Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

16 Juli 2024   00:23 Diperbarui: 16 Juli 2024   15:03 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hawa udara siang itu memaksa saya minum es teh jumbo dua gelas plastik ukuran besar. Padahal, kipas angin yang terpasang di dinding ruang kerja sudah disetel pada angka paling tinggi. Tetapi, rasa-rasanya tak cukup mampu mengusir rasa gerah.

Belum selesai dengan masalah hawa udara, rupa-rupanya ada yang tiba-tiba mengajak diskusi lewat japrian. Otomatis, isi kepala bakalan panas nih! Tapi, tak mengapa toh diskusinya juga seru, walau hanya lewat berbalas pesan singkat via WhatsApp.

Semula, penjapri yang mohon maaf tidak bisa saya sebut namanya itu mengirim sebuah potongan video. Tampak pada potongan video itu wajah Prof. Dr. Bambang I. Sugiharto, guru besar di bidang filsafat kebudayaan, Universitas Katolik Parahyangan. Beliau sedang berceramah mengenai pentingnya membaca novel.

Kemudian, penjapri yang seorang guru di salah satu sekolah di kawasan selatan Pekalongan itu menyusulkan teks pesan. 

"Bagaimana mengenalkan NOVEL pada Gen TikTok?" begitu tulisnya. 

Pertanyaan itu membuat saya tertarik dan tertantang untuk menyampaikan argumentasi. Setidaknya, memberikan jawaban-jawaban logis yang dapat diterima oleh sahabat saya yang satu ini.

Benak saya berpikir, karena sahabat saya ini seorang guru, jawaban saya tentunya mesti bersentuhan juga dengan dunia yang digelutinya. Saya ketik saja, "Lewat pembelajaran di sekolah, Pak guru. Kalau tidak dipaksa lewat jalur pendidikan formal agaknya sulit."

Jawaban itu spontan saja saya tuliskan. Belum terbesit tentang topik yang beberapa waktu lalu sempat menghangat, yaitu tentang Sastra Masuk Kurikulum. 

Yang saya pikirkan, karena ruang yang paling memungkinkan untuk melakukan hal itu adalah sekolah. Memang, bisa juga di keluarga alias rumah. Akan tetapi, dalam rabaan hitungan saya, peluang itu terlalu kecil dan nyaris mustahil dilakukan. 

Sebab, tidak banyak masyarakat negeri kaya dongeng ini yang memiliki koleksi buku novel di rumahnya. Dalam satu kampung, jumlahnya tidak melebihi jari di kedua tangan. Bahkan, mungkin saja dalam satu kampung tak satu pun rumah yang mengoleksi buku novel. Apakah itu salah?

Saya tidak bisa menyalahkan. Juga tidak bisa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang benar. Tetapi, saya kira memaksa keadaan yang sudah kadung krodit agar kembali pada rel yang semestinya juga akan sangat sulit. Maka, salah satu jalan yang bisa dilalui adalah dengan melahirkan kebiasaan baru kepada generasi selanjutnya. Mengapa begitu?

Problem tiap-tiap rumah sudah begitu kompleks dan ruwet. Dapat bekerja sebagai pekerja serabutan saja sudah sangat bersyukur, bagi masyarakat yang dikelaskan di bawah oleh sistem. 

Kondisi ini diperparah pula dengan cara pandang yang serba pragmatis. Sebuah cara pandang yang sependek pengamatan saya, juga disebabkan oleh sistem yang telah melahirkan kesenjangan kelas sosial.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang telah memasuki tahap tertib sosial? Saya tidak tahu. Kalaupun saya tahu, tentu yang saya ketahui masih sangat terbatas. 

Maka dari itu, sepertinya sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi negara untuk melakukan semacam survei mengenai kebiasaan membaca pada kelompok ini. Dikaitkan pula dengan cara berpikir mereka di dalam mengambil keputusan dan tindakan. Supaya jelas, seperti apa gambaran kebiasaan membaca di negeri ini, sebagaimana dinyatakan pula oleh kawan diskusi saya kali ini, "Sayang, minat baca anak sekarang (mungkin juga ini fenomena masyarakat Indonesia sepanjang zaman) kurang."

Lalu, saya kembali melanjutkan ketikan pesan yang saya balaskan kepada sahabat saya itu. 

"Problemnya, tidak seluruh guru mau melakukan itu. Sementara waktu, ada pemahaman yang boleh saya katakan keliru mengenai karya sastra dalam dunia persekolahan kita, Pak guru. Yaitu, sastra dianggap sebagai domainnya guru mapel bahasa Indonesia. Pemahaman itu menggiring guru-guru mapel lain enggan menyentuh sastra."

Melalui jawaban itu, sesungguhnya saya sekaligus ingin menyampaikan, bahwa pola pengajaran di bangku-bangku sekolah cenderung masih terkotak-kotak (saya katakan cenderung, karena mungkin saja sudah ada sekolah yang tidak demikian). Pola itu sebenarnya tinggalan sistem pengajaran ala kolonial. 

Di era sebelum para juragan berambut pirang datang ke negeri ini, sistem pengajaran tidak demikian. Bidang-bidang keilmuan tidak dikotakkan atau bahkan dikalengkan sendiri-sendiri dengan label a, b, c, dan seterusnya.

Dahulu, sebagaimana pernah saya dengar dari penuturan Prof. Dr. Manu J. Widyasaputra, pola pengajaran tidak dilakukan dengan pengotakan mata pelajaran. Pertemuan guru dengan para cantrik dilaksanakan untuk memberi perhatian pada penyampaian hal-hal prinsip dan konsep-konsep mengenai segala sesuatu. 

Selebihnya, para cantrik ditugaskan untuk mengkhatamkan bacaan atas pustaka-pustaka yang disimpan di perpustakaan tempat mereka belajar. Pustaka-pustaka itu tidak bukan dan tidak lain adalah hasil karya para cantrik kakak tingkat dan guru mereka. 

Setelah cukup menguasai isi pustaka itu, secara terpisah, para cantrik dilepas untuk melakukan pengembaraan sampai ke negeri-negeri jauh. Pustaka-pustaka itu pula yang menjadi panduan dalam perjalanan.

Kemudian, selama mengembara, mereka mendapatkan tugas untuk mencatat apa saja yang mereka alami. Ya, semacam catatan pengalaman pribadi mereka.

Menariknya, dalam pengembaraan itu para cantrik juga ditugasi untuk menemukan jalan pulang menuju tempat asal mereka belajar. 

Begitu sampai kembali di tempat asal mereka belajar, sang guru akan meminta mereka untuk memberi laporan tentang apa saja yang mereka temui. Laporan itu kemudian dikomparasikan dengan catatan-catatan terdahulu. 

Tujuannya, untuk menemukan perbedaan dan benang merah antara hasil pengamatan para cantrik dengan catatan-catatan yang telah dibuahkan oleh perguruan itu.

Tak hanya itu, melalui komparasi pustaka-pustaka itu para cantrik dan guru membahas ihwal perkembangan dunia dan perubahan-perubahannya. 

Tinjauan mereka demikian kompleks. Meliputi berbagai disiplin pengetahuan. Sebagai hasil akhirnya, diskusi itu dicatat dan dipustakakan untuk selanjutnya dijadikan semacam referensi bagi angkatan berikutnya.

Tuturan Prof. Dr. KRT. Manu J. Widyaseputra itu rupanya juga saya temukan dalam novel tulisan Lian Hearn yang mengisahkan pertarungan antarklan di Jepang jelang abad-abad modern. 

Pada novel itu, diceritakan bagaimana sistem pendidikan dijalankan pada sebuah perguruan di Terayama. Mirip dengan apa yang diungkap pakar filolog Universitas Gadjah Mada tersebut. 

Tak ayal jika perguruan di Terayama menjadi jujukan para pengasa klan di Jepang saat itu. Mereka ingin sekali menemukan catatan-catatan yang mereka anggap penting dan rahasia. Tujuannya, untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Tetapi, rupanya perguruan itu tak sembarang memberikan pustaka mereka. Ada banyak pertimbangan. Salah satunya tentang perilaku tiap-tiap penguasa dari berbagai klan. Mereka sangat ketat melindungi pustaka mereka. 

Lho... lho... lho! Lha kok malah ngelantur terlalu jauh. 

Baiklah, saya kembali ke jalur yang semestinya. Mendongengkan diskusi via WhatsApp bersama sahabat saya yang juga sesepuhnya desa Tunjungsari, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan itu.

Kembali lagi pada persoalan porsi pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana dituturkan Prof. Manu, di zaman dahulu, sastra merupakan bacaan wajib bagi para cantrik. 

Mengapa? Karena di dalamnya terkandung berbagai pengetahuan. Tidak semata-mata mengajarkan bagaimana mengolah bahasa agar tersusun indah.

Sementara sekarang, sastra di sekolah-sekolah kita didudukkan di pojok paling belakang. Sastra hanya sesekali diajarkan kepada siswa. Itu pun masih di wilayah permukaan. Baru pengenalan. Porsinya sangat sedikit. Hanya menjadi bagian dari materi yang mesti disampaikan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Tidak mengherankan jika anak-anak zaman sekarang tidak mengenal siapa itu Romo Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Ahmad Tohari, Sindhunata, Sini K.M., Budi Darma, Mochtar Lubis, dan sederet nama lainnya. Bahkan, mungkin saja mereka tak mengenal nama Seno Gumira Ajidarma, Oka Rusmini, Laela S. Chudori, Ayu Utami, atau pun nama-nama lain yang merupakan novelis kekinian. 

Mengapa bisa begitu? Karena nama-nama itu sangat jarang disebut-sebut di dalam ruang kelas. Apalagi karya mereka.

Keluh kesah seputar porsi pengajaran sastra di sekolah yang terlalu minim ini telah banyak disampaikan oleh para sastrawan, budayawan, bahkan pakar-pakar sastra dalam berbagai artikel dan jurnal ilmiah. Bahkan, jurnal-jurnal ilmiah kita banyak menyoalkan hal itu. 

Malah, kerap saya jumpai jurnal-jurnal yang secara lugas menyampaikan gagasan untuk menyikapi masalah tersebut. Ada yang menyatakan jika sumber masalahnya pada kemampuan dan kapasitas guru bahasa yang masih sangat terbatas. Ada pula yang menyebutkan jika pangkal masalahnya pada perguruan tinggi yang mendidik para calon guru bahasa Indonesia. Juga ada yang menyoroti kurikulum dan sistem pendidikan kita. Bahkan, ada yang dengan cukup tajam mengkritik paradigma pendidikan negeri ini.

Saya tidak cukup tahu, apakah jurnal-jurnal itu cukup mendapatkan perhatian? Kalau tidak, mengapa bisa demikian? Apakah karena kualitas jurnal-jurnal itu yang masih "diragukan"? Tetapi, saya kira ada banyak penulis jurnal yang mumpuni. Bahkan, mereka ini beneran pakar. Betapa, permasalahan ini terlalu rumit untuk diurai. 

Tetapi, seperti yang saya sampaikan pada sahabat saya itu, bahwa kekeliruan paradigma yang telanjur akut pada kebanyakan para pendidik mengenai sastra telah menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam jurang tanpa dasar. Sastra hanya dipandang sebagai karya rekaan yang seolah-olah tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan. Juga dengan bidang-bidang keilmuan yang mereka ajarkan.

Maka, dalam diskusi via media sosial itu saya tuliskan lagi pesan kepada sahabat saya yang guru IPA itu. 

Saya katakan, "Paradigma yang menempatkan sastra sebatas karya rekaan ini pada gilirannya membuat buku-buku sastra tidak pernah didudukkan sebagai bacaan pendamping bagi pembelajaran setiap mata pelajaran. Para guru cenderung berorientasi untuk menghabiskan lembar halaman-halaman buku pelajaran atau buku paket hingga halaman terakhir. Lalu, di setiap akhir materi, siswa diminta untuk menjawab soal. Sebab, khawatir jika nanti mereka tak mampu mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian."

Cara itu tidak sepenuhnya salah, memang. Akan tetapi, jika saya boleh menyampaikan kecurigaan saya, maka saya akan mengatakan bahwa jangan-jangan kesanggupan sebagian guru untuk membiasakan membaca pun tidak jauh beda dengan apa yang disangkakan kepada masyarakat kebanyakan.

Jika dugaan saya benar---sementara, saya berharap dugaan saya keliru---maka rendahnya minat anak-anak (pelajar) kita untuk membaca tidak begitu saja bisa kita salahkan. Mereka adalah akibat, bukan sebab. Mereka masih dianggap sebagai objek, walau kerap dikatakan bahwa di dalam pembelajaran siswa adalah subjek. Dan, ini pula membuat saya menduga-duga lagi, bahwa upaya menciptakan budaya membaca di sekolah masih jauh dari harapan.

Sahabat saya kemudian membalas, "Kalau begitu, penekanan pelajaran sastra oleh guru, siswa diminta baca novel X, misalnya. Lalu, mereka diminta untuk menceritakan kembali pesan-pesan apa yang termuat di dalam novel tersebut?"

Saya katakan kemudian, "Itu salah satunya. Tetapi, sesungguhnya ada banyak dimensi yang perlu juga disentuh. Seperti upaya mengelaborasikan karya sastra dengan ilmu pengetahuan. Contohnya, guru mengungkap korelasi novel X dengan teori kuantum. Atau, korelasi novel tersebut dengan konsep hukum kekekalan energi."

Guru yang saya maksud tidak harus guru bahasa Indonesia. Bisa guru biologi, fisika, kimia, matematika, sosiologi, antropologi, sejarah, ekonomi, akuntansi, dan sebagainya. 

Ia boleh saja menceritakan pengalaman membaca novel X yang ternyata membuat ia menyadari bahwa di dalam novel itu ada teori-teori dari ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga, hal itu bisa saja menggugah rasa ingin tahu siswa. 

Mereka akan bertanya, lalu oleh guru bisa saja diarahkan untuk membaca novel itu. Setelah itu, siswa diminta untuk mengungkapkan kesan mereka atas novel yang ia baca. 

Dari situ, pembelajaran dapat diorientasikan kepada upaya untuk menggugah rasa ingin tahu. Dan, dengan begitu pula, guru-guru lintas mata pelajaran dapat lebih intens melakukan diskusi-diskusi yang lebih bermutu.

Untuk memberi sedikit penjelasan, saya berikan contoh pada kawan diskusi saya yang selain guru juga seorang pembatik itu. 

Ketika saya menekuni novel Digital Fortress karya Dan Brown, saya menemukan perihal menarik mengenai teori kriptograf. Sebuah permainan aksara yang dapat digunakan sebagai kode-kode tertentu. 

Misal, dengan hanya mengubah susunan huruf pada sebuah kata akan tercipta kode-kode rahasia untuk menyembunyikan fakta-fakta tertentu. Contohnya, kata "manis" dapat diubah menjadi "samin", "nimas", "siman", "minas", "masin", dan sebagainya.

Permainan aksara ini tak jauh beda dengan konsep peluang dalam matematika. Bisa juga berkait dengan koding atau permainan algoritma.

Novel berikutnya adalah Dunia Ana (judul aslinya Ana's World) karya Josten Gardeer, penulis novel Dunia Sophie. Novel ini mengisahkan kehidupan masa depan yang serba gersang akibat perubahan iklim dan efek rumah kaca. 

Ana---tokoh utama dalam novel tersebut---adalah seorang gadis yang merasa bahwa kehidupan di muka bumi jauh dari apa yang digambarkan melalui tayangan film dokumenter tentang flora dan fauna. 

Bumi telah banyak kehilangan jenis tumbuh-tumbuhan dan satwa. Mereka punah akibat ulah manusia yang mengeksploitasi perut bumi. Peradaban modern yang diciptakan manusia justru melahirkan kerusakan yang parah bagi bumi, sehingga hanya menyisakan potret kenangan masa lalu yang tak bisa dinikmati oleh anak-anak masa depan.

Pertanyaannya kemudian, lewat novel Ana's World, apakah pelajaran biologi akan berubah? 

Bisa jadi, porsi pelajaran biologi akan diorientasikan pada materi-materi tentang kehidupan makhluk renik macam virus, bakteri, dan lain-lain. Sebab, lingkungan yang buruk rawan menjadi tempat penyakit. 

Bisa jadi, pelajaran kimia yang bakal mendominasi. Sebab, di dalam novel itu dikisahkan pula bagaimana kehidupan manusia pada akhirnya sangat bergantung pada kimia.

Lewat dua contoh itu, kawan diskusi saya itu lantas membalas, "Kalau begitu, guru kudu pintar memantik alias memprovokasi supaya siswa mau membaca novel." 

"Betul, Pak guru. Harus demikian," tukas saya. 

Akan tetapi, agar dapat memantik guru perlu memiliki pengalaman membaca novel. Tujuannya, agar guru memiliki pengetahuan yang kaya. Dengan begitu, seorang guru punya banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus untuk menjelaskan materi-materi yang diajarkan. Secara tidak langsung, membaca novel juga akan memberi stimulan pada guru agar dapat melakukan komunikasi yang lebih hidup.

Di era kini, era sibernetik, orientasi pembelajaran sudah sangat berubah. Tidak hanya cukup dengan penyampaian informasi. Akan tetapi, lebih ditekankan pada pola komunikasi. 

Kalau hanya penyampaian informasi, kita sudah didahului oleh mesin-mesin pencarian macam google. Sementara, membaca karya sastra, khususnya novel, sebenarnya pembaca tengah diajak berkomunikasi tentang gagasan-gagasan, gambaran dunia, dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra memberi peluang bagi pembacanya untuk menanyakan kemungkinan-kemungkinan itu dan memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi fenomena yang serupa.

Sastra tak memberi jawaban. Akan tetapi, mengajak pembacanya untuk memikirkan dan menemukan pertanyaan-pertanyaan. Sastra, sebagaimana dinyatakan Prof. Bambang Ignasius Sugiharto, menampilkan bentuk-bentuk kehidupan yang rumit. Sebab, sastra adalah catatan personal. 

Kehidupan yang digambarkan sastra sebagaimana kehidupan yang sesungguhnya, yaitu teramat rumit untuk dipahami secara sederhana. Tidak seperti sains yang lebih berorientasi simplifikasi. 

Dunia, kata Prof. Bambang I. Sugiharto, tidak sesederhana yang dirumuskan oleh sains. Maka, dengan membaca karya sastra, seseorang diajak untuk lebih bijaksana di dalam menyikapi persoalan-persoalan kehidupan.

Saya setuju. Dan, karena itu pula, saya menyambut baik keputusan Mendikbud yang akhirnya memasukkan sastra ke dalam kurikulum di sekolah. Meski begitu, keputusan ini perlu dikawal dengan sebaik-baik mungkin. Saya berharap, keputusan itu tidak dipahami secara keliru, sehingga menghasilkan tindakan yang keliru pula di dalam implementasi kebijakan tersebut.

Ah, rasanya sudah terlalu panjang saya menulis. Meski sebenarnya masih ada hal lain yang kami diskusikan. Hanya, saya merasa perlu jeda untuk mengendapkan gagasan ini terlebih dahulu. Semoga para pembaca tulisan ini tak jenuh dan mau bersabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun