Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

16 Juli 2024   00:23 Diperbarui: 16 Juli 2024   00:56 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cara itu tidak sepenuhnya salah, memang. Akan tetapi, jika saya boleh menyampaikan kecurigaan saya, maka saya akan mengatakan bahwa jangan-jangan kesanggupan sebagian guru untuk membiasakan membaca pun tidak jauh beda dengan apa yang disangkakan kepada masyarakat kebanyakan. Jika dugaan saya benar---sementara, saya berharap dugaan saya keliru---maka rendahnya minat anak-anak (pelajar) kita untuk membaca tidak begitu saja bisa kita salahkan. Mereka adalah akibat, bukan sebab. Mereka masih dianggap sebagai objek, walau kerap dikatakan bahwa di dalam pembelajaran siswa adalah subjek. Dan, ini pula membuat saya menduga-duga lagi, bahwa upaya menciptakan budaya membaca di sekolah masih jauh dari harapan.

Sahabat saya kemudian membalas, "Kalau begitu, penekanan pelajaran sastra oleh guru, siswa diminta baca novel X, misalnya. Lalu, mereka diminta untuk menceritakan kembali pesan-pesan apa yang termuat di dalam novel tersebut?"
Saya katakan kemudian, "Itu salah satunya. Tetapi, sesungguhnya ada banyak dimensi yang perlu juga disentuh. Seperti upaya mengelaborasikan karya sastra dengan ilmu pengetahuan. Contohnya, guru mengungkap korelasi novel X dengan teori kuantum. Atau, korelasi novel tersebut dengan konsep hukum kekekalan energi."

Guru yang saya maksud tidak harus guru bahasa Indonesia. Bisa guru biologi, fisika, kimia, matematika, sosiologi, antropologi, sejarah, ekonomi, akuntansi, dan sebagainya. Ia boleh saja menceritakan pengalaman membaca novel X yang ternyata membuat ia menyadari bahwa di dalam novel itu ada teori-teori dari ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga, hal itu bisa saja menggugah rasa ingin tahu siswa. Mereka akan bertanya, lalu oleh guru bisa saja diarahkan untuk membaca novel itu. Setelah itu, siswa diminta untuk mengungkapkan kesan mereka atas novel yang ia baca. Dari situ, pembelajaran dapat diorientasikan kepada upaya untuk menggugah rasa ingin tahu. Dan, dengan begitu pula, guru-guru lintas mata pelajaran dapat lebih intens melakukan diskusi-diskusi yang lebih bermutu.

Untuk memberi sedikit penjelasan, saya berikan contoh pada kawan diskusi saya yang selain guru juga seorang pembatik itu. Ketika saya menekuni novel Digital Fortress karya Dan Brown, saya menemukan perihal menarik mengenai teori kriptograf. Sebuah permainan aksara yang dapat digunakan sebagai kode-kode tertentu. Misal, dengan hanya mengubah susunan huruf pada sebuah kata akan tercipta kode-kode rahasia untuk menyembunyikan fakta-fakta tertentu. Contohnya, kata "manis" dapat diubah menjadi "samin", "nimas", "siman", "minas", "masin", dan sebagainya.

Permainan aksara ini tak jauh beda dengan konsep peluang dalam matematika. Bisa juga berkait dengan koding atau permainan algoritma.
Novel berikutnya adalah Dunia Ana (judul aslinya Ana's World) karya Josten Gardeer, penulis novel Dunia Sophie. Novel ini mengisahkan kehidupan masa depan yang serba gersang akibat perubahan iklim dan efek rumah kaca. Ana---tokoh utama dalam novel tersebut---adalah seorang gadis yang merasa bahwa kehidupan di muka bumi jauh dari apa yang digambarkan melalui tayangan film dokumenter tentang flora dan fauna. Bumi telah banyak kehilangan jenis tumbuh-tumbuhan dan satwa. Mereka punah akibat ulah manusia yang mengeksploitasi perut bumi. Peradaban modern yang diciptakan manusia justru melahirkan kerusakan yang parah bagi bumi, sehingga hanya menyisakan potret kenangan masa lalu yang tak bisa dinikmati oleh anak-anak masa depan.

Pertanyaannya kemudian, lewat novel Ana's World, apakah pelajaran biologi akan berubah? Bisa jadi, porsi pelajaran biologi akan diorientasikan pada materi-materi tentang kehidupan makhluk renik macam virus, bakteri, dan lain-lain. Sebab, lingkungan yang buruk rawan menjadi tempat penyakit. Bisa jadi, pelajaran kimia yang bakal mendominasi. Sebab, di dalam novel itu dikisahkan pula bagaimana kehidupan manusia pada akhirnya sangat bergantung pada kimia.
Lewat dua contoh itu, kawan diskusi saya itu lantas membalas, "Kalau begitu, guru kudu pintar memantik alias memprovokasi supaya siswa mau membaca novel."

"Betul, Pak guru. Harus demikian," tukas saya. Akan tetapi, agar dapat memantik guru perlu memiliki pengalaman membaca novel. Tujuannya, agar guru memiliki pengetahuan yang kaya. Dengan begitu, seorang guru punya banyak informasi yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus untuk menjelaskan materi-materi yang diajarkan. Secara tidak langsung, membaca novel juga akan memberi stimulan pada guru agar dapat melakukan komunikasi yang lebih hidup.

Di era kini, era sibernetik, orientasi pembelajaran sudah sangat berubah. Tidak hanya cukup dengan penyampaian informasi. Akan tetapi, lebih ditekankan pada pola komunikasi. Kalau hanya penyampaian informasi, kita sudah didahului oleh mesin-mesin pencarian macam google. Sementara, membaca karya sastra, khususnya novel, sebenarnya pembaca tengah diajak berkomunikasi tentang gagasan-gagasan, gambaran dunia, dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra memberi peluang bagi pembacanya untuk menanyakan kemungkinan-kemungkinan itu dan memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan ketika menghadapi fenomena yang serupa.

Sastra tak memberi jawaban. Akan tetapi, mengajak pembacanya untuk memikirkan dan menemukan pertanyaan-pertanyaan. Sastra, sebagaimana dinyatakan Prof. Bambang Ignasius Sugiharto, menampilkan bentuk-bentuk kehidupan yang rumit. Sebab, sastra adalah catatan personal. Kehidupan yang digambarkan sastra sebagaimana kehidupan yang sesungguhnya, yaitu teramat rumit untuk dipahami secara sederhana. Tidak seperti sains yang lebih berorientasi simplifikasi. Dunia, kata Prof. Bambang I. Sugiharto, tidak sesederhana yang dirumuskan oleh sains. Maka, dengan membaca karya sastra, seseorang diajak untuk lebih bijaksana di dalam menyikapi persoalan-persoalan kehidupan.

Saya setuju. Dan, karena itu pula, saya menyambut baik keputusan Mendikbud yang akhirnya memasukkan sastra ke dalam kurikulum di sekolah. Meski begitu, keputusan ini perlu dikawal dengan sebaik-baik mungkin. Saya berharap, keputusan itu tidak dipahami secara keliru, sehingga menghasilkan tindakan yang keliru pula di dalam implementasi kebijakan tersebut.

Ah, rasanya sudah terlalu panjang saya menulis. Meski sebenarnya masih ada hal lain yang kami diskusikan. Hanya, saya merasa perlu jeda untuk mengendapkan gagasan ini terlebih dahulu. Semoga para pembaca tulisan ini tak jenuh dan mau bersabar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun