Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

16 Juli 2024   00:23 Diperbarui: 16 Juli 2024   15:03 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Problem tiap-tiap rumah sudah begitu kompleks dan ruwet. Dapat bekerja sebagai pekerja serabutan saja sudah sangat bersyukur, bagi masyarakat yang dikelaskan di bawah oleh sistem. 

Kondisi ini diperparah pula dengan cara pandang yang serba pragmatis. Sebuah cara pandang yang sependek pengamatan saya, juga disebabkan oleh sistem yang telah melahirkan kesenjangan kelas sosial.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang telah memasuki tahap tertib sosial? Saya tidak tahu. Kalaupun saya tahu, tentu yang saya ketahui masih sangat terbatas. 

Maka dari itu, sepertinya sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi negara untuk melakukan semacam survei mengenai kebiasaan membaca pada kelompok ini. Dikaitkan pula dengan cara berpikir mereka di dalam mengambil keputusan dan tindakan. Supaya jelas, seperti apa gambaran kebiasaan membaca di negeri ini, sebagaimana dinyatakan pula oleh kawan diskusi saya kali ini, "Sayang, minat baca anak sekarang (mungkin juga ini fenomena masyarakat Indonesia sepanjang zaman) kurang."

Lalu, saya kembali melanjutkan ketikan pesan yang saya balaskan kepada sahabat saya itu. 

"Problemnya, tidak seluruh guru mau melakukan itu. Sementara waktu, ada pemahaman yang boleh saya katakan keliru mengenai karya sastra dalam dunia persekolahan kita, Pak guru. Yaitu, sastra dianggap sebagai domainnya guru mapel bahasa Indonesia. Pemahaman itu menggiring guru-guru mapel lain enggan menyentuh sastra."

Melalui jawaban itu, sesungguhnya saya sekaligus ingin menyampaikan, bahwa pola pengajaran di bangku-bangku sekolah cenderung masih terkotak-kotak (saya katakan cenderung, karena mungkin saja sudah ada sekolah yang tidak demikian). Pola itu sebenarnya tinggalan sistem pengajaran ala kolonial. 

Di era sebelum para juragan berambut pirang datang ke negeri ini, sistem pengajaran tidak demikian. Bidang-bidang keilmuan tidak dikotakkan atau bahkan dikalengkan sendiri-sendiri dengan label a, b, c, dan seterusnya.

Dahulu, sebagaimana pernah saya dengar dari penuturan Prof. Dr. Manu J. Widyasaputra, pola pengajaran tidak dilakukan dengan pengotakan mata pelajaran. Pertemuan guru dengan para cantrik dilaksanakan untuk memberi perhatian pada penyampaian hal-hal prinsip dan konsep-konsep mengenai segala sesuatu. 

Selebihnya, para cantrik ditugaskan untuk mengkhatamkan bacaan atas pustaka-pustaka yang disimpan di perpustakaan tempat mereka belajar. Pustaka-pustaka itu tidak bukan dan tidak lain adalah hasil karya para cantrik kakak tingkat dan guru mereka. 

Setelah cukup menguasai isi pustaka itu, secara terpisah, para cantrik dilepas untuk melakukan pengembaraan sampai ke negeri-negeri jauh. Pustaka-pustaka itu pula yang menjadi panduan dalam perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun