Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Perengkingan Siswa SMP/MTS 2019/2020 Kabupaten Ende

8 Juni 2020   22:20 Diperbarui: 9 Juni 2020   02:38 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkapan Layar Data Perengkingan Siswa SMP/MTS 2019/2020 Kab Ende

Setelah membaca artikel berita pada pos kupang tanggal 05 juni 2020 tentang SMPK Frateran Ndao menorehkan catatan positif di Tahun ajaran 2019/2020, saya sempat kaget dengan beruntun pertanyaan heran. 

Sementara belum kusudahi keheranan itu dengan meraih-raih jawaban, saya terkesimak dengan sebuah judul lain pada laman Ekorantt.com tentang SMPK Frateran Ndao yang memborong peraih nilai tertinggi kelulusan se-Kabupaten Ende.

Kedua berita itu menyebutkan bahwa SMPK Frateran Ndao memborong 10 besar nilai tertinggi kelulusan SMP/MTS se-Kabupaten Ende. 

Sesuai dengan isi berita tersebut, perengkingan ini disematkan dengan merujuk pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia bahwa penentuan kelulusan di tengah pandemi covid-19 dilihat dari akumulasi nilai ujian sekolah, ditambah nilai rapor semester 5 dan semester 6.

Merujuk pada penentuan kelulusan yang berdasarkan nilai ujian sekolah, plus nilai semester 5 dan semester 6 yang diakumulasikan maka sesungguhnya standar kelulusan tersebut bersifat otonomi penuh sekolah yang bersangkutan. 

Bila demikian maka kita kehilangan standar umum yang dapat digunakan sebagai patokan dalam memberikan perengkingan dan tidak berdasar bila kemudian kita memberikan perengkingan terhadap kelulusan secara keseluruhan.

Namun yang terjadi di kabupaten Ende justru unik. Yanuarius Mari, SH, Kabid Pembinaan SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende kepada Pos-kupang.com, Jumat (5/6/2020) memastikan bahwa SMPK Frateran Ndao meraih juara umum dan deretan sepuluh (10) besar semuanya ditempati siswa-siswa SMPK Frateran Ndao setelah mereka melakukan perengkingan. 

Dasar yang digunakan untuk melakukan perengkingan masih abu-abu dan layak untuk diperdebatkan. Oleh karena itu, sorotan tulisan ini bukan soal SMPK Frateran Ndao menyematkan prestasi bergengsi itu, melainkan dasar yang digunakan untuk melakukan perengkingan tersebut minus nalar.

Mempertanyakan dan Menggugat Dasar Perengkingan
Saya menyoal perengkingan di atas dengan sebuah pertanyaan yang merangsang rasionalitas kita: "Layakkah kelulusan yang menjadi otonomi masing-masing sekolah dikompetisikan untuk semua sekolah?"

Ujian Nasional (UN) 2020 resmi ditiadakan setelah terjadi kesepakatan antara DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan demi melindungi siswa dari penyebaran virus corona. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease.

Selain merupakan langkah antisipasi terhadap penyebaran virus corona, peniadaan UN ini sesungguhnya merupakan implementasi philosophy based curriculum, kurikulum pendidikan kritis yang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju di seluruh dunia.

Sebagaimana Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease, kelulusan SMP/sederajat dan SMA/sederajat ditentukan berdasarkan nilai lima semester terakhir. Nilai semester genap kelas 9 dan kelas 12 dapat digunakan sebagai tambahan nilai kelulusan.

Hal ini berarti sekolah mendapat otonomi penuh dalam menentukan kelulusan siswa berdasarkan nilai yang telah diperoleh. Nilai yang diberikan oleh setiap sekolah tentu memiliki ukuran yang berbeda dengan sekolah lain. Artinya kualitas nilai kelulusan yang dicapai oleh siswa pada suatu sekolah jelas berbeda dengan kualitas nilai kelulusan sekolah lainnya. 

Konsekuensi logisnya adalah kualitas akumulasi nilai kelulusan siswa pada suatu sekolah tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai kualitas akumulasi nilai kelulusan siswa pada sekolah lain. Dengan demikian tak ada perengkingan yang harus dilakukan terhadap semua sekolah yang memiliki kualitas akumulasi nilai kelulusan yang berbeda-beda.

Sebagai misal, akumulasi nilai kelulusan SMPK Frateran Ndao Ende tidak bisa disamakan dengan akumulasi nilai kelulusan SMP Negeri 1 Nangapanda, atau akumulasi nilai kelulusan SMPK St Ursula tidak boleh disamakan dengan akumulasi nilai kelulusan SMP Negeri 1 Ndona. 

Ukuran yang digunakan untuk kompetisi kualitas nilai sebagaimana UN tidak lagi digunakan maka penyamaan terhadap akumulasi nilai kelulusan tidak memiliki dasar. Akumulasi nilai kelulusan mahasiswa suatu sekolah yang dianggap paling tinggi di sebuah kabupaten belum tentu lebih berkualitas dibandingkan dengan akumulasi nilai kelulusan siswa sekolah lain yang berada di bawahnya.

Jika demikian adanya maka pertanyaan yang muncul adalah ukuran apa yang digunakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende untuk menentukan SMPK Frateran Ndao sebagai juara nilai tertinggi SMP/MTS se-Kabupaten Ende? Jawaban terhadap pertanyaan ini hanya mampu dijawab oleh institusi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. 

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende sebagai institusi yang menangani puluhan lembaga tempat pengetahuan diproduksi, semestinya membangun argumentasi dan pendasaran yang rasional yang digunakan sebagai dasar penentuan rengking. Selama tidak ada pendasaran yang rasional dan tidak disosialisasikan maka perengkingan yang sudah dilakukan layak digugat dan dibantah oleh siapa pun dan lembaga sekolah mana pun.

Dampak Buruk Perengkingan dan Tawaran Solusi
Berita perengkingan minus nalar yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende sudah dikonsumsi publik. Sayangnya, institusi milik negara yang memiliki wewenang dan otoritas ini melakukan tindakan tanpa dasar kuat yang menimbulkan berbagai dampak negatif.

Saya malah khawatir, jangan sampai lembaga terhormat semacam ini membenarkan apa yang ditulis oleh Rocky Gerung (Dosen Filsafat UI dan Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi) dalam artikel berjudul 'Hoax dan Demokrasi' (Tempo, 11/1/2017). 

Gerung menulis: "Pembuat hoax terbaik adalah penguasa, sebab mereka memiliki peralatan lengkap untuk berbohong: statistik, intelijen, editor, panggung,media dan lainnya." Kekuasaan memiliki hak untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah dan dalam konteks ini mana yang rengking dan mana yang bukan dengan pijakan rasional yang lemah. Namun kekhawatiran ini bagi banyak orang tak berdasar, karena tidak mungkin terjadi pada institusi di bumi Pancasila yang memiliki seperangkat atribut moral yang mumpuni.

Mari kita kembali pada dampak buruk perengkingan. Pada setiap akhir tahun media massa dan media online banyak diramaikan dengan berita peringkat kelulusan sekolah-sekolah di setiap kabupaten. Ya, nilai UN itulah yang dipakai sebagai ukuran menentukan peringkat kelulusan tersebut. 

Meskipun terdapat kelemahannya namun nilai UN dijadikan sebagai standar bersama untuk setiap sekolah berkompetisi. Sebaliknya jika UN ditiadakan maka perengkingan kelulusan siswa setiap sekolah kehilangan pijakannya. Namun faktanya, hal itu sudah dilakukan di kabupaten tercinta ini dan itu tanpa sadar mendistribusikan dampak buruk ke tengah publik.

Terhadap keputusan perengkingan kelulusan siswa SMP/MTS di Kabupaten Ende, saya mengekstraksikan beberapa dampak negatif antara lain :

Pertama; menghadirkan pemahaman yang keliru tentang dasar perengkingan kelulusan. Publik menilai bahwa tanpa UN, ukuran yang dipakai untuk perengkingan adalah nilai yang ditentukan oleh hak otonom sekolah. 

Akhirnya, pengelolah sekolah seolah-olah diarahkan untuk memahami bahwa otonomi sekolah dapat digunakan untuk mengejar prestasi. Agar mendapat rangking pertama, sekolah dengan hak otonomnya dapat bermain nilai sesukanya demi mendapatkan pengakuan publik. Dengan ini maka sekolah kehilangan kualitasnya.

Kesalahpahaman semacam ini menimbulkan ketidaksepahaman, yang berarti adanya perbedaan paham tentang dasar penentuan peringkat. Tentang hal semacam ini, bapak hermeneutika modern, Schleirmacher menilai wajar adanya dalam konteks kemajemukan masyarakat modern dan aksi-aksi anarkis bisa saja bermunculan karena ketidaksepahaman.

Dalam bahasa Ludwig Wittgenstain, ketidaksepahaman adalah tanda lahirnya habitus keterbukaan diri bangsa terhadap pluralitas language game yang tak dapat digabungkan dalam suatu meta bahasa. Ketidaksepahaman hanya bisa didamaikan dengan pemahaman tunggal karena memang anti tesis darinya adalah pemahaman tunggal.

Oleh karena itu, terhadap ulasan di atas, untuk mencegah timbulnya tindakan buruk karena ketidaksepahaman terhadap dasar perengkingan maka ada baiknya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menyeragamkan pemahaman yang berbeda tentang dasar yang digunakan untuk perengkingan. 

Sosialisasi atau penjelasan tentang dasar yang digunakan untuk perengkingan dijelaskan ke hadapan publik untuk menetralisir dinamika protes yang sedang menggeliat. Dengan demikian institusi ini bisa membuktikan kebenaran lain di balik perengkingan yang telah dipublikasikan.

Hal ini dilakukan untuk meredam aksi liar yang bisa bermunculan karena kebijakan perengkingan. Sebab ketika sebuah kebijakan tanpa dasar rasionalitas memengaruhi pengetahuan kolektif publik maka pertanyaan yang bisa muncul adalah untuk tujuan apa hal itu dimunculkan. Apakah ada kekuasaan tertentu yang dengan sengaja melakukannya untuk menyembunyikan sesuatu? Hal semacam ini cenderung dilakukan oleh rezim orde baru.

Kedua; mencurangi keadilan interaksional. Tyler mengasumsikan keadilan interaksional ketika manusia sebagai anggota kelompok masyarakat sangat memperhatikan tanda-tanda atau simbol-simbol yang mencerminkan posisi mereka dalam kelompok. Oleh karena itu manusia akan berupaya memelihara hubungan sosial dan hal ini dilakukan tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga merupakan upaya untuk memelihara identitas kelompok.

Sementara itu dimensi dari keadilan interaksional yang lebih substansif adalah tiga hal pokok yang dipedulikan dalam interaksi sosial yakni penghargaan, netralitas dan kepercayaan. Berkaitan dengan masalah ini, saya lebih menyoroti aspek penghargaan. 

Faturochman dalam bukunya 'Keadilan Perspektif Psikologi' menguraikan bahwa penghargaan terhadap status seseorang, lembaga atau kelompok masyarakat tertentu tercermin dalam perlakuan, khususnya dari orang yang berkuasa terhadap anggota kelompok. Makin baik kualitas perlakuan dari penguasa terhadap kelompok masyarakat maka interaksinya dinilai makin adil.

Berkaitan dengan masalah perengkingan, pemerintah Kabupaten Ende memberikan apresiasi terhadap kelompok sekolah tertentu tanpa ukuran dan dasar yang jelas sehingga menciderai identitas sekolah-sekolah lainnya. 

Bersamaan dengan itu, pemerintah telah menyepelekan dan mengabaikan puluhan sekolah lain tanpa dasar dan ukuran yang jelas pula. Tindakan seperti ini yang menimbulkan dampak penurunan kualitas sekolah di mata publik. Lagi-lagi rasa ketidakadilan dipertontonkan ke hadapan publik.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende sebagai institusi publik harus bertanggungjawab atas tindakan yang mencurangi keadilan interaksional. 

Rasa keadilan harus dikembalikan kepada empunya dengan memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah lain yang tidak berada dalam kategori 10 besar. Namun hal ini rasanya tidak mungkin dilakukan. Hal yang paling mudah adalah membatalkan perengkingan yang sudah dipublikasikan melalui media. Membatalkan perengkingan dengan penjalasan rasional justru menumbuhkan kepercayaannya di mata publik.

Publik tahu bahwa tak ada kemajuan tanpa kritik. Bila tulisan ini dianggap sebagai kritik yang menjatuhkan pemerintah maka mudah dibaca kalau penilaian terhadap tulisan ini didasarkan pada rasa sentimental sebagai momok bagi status quo. Namun sebaliknya tulisan ini ditanggapi secara rasional maka itu menandakan adanya kebenaran lain yang 'mungkin'.

Karl popper, filsuf Austria dalam karyanya, 'Conjectures and Refutation: The Growth of Scientific Knowledge' menulis sebuah kalimat : "Kritik dan seni mendengarkan kritik adalah dasar dari setiap kemasukakalan". 

Dengan kalimat ini, Popper sesungguhnya menyerang kecenderungan psikologis untuk membenarkan diri pada manusia terutama pada sejumlah pemimpin politik yang menganggap kritik adalah penghambat kemajuan dan peradaban. Semoga kita bukan termasuk ketegori orang-orang yang diserang Popper.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun