Meskipun terdapat kelemahannya namun nilai UN dijadikan sebagai standar bersama untuk setiap sekolah berkompetisi. Sebaliknya jika UN ditiadakan maka perengkingan kelulusan siswa setiap sekolah kehilangan pijakannya. Namun faktanya, hal itu sudah dilakukan di kabupaten tercinta ini dan itu tanpa sadar mendistribusikan dampak buruk ke tengah publik.
Terhadap keputusan perengkingan kelulusan siswa SMP/MTS di Kabupaten Ende, saya mengekstraksikan beberapa dampak negatif antara lain :
Pertama; menghadirkan pemahaman yang keliru tentang dasar perengkingan kelulusan. Publik menilai bahwa tanpa UN, ukuran yang dipakai untuk perengkingan adalah nilai yang ditentukan oleh hak otonom sekolah.Â
Akhirnya, pengelolah sekolah seolah-olah diarahkan untuk memahami bahwa otonomi sekolah dapat digunakan untuk mengejar prestasi. Agar mendapat rangking pertama, sekolah dengan hak otonomnya dapat bermain nilai sesukanya demi mendapatkan pengakuan publik. Dengan ini maka sekolah kehilangan kualitasnya.
Kesalahpahaman semacam ini menimbulkan ketidaksepahaman, yang berarti adanya perbedaan paham tentang dasar penentuan peringkat. Tentang hal semacam ini, bapak hermeneutika modern, Schleirmacher menilai wajar adanya dalam konteks kemajemukan masyarakat modern dan aksi-aksi anarkis bisa saja bermunculan karena ketidaksepahaman.
Dalam bahasa Ludwig Wittgenstain, ketidaksepahaman adalah tanda lahirnya habitus keterbukaan diri bangsa terhadap pluralitas language game yang tak dapat digabungkan dalam suatu meta bahasa. Ketidaksepahaman hanya bisa didamaikan dengan pemahaman tunggal karena memang anti tesis darinya adalah pemahaman tunggal.
Oleh karena itu, terhadap ulasan di atas, untuk mencegah timbulnya tindakan buruk karena ketidaksepahaman terhadap dasar perengkingan maka ada baiknya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyeragamkan pemahaman yang berbeda tentang dasar yang digunakan untuk perengkingan.Â
Sosialisasi atau penjelasan tentang dasar yang digunakan untuk perengkingan dijelaskan ke hadapan publik untuk menetralisir dinamika protes yang sedang menggeliat. Dengan demikian institusi ini bisa membuktikan kebenaran lain di balik perengkingan yang telah dipublikasikan.
Hal ini dilakukan untuk meredam aksi liar yang bisa bermunculan karena kebijakan perengkingan. Sebab ketika sebuah kebijakan tanpa dasar rasionalitas memengaruhi pengetahuan kolektif publik maka pertanyaan yang bisa muncul adalah untuk tujuan apa hal itu dimunculkan. Apakah ada kekuasaan tertentu yang dengan sengaja melakukannya untuk menyembunyikan sesuatu? Hal semacam ini cenderung dilakukan oleh rezim orde baru.
Kedua; mencurangi keadilan interaksional. Tyler mengasumsikan keadilan interaksional ketika manusia sebagai anggota kelompok masyarakat sangat memperhatikan tanda-tanda atau simbol-simbol yang mencerminkan posisi mereka dalam kelompok. Oleh karena itu manusia akan berupaya memelihara hubungan sosial dan hal ini dilakukan tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga merupakan upaya untuk memelihara identitas kelompok.
Sementara itu dimensi dari keadilan interaksional yang lebih substansif adalah tiga hal pokok yang dipedulikan dalam interaksi sosial yakni penghargaan, netralitas dan kepercayaan. Berkaitan dengan masalah ini, saya lebih menyoroti aspek penghargaan.Â