Di era kini, era sibernetik, orientasi pembelajaran sudah sangat berubah. Tidak hanya cukup dengan penyampaian informasi. Akan tetapi, lebih ditekankan pada pola komunikasi.Â
Kalau hanya penyampaian informasi, kita sudah didahului oleh mesin-mesin pencarian macam google. Sementara, membaca karya sastra, khususnya novel, sebenarnya pembaca tengah diajak berkomunikasi tentang gagasan-gagasan, gambaran dunia, dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra memberi peluang bagi pembacanya untuk menanyakan kemungkinan-kemungkinan itu dan memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi fenomena yang serupa.
Sastra tak memberi jawaban. Akan tetapi, mengajak pembacanya untuk memikirkan dan menemukan pertanyaan-pertanyaan. Sastra, sebagaimana dinyatakan Prof. Bambang Ignasius Sugiharto, menampilkan bentuk-bentuk kehidupan yang rumit. Sebab, sastra adalah catatan personal.Â
Kehidupan yang digambarkan sastra sebagaimana kehidupan yang sesungguhnya, yaitu teramat rumit untuk dipahami secara sederhana. Tidak seperti sains yang lebih berorientasi simplifikasi.Â
Dunia, kata Prof. Bambang I. Sugiharto, tidak sesederhana yang dirumuskan oleh sains. Maka, dengan membaca karya sastra, seseorang diajak untuk lebih bijaksana di dalam menyikapi persoalan-persoalan kehidupan.
Saya setuju. Dan, karena itu pula, saya menyambut baik keputusan Mendikbud yang akhirnya memasukkan sastra ke dalam kurikulum di sekolah. Meski begitu, keputusan ini perlu dikawal dengan sebaik-baik mungkin. Saya berharap, keputusan itu tidak dipahami secara keliru, sehingga menghasilkan tindakan yang keliru pula di dalam implementasi kebijakan tersebut.
Ah, rasanya sudah terlalu panjang saya menulis. Meski sebenarnya masih ada hal lain yang kami diskusikan. Hanya, saya merasa perlu jeda untuk mengendapkan gagasan ini terlebih dahulu. Semoga para pembaca tulisan ini tak jenuh dan mau bersabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H