalam Pilkada Serentak, maka yang akan terjadi adalah "Langgengnya Kuasa Oligarki" di Indonesia. Jangan harap akan ada perubahan signifikan di daerah jika kepala daerahnya masih memiliki "mental inlander", KKN menjadi panglima, dan menjual "kepentingan rakyat" untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Salahsatu cara mencegah kembalinya "kuasa oligarki" adalah dengan melibatkan kekuatan politik kaum miskin atau marginal serta akar rumput lainnya. Dengan advokasi, secara perlahan, berikan pemahaman bahwa memilih pemimpin tidak semata karena uang, keturunan atau nama besar (popularitas).
Selanjutnya, mengajak media massa dan kekuatan masyarakat sipil lainnya untuk turut serta mengawasi Pilkada serentak ini agar kecurangan-kecurangan bisa diminimalisir.
Pemimpin daerah harus direkrut berdasarkan rekam jejak dan kompetensinya, tidak boleh dilihat dari sisi "kekayaan" dan "kepopulerannya". Masih banyak calon-calon pemimpin yang baik di daerah-daerah.
Langkah tersebut akan mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar memilih pemimpin daerah, menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan pembangunan sebagai proses pembebasan atau kemerdekaan hakiki.
Selamat melaksanakan Pilkada Serentak.
Oleh : Muhammad Ridwan, Citizen Reporter di Mediawarga.infoÂ
Â