Pagi yang indah, hari ini saatnya aku pergi kuliah memakai mobil kesayangan. Memakai baju dan style yang mahal dan kekinian. Karena aku tidak ingin di katakan ketinggalan jaman oleh teman-temanku. Di ruang makan terlihat ibu sedang cemberut.
"Tapi ibu ingin membeli berlian itu ayah. Ibu janji tidak akan membeli berlian lagi." Terdengar suara ibu.
"Waw ibu akan membeli berlian lagi? Ayah belikan aku mobil dan jam baru. Boleh kan?." Ucapku sambil duduk di kursi meja makan.
"Iya nanti ayah belikan." Ucap ayah sambil memakan sepotong roti.
Ayahku memang baik, ia selalu membelikan apa saja yang aku inginkan. Ia adalah pemilik perusahaan batu bara dan banyak bisnis kuliner yang ia kelola. Kami sangat di hormati. Hidupku memang sangat beruntung dan sangat bahagia dibandingkan dengan orang lain. Apa saja dapat aku lakukan karena mempunyai banyak uang.
"Aku berangkat dulu ibu, ayah." Ucapku sambil mencium pipi mereka.
"Hati-hati sayang." Ucap ayah.
"Sayang jangan lupa pulang dari kampus belikan ibu ayam geprek samping pertigaan itu." Ucap ibu.
"Oke ibu."
Aku wanita satu-satunya di kampus yang membawa mobil. Karena aku tidak suka jika terkena sinar matahari. Itu akan membuat kulitku gosong. Banyak teman yang ingin berangkat bersamaku. Aku tidak mau karena mereka hanya memanfaatkanku. Untuk apa berbuat baik kepada mereka. Mereka hanya memanfaatkanku saja, tidak berguna.
Di tengah perjalanan tiba-tiba macet. Ini aneh karena tidak biasanya. Kendaraan di jalan ini hanya sedikit. Ternyata di depan sana ada kecelakaan.
"Tok tok tok " terdengar suara ketukan kaca mobil itu sangat mengganggu, aku terpaksa membukanya.
"Iya ada apa?." Tanyaku.
"Mbak bisakah membantu saya sebentar?." Pria berbadan tinggi itu bertanya, sepertinya aku mengenal wajahnya seperti tidak asing mirip seperti... tapi itu tidak mungkin.
"Membantu apa ya?."
"Bisakah saya menumpang mobilmu untuk pergi ke rumah sakit bersama kakek yang tertabrak itu?."
"Maaf ya aku tidak mengenalimu."
"Tapi ini keadaan darurat, lihat di sana kakek itu sudah mengeluarkan banyak darah."
"Bukannya tidak ingin menolong tapi nanti mobilku kotor dan banyak berceceran darah."
"Nanti akan saya bersihkan mbak."
"Ko kamu memaksa saya."
"Kali ini saja mbak, setiap kebaikan pasti akan di balas kebaikan."
"Apa maksud kamu malah menceramahi saya? Cari saja mobil yang lain." Ucapku sedikit kesal.
"Hanya ada mobil mbak yang melintas di sini, kasihan kakek saya mbak." Ucapnya sambil mengeluarkan air mata.
"Pasti kamu pura-pura meminta tolong dan akhirnya mencuri mobil, perhiasan, ponsel, uang dan laptopku?."
"Saya tidak bermaksud seperti itu. Ya sudah jika mbak tidak mau menolong. Mbak harusnya berpikir jika mbak ada di posisi kakek itu dan tak ada satu orang yang ingin menolong.!" Ucapnya sambil membentakku.
"Itu tidak mungkin.!" Ucapku sambil menjalankan mobil.
"Membuat darah naik, masih pagi sudah bertemu orang gila." Ucapku dalam hati.
Mobilku berjalan perlahan ketika melihat kakek itu tergeletak di pinggir jalan. Dengan darah berceceran. Hatiku sedikit tersentuh. Tapi aku tidak boleh menolongnya karena aku tidak mengenalinya. Setelah sedikit jauh dari kakek itu, aku berhenti. Hatiku ingin menolongnya tapi logikaku menolak. Sedikit bergelut bersama logika dan perasaan. Akhirnya aku memundurkan mobil ke tempat kakek tadi, untuk menolongnya.
"Mbak akan menolong kakek ini?." Tanya pria tadi.
"Ayo kita bawa ke rumah sakit." Ucapku.
Pria itu membawa kakek menuju mobil. Sebenarnya sedikit kesal karena mobilku pasti akan kotor. Aku akan membawa kakek itu ke rumah sakit terdekat.
"Mbak bolehkah saya mengetahui namamu?." Tanya pria itu.
"Namaku Nury." Jawabku, untuk apa dia menanyakan namaku.
"Oh mbak Nury, perkenalkan nama saya Kevin." Ucapnya, aku menghiraukannya karena aku tak bertanya. Mengapa namanya seperti keturunan bule. Tapi wajahnya biasa saja tidak ada yang menarik. Untuk apa pula aku memikirkan hal konyol itu.
"Ternyata hati mbak aslinya baik. Walau awalnya terlihat judes dan menyebalkan." Ucapnya sambil tertawa.
"Ini terpaksa." Sedikit kesal mengapa pula ia menertawakanku.
"Lain di hati lain di mulut. Mending seperti itu mbak berbuat baik tapi tidak ingin menyombongkan diri."
Aku terdiam tidak ingin mengobrol lebih jauh dengan orang asing. Tapi ini pertama kalinya aku di katakan berhati baik.
"Ada yang bisa saya bantu mbak?." Tanya perawat.
"Tolong kakek ini tadi tertabrak kakinya seperti tergilas ban mobil." Ucapku sambil menunjuk kakek. Perawat langsung mencari kursi roda dan membawanya ke ruang IGD.
"Mbak untuk biaya administrasi awal di sebelah sana." Sambil menunjuk ruang keuangan.
"Nury aku tidak punya uang. Bagaimana mungkin aku membayarnya. Kamu tunggu di sini aku akan mencari uang dulu." Ucap Kevin.
"Kamu akan mencari uang? Kemana? Mencuri? Tidak mungkin kamu bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam satu hari." Ucapku sambil memainkan ponsel.
"Maaf Nury aku bukan orang seperti itu. Aku mencari uang halal !." Ucap Kevin pergi meninggalkanku.
"Permisi mbak." Terdengar suara pria dari samping.
"Eh iya pak?." Tanyaku.
"Jadi biaya administrasi awal akan di bayarkan kapan? Jika belum di bayar dokter tidak akan berani mengambil tindakan lebih jauh."
"Loh kok peraturan rumah sakit seperti ini, mau saya laporkan ke polisi?." Ucapku menyentak.
"Tapi itu sudah peraturan kami jika mbak tidak patuh ya sudah bawa kakek ini ke rumah sakit lain." Ucapnya sambil pergi.
"Menolong orang asing rasanya tidak pernah aku lakukan. Menolong tetangga sebelah juga belum pernah. Apalagi ini mengeluarkan uang banyak. Tapi jika aku tidak bayar, aku harus membawa kakek ini ke mobil sendiri. Nanti Kevin pasti mencariku. Ya sudah terpaksa aku bayar biaya kakek itu." Ucapku dalam hati.
Menunggu kakek di luar ruang IGD sendirian dan kedinginan karena AC. Tiba-tiba ada pesan whatsapp masuk.
"Nury sudah jam kuliah, kamu dimana? Kamu tidak akan masuk.?" Tanya Yoga.
"Aku tidak akan masuk hari ini. Tolong tulis hadir di absen." Balasku.
"Dosen yang datang hari ini galak. Aku tidak berani berbohong." Balasnya.
"Tenang saja nanti akan aku traktir mi ayam bakso." Balasku.
"Ok nanti akan aku absen hadirkan." Balasnya.
Sudah aku duga. Manusia jaman sekarang sangat tunduk kepada uang. Segala sesuatu dikaitkan dengan uang. Maka dari itu aku tidak peduli kepada orang lain yang setiap saat memanfaatkanku. Termasuk kakek ini, sepertinya kakek ini memanfaatkanku.
"Anda keluarganya.? Tanya dokter keluar dari ruang IGD.
"Em..e.." Aku kebingungan.
"Jadi begini kakek sudah sadar hanya kakinya bermasalah, besok harus di lakukan operasi. Untuk beberapa saat mungkin kakek harus memakai kursi roda dan belajar berjalan sedikit demi sedikit." Ucap dokter.
"Maksudnya kaki kakek lumpuh dan tidak bisa berjalan seperti biasanya.?" Tanyaku kaget.
"Iya harus menunggu lama untuk pulih kembali. Rawat kakekmu dengan baik. Kasihan ia sudah tua, ia membutuhkan kasih sayang dari anak dan cucunya agar semangat kembali." Dokter menasihatiku.
"Iya dok."
"Oh iya ruangannya akan di pindahkan ke ruang VIP sebelah sana dek." Ucap dokter sambil menunjuk ke suatu ruangan.
Perawat membawa kakek di atas kursi roda. Aku mengikutinya dari belakang. Pertama kali aku melihat kesedihan yang teramat dalam dari raut wajahnya. Mataku berkaca-kaca. Sejak kecil aku tidak mempunyai kakek. Tidak seperti anak-anak lain. Tiba-tiba rasanya aku ingin menganggapnya seperti kakek sendiri.
"Permisi saya keluar dulu." Ucap perawat.
Kakek itu tersenyum terhadapku. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Mungkin itu Kevin. Ketika membuka pintu, ia perawat mengantarkan makanan untuk kakek.
"Kakek makan dulu ya." Ucapku, kakek hanya mengangguk dan langsung menyuapi kakek. Aku meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku membantu orang yang sedang kesusahan. Senyum tulusnya membuat hatiku lemah. Aku tidak biasa menolong orang. Aku hanya terbiasa menghabiskan uang bersama teman-teman untuk kesenangan semata. Aku menghabiskan uang hanya untuk mencari pujian mereka, sebenarnya itu tidak membuat bahagia.
"Namamu siapa?." Tanya kekek itu.
"Nury, dan kakek?."
"Iman. Terima kasih sudah menolong kakek. Pasti Allah membalasnya dengan kebahagiaan." Ucap kakek.
"Iya kek."
"Berbaktilah kepada ibu, bapakmu. Saling tolong menolong terhadap sesama manusia. Buang jauh-jauh sifat sombong, iri, dengki. Ingat nak dunia ini hanya sementara. Semua ini hanya titipan. Kebahagiaan dan kesedihan hanya sementara. Kakek ingin sedikit bercerita boleh?."
"Boleh kek." Ucapku sangat penasaran.
"Jadi dulu kakek orang yang sangat sukses dengan gelar pendidikan S3 di luar negeri. Bisnis dimana-mana, harta melimpah. Setiap hari yang kakek lakukan hanya berfoya-foya. Sangat bahagia tidak ada hal yang membuat kakek bersedih" Ucap kakek.
"Tapi mengapa aku tidak melihat keluargamu kek?." Potongku.
"Sebentar, kakek belum selesai bercerita." Ucapnya.
"Dulu kakek sangat sombong, angkuh dan sering menindas orang. Kakek tidak pernah menolong orang susah walau harta melimpah. Sifat sombong ini menurun ke anak, cucu. Sifat gemar menghabiskan uang dan gila harta juga menurun kepada mereka. Hingga suatu hari anak kakek masuk penjara karena korupsi. Sampai sudah menghabiskan triliunan untuk mengganti agar anak kakek tidak di penjara. Setelah itu istriku meninggal. Anak-anak meminta pembagian warisan."
"Loh kok sudah meminta warisan bukannya kakek masih ada ?." Kedua kalinya aku memotong pembicaraan.
"Iya karena keluarga besar kakek gila harta. Dengan terpaksa kakek membagikan warisan kemudian mereka sibuk dengan bisnis masing-masing dan meninggalkan kakek sendiri. Untuk makan susah apalagi membeli pakaian. Lihat pakaian kakek sudah sobek." Ucap kakek sambil memperlihatkan pakaiannya.
"Kok bisa seperti itu kek.?" Tanyaku.
"Iya karena ini salah kakek. Kakek tidak mendidik mereka dengan baik. Kakek malah mendidik mereka dengan harta, kekayaan dan jabatan, sehingga membuat mereka sombong dan lupa siapa sebenarnya pemilik kekayaan tersebut." Ucap kakek.
"Maksudnya?." Tanyaku tidak mengerti.
"Maksudnya harta, kekayaan dan jabatan itu milik Tuhan. Tuhan hanya menitipkan kepada kita, jadi untuk apa sombong. Semua hanya bersifat sementara. Tuhan bisa kapan saja mengambil itu semua. Jadi lebih baik jika kita mempunyai harta melimpah, bantu juga orang-orang yang kesusahan. Buktinya kakek dulu banyak harta, kekayaan. Dan lihat sekarang? Kakek tidak punya apa-apa. Sekarang kakek hanya bisa menyusahkan banyak orang. Semoga kamu bisa mengambil pelajaran dari hal ini." Ucapnya sambil tersenyum.
Terdengar suara ketukan pintu. Kevin tiba-tiba masuk.
"Nury kamu sudah membayar semuanya?." Tanya Kevin kaget.
"Iya Kevin, tidak apa-apa aku ingin menolong kakekmu. Biaya operasi besok akan aku tanggung juga" Ucapku sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, aku yakin kamu sebenarnya baik. Aku tadi sudah menjual motor tapi rasanya itu tidak akan cukup." Ucapnya memelas.
"Kamu menjual motor? Memang apa pekerjaanmu Kevin?." Tanyaku.
"Aku bekerja serabutan sebagai kuli bangunan, tukang ojek, penjual koran, penjual makanan. Apa saja aku lakukan demi menghidupiku dan kakek ini. Walau sebenarnya ia bukan kakek asliku."
"Mengapa kamu membantu kakek ini? Bukankah untuk menghidupi dirimu sendiri saja susah?." Tanyaku penasaran.
"Memang saya orang susah tapi meski begitu saya tetap ingin menolong orang lain. Ada kebahagiaan tersendiri ketika aku dapat membantu orang lain. Dan aku juga bangga dapat meringankan beban hidup orang lain" Ucapnya dengan senyum kebahagiaan.
"Apalagi jika aku mempunyai banyak uang. Mungkin setiap hari bisa membantu orang. Aku juga ingin membuat sekolah gratis, pesantren gratis, panti asuhan dan panti jompo gratis. Tapi itu hanya imajinasiku. Tidak mungkin aku bisa mencapainya." Sambung Kevin.
Terharu mendengar cerita kakek dan Kevin. Aku yang di lahirkan serba ada malah menginginkan sesuatu yang lebih. Menghabiskan uang, membeli barang jutaan rupiah, sering mentraktir teman ke mal, mendapat banyak pujian. Nyatanya itu memang tidak membuat bahagia.
Rasanya memang aku harus banyak berteman dengan orang biasa, tidak boleh gengsi. Toh untuk kebaikanku sendiri. Banyak pelajaran dan pengalaman hidup yang dapat aku pelajari untuk masa depanku. Tidak seperti teman-teman dan keluargaku, mereka hanya mengajarkanku arti kesenangan dunia dan menghabiskan uang. Aku akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mungkin saja aku dapat mengubah teman dan keluargaku menjadi lebih baik.
Terima kasih untuk nasihat kakek dan Kevin. Kalian menyadarkanku bahwa semua ini hanya titipan, semua ini hanya bersifat sementara atau dapat di katakan fatamorgana yang semu, bersifat sementara. Jadi untuk apa aku sombong? Mulai saat ini juga aku harus membantu banyak orang. Tidak perlu membeli barang jutaan rupiah lagi. Sekali lagi terima kasih kakek dan Kevin sudah memberiku pelajaran sangat berharga.
***
Kuningan, 24 Desember 2018
Rida Nugrahawati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H