Kemudian, selama mengembara, mereka mendapatkan tugas untuk mencatat apa saja yang mereka alami. Ya, semacam catatan pengalaman pribadi mereka.
Menariknya, dalam pengembaraan itu para cantrik juga ditugasi untuk menemukan jalan pulang menuju tempat asal mereka belajar.Â
Begitu sampai kembali di tempat asal mereka belajar, sang guru akan meminta mereka untuk memberi laporan tentang apa saja yang mereka temui. Laporan itu kemudian dikomparasikan dengan catatan-catatan terdahulu.Â
Tujuannya, untuk menemukan perbedaan dan benang merah antara hasil pengamatan para cantrik dengan catatan-catatan yang telah dibuahkan oleh perguruan itu.
Tak hanya itu, melalui komparasi pustaka-pustaka itu para cantrik dan guru membahas ihwal perkembangan dunia dan perubahan-perubahannya.Â
Tinjauan mereka demikian kompleks. Meliputi berbagai disiplin pengetahuan. Sebagai hasil akhirnya, diskusi itu dicatat dan dipustakakan untuk selanjutnya dijadikan semacam referensi bagi angkatan berikutnya.
Tuturan Prof. Dr. KRT. Manu J. Widyaseputra itu rupanya juga saya temukan dalam novel tulisan Lian Hearn yang mengisahkan pertarungan antarklan di Jepang jelang abad-abad modern.Â
Pada novel itu, diceritakan bagaimana sistem pendidikan dijalankan pada sebuah perguruan di Terayama. Mirip dengan apa yang diungkap pakar filolog Universitas Gadjah Mada tersebut.Â
Tak ayal jika perguruan di Terayama menjadi jujukan para pengasa klan di Jepang saat itu. Mereka ingin sekali menemukan catatan-catatan yang mereka anggap penting dan rahasia. Tujuannya, untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Tetapi, rupanya perguruan itu tak sembarang memberikan pustaka mereka. Ada banyak pertimbangan. Salah satunya tentang perilaku tiap-tiap penguasa dari berbagai klan. Mereka sangat ketat melindungi pustaka mereka.Â
Lho... lho... lho! Lha kok malah ngelantur terlalu jauh.Â