Mohon tunggu...
Rida Nugrahawati
Rida Nugrahawati Mohon Tunggu... karyawan -

-- Penyuka Imajinasi dan Cerita Fiksi -- 🏡 Kuningan-Jabar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Rindu dan Gunung Ciremai

11 Januari 2019   13:39 Diperbarui: 11 Januari 2019   13:46 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, apa kabar rindu. Sudah lama kau tak menyapaku. Sudah lama kau tak berjumpa denganku. Sudah lama pula diriku menyimpan puing-puing kerinduan.

Tak ada yang dapat aku lakukan. Selain terus mendoakanmu. Mendoakan kepergianmu. Semoga saja kepergianmu membawa kebahagiaan untukku.

Kebahagiaannya, dapat berbentuk kau kembali denganku. Atau aku menemukan kerinduan yang lebih baik daripada rinduku padamu. Rasanya aku ingin berteriak sekeras-kerasnya di atas gunung yang tinggi dan berkata bahwa.

"Aku sangat merindukanmu."

Mengapa di atas gunung? Karena di sana tempat yang tinggi. Tak mungkin engkau mendengarnya. Karena kau bukan siapa-siapa lagi. Mungkin akan lebih baik jika aku merealisasikan keinginanku tersebut.

Keinginan untuk pergi mendaki gunung. Dan jika sudah sampai puncak aku akan berkata sekeras-kerasnya bahwa.

"Aku sangat merindukanmu, rindu dan sangat rindu, rindu...."

Mungkin hanya dengan seperti itu, rinduku akan terobati.

***

"Citra, apakah kamu masih sering mendaki gunung?." Tanyaku dalam telepon.

"Masih, memang kenapa Bunga?." Tanyanya.

"Dapatkah aku ikut denganmu mendaki? Kali ini saja." Pintaku.

"Boleh, kebetulan besok 17 Agustus, aku dan teman-temanku akan mendaki Gunung Ciremai. Gunung tertinggi di Jawa Barat itu." Ajaknya.

"Jika begitu aku ikut." Kataku.

"Baiklah, apakah kamu punya peralatan untuk mendaki?." Tanyanya.

"Ada, kakak laki-laki Bunga dulu sering mendaki gunung. Jadi akan berangkat kapan?." Tanyaku.

"Eh kita akan berangkat sekarang. Kita berkumpul di rumahku. Kita akan merasakan tepat 17 Agustus di atas gunung sana." Katanya.

"Baiklah, aku akan bersiap-siap kemudian pergi ke rumahmu. Sampai jumpa." Kataku.

***

"Citra mengapa kita berangkat sore hari?." Tanyaku, sambil berjalan menuju rumahnya. Di sana terlihat beberapa orang memakai pakaian pendaki.

"Kita akan berangkat menuju Kuningan dulu, diperkirakan sampai pukul 8 atau 9. Istirahat sebentar dan melakukan perjalanan malam hari lewat jalur Palutungan." Katanya.

"Memang biasanya mendaki gunung itu malam hari ya?." Tanyaku.

"Iya Bunga, agar tak terasa cape. Agar dapat melihat sunset di atas gunung juga. Itu sangat indah. Pasti kau tak pernah merasakannya." Katanya sambil tertawa.

"Hm, kamu mengejekku Citra." Kataku sambil duduk di sampingnya.

"Jadi mengapa banyak sekali makanan yang kau bawa Bunga?." Tanya Citra.

"Aku sebenarnya tak ingin membawa makanan sebanyak ini. Tapi ibu memaksaku." Kataku.

"Dasar anak mami." Kata Citra sambil menertawakanku.

Beberapa saat kemudian mobil datang untuk mengantar kami menuju Kuningan. Aku duduk di depan samping sopir. Karena Citra tahu, aku sering mabuk perjalanan. Aku juga langsung meminum obat anti mabuk dan badanku di hangatkan oleh minyak penghangat tubuh agar tak masuk angin.

Akhirnya kita sampai pukul 21.00 WIB. Istirahat sebentar dan melanjutkan perjalanan kembali. Ternyata di sana kita bertemu banyak rombongan. Jadi tambah bersemangat untuk mendaki gunung.

Tak lupa memakai jaket dan membawa senter. Katanya jika mendaki gunung tak boleh banyak minum. Karena akan terasa capenya. Tak boleh berkata sembarangan dan selalu berdoa. Dan masih banyak peraturan yang harus kita patuhi ketika mendaki gunung.

Di sepanjang perjalanan terdengar suara jangkrik dan kodok. Banyak juga kelelawar dan kunang-kunang. Aku sangat menikmati suasana malam mendaki gunung. Ini pengalaman pertamaku. Rindu ini mengakibatkanku pergi mendaki gunung, hanya untuk berteriak dari atas gunung bahwa aku sangat merindukannya.

"Baru kali ini aku melihatmu. Kamu siapa? Eh anaknya Pak Reza Rahardian yang guru itu ya?." Tanya bapak-bapak.

"Iya aku baru pertama kesini pak, aku anaknya pak Reza. Bapak mengenalnya?" Jawabku.

"Ia sahabat bapak sampai sekarang. Jika di lihat-lihat kamu mirip sekali dengan bapakmu. Kamu masih ingat kita pernah bertemu di mal itu?." Tanyanya.

"Apa tujuanmu mendaki gunung ini?." Tanyanya lagi.

"Oh iya pak aku masih ingat, bapak yang memberikan dodol kepadaku. Pak Gunawan ya. Tujuanku mendaki itu, sejujurnya aku sedang rindu seseorang. Dan entah mengapa aku ingin naik gunung dan berteriak bahwa aku sangat merindukannya." Kataku.

"Memang siapa sosok yang kamu rindukan?." Tanyanya.

"Ia seseorang yang aku cintai. Namun ia menjauhiku. Ia menjauhiku karena akan melanjutkan pendidikannya. Aku sangat merindukannya pak." Aku bercerita jujur.

"Nak, tenang saja. Yakinlah pada ketetapan Tuhan. Jika kamu merindukan seseorang segera doakan orang itu. Atau ajak bertemu saja." Katanya sambil tersenyum.

"Tak mungkin aku mengajaknya bertemu, aku kan wanita pak. Ia juga entah di mana sekarang." Kataku.

"Memang ya semua wanita punya gengsi yang tinggi." Katanya sambil tertawa.

"Memang iya pak, ya namanya juga wanita." Kataku sambil tertawa.

"Ya sudah, saya duluan ya. Semoga hatimu lega setelah berteriak di atas gunung sana." Katanya sambil menepuk bahuku.

"Iya pak, semoga." Kataku.

Ternyata naik gunung tak semudah dalam bayangan. Pegal dan mengapa lama, untuk sampai puncak itu lama. Beberapa kali kita beristirahat di pos-pos peristirahatan. Untung saja fisikku kuat karena sering olahraga lari. Dan itu sangat berpengaruh.

***

Kita sampai ke puncak gunung sekitar pukul 04.00 WIB. Menunggu sunset datang bersama rombongan.

"Citra mengapa di sini banyak sekali orang?." Tanyaku, karena aku berpikir bagaimana jika nanti aku berteriak dan banyak orang yang mendengarku.

"Soalnya berpas-pasan tanggal 17 Agustus juga, jadi banyak yang mengabadikan momen kemerdekaan di atas gunung. Biasanya berpose sambil memegang bendera merah putih." Jawabnya.

"Oh begitu, apakah aku boleh berteriak di sini?." Tanyaku.

"Untuk apa kamu berteriak?." Tanyanya, sambil tertawa keras sekali.

"Aku sedang merindukan seseorang Citra, makanya aku ingin mendaki. Karena dengan cara berteriak di atas gunung, rinduku padanya dapat terobati." Kataku.

"Ya sudah kita cari tempat yang sepi saja." Ajaknya.

"Oke." Kataku.

Kita berdua mencari-cari tempat yang sepi. Dari kejauhan terlihat pak Gunawan yang tadi mengobrol denganku di perjalanan. Ia sedang duduk sendiri.

"Apa kau sudah berteriak, sekarang kan kamu sudah di puncak gunung?." Tanya pak Gunawan itu.

"Aku ingin berteriak, apakah boleh aku berteriak di sini saja?." Tanyaku.

"Silakan, lagi pula di sini hanya ada bapak seorang." Katanya.

Aku berdiri di samping bapak itu dan berteriak bahwa.

"Aku merindukanmu Aji...."

"Aku rinduuuu...."

Pak Gunawan batuk, aku melirik ke arahnya. Kemudian ia bertanya.

"Aji mana yang kau maksud, anak bapak juga namanya Aji?." Tanyanya sambil tertawa.

"Hm bapak tak mungkin tahu." Kataku.

"Bolehlah bapak jodohkan dengan anak bapak karena sama-sama bernama Aji. Ia pria baik loh." Katanya sambil tertawa.

"Hm tidaklah pak, tapi hatiku sudah lega sekarang. Puing-puing rindu sudah aku ucapkan di atas gunung ini." Kataku.

"Sebentar, kamu tunggu di sini dulu ya." Kata pak Gunawan sambil pergi meninggalkanku.

***

Samar-samar dari kejauhan aku melihat pak Gunawan bersama sosok pria. Terlihat samar-samar, yang jelas hanya mata coklat yang terpancar tajam dan bersinar.

Apakah itu? Hatiku mendadak tak karuan.

Semakin dekat, semakin dekat.

"Aji?." Kataku dalam hati sambil menunduk melihat ke bawah. Mengapa mendadak aku merasa sedih. Harusnya aku bahagia dapat bertemu dengannya lagi.

"Apakah ini Aji yang kau maksud nak?." Tanya pak Gunawan kepadaku.

"Bukan pak." Jawabku dengan gugupnya.

"Jadi Aji mana yang kau maksud Bunga? Bukannya hanya aku seorang temanmu yang bernama Aji?." Tanya Aji.

Aku hanya terdiam. Air mataku keluar dengan sendirinya. Apakah ini air mata bahagia karena dapat bertemu lagi dengannya? Entahlah.

"Nak, sebenarnya Aji sering bercerita tentangmu. Untuk ke depannya biarlah kalian yang menentukan. Bapak kesana dulu, tadi di panggil ketua rombongan." Kata pak Gunawan sambil pergi meninggalkan kita.

Citra, ia terlihat kaget dan hanya dapat terdiam melihat kejadian ini. Ia kemudian berjalan di belakang pak Gunawan meninggalkan kita berdua.

***

"Perihal aku meninggalkanmu tanpa sebab. Maaf beribu-ribu maaf. Sekarang pendidikanku telah selesai. Perkenalan singkat saat itu, membuatku tak bisa melupakanmu begitu saja. Sebenarnya dulu, sejak awal kita bertemu. Keluargaku sudah mengetahui kamu dan keluargamu. Ternyata ayahmu itu sahabat ayahku. Aku meminta agar keluargaku tak usah banyak berbicara perihal kedekatanku denganmu. Makanya dulu, aku tak berani mengenalkanmu dengan keluargaku."  Kata Aji.

"Maaf juga telah membuatmu menunggu terlalu lama. Memendam rasa rindu yang begitu lama. Tapi biarlah, itu telah berlalu. Sekarang biarlah Gunung Ciremai ini menjadi saksi pertemuan kita kembali. Bunga Edelweiss di sana itu bunga keabadian. Dan aku berharap seperti perjanjian kita dulu. Kita akan terus bersama dalam keabadian." Lanjut Aji sambil menunjuk ke arah bunga Endelweiss.

Terima kasih rindu kau telah kembali. Aku tak mungkin merasakan rindu yang teramat rindu lagi.

***

Kuningan, 11 Januari 2019
Rida Nugrahawati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun