Saya katakan, "Paradigma yang menempatkan sastra sebatas karya rekaan ini pada gilirannya membuat buku-buku sastra tidak pernah didudukkan sebagai bacaan pendamping bagi pembelajaran setiap mata pelajaran. Para guru cenderung berorientasi untuk menghabiskan lembar halaman-halaman buku pelajaran atau buku paket hingga halaman terakhir. Lalu, di setiap akhir materi, siswa diminta untuk menjawab soal. Sebab, khawatir jika nanti mereka tak mampu mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian."
Cara itu tidak sepenuhnya salah, memang. Akan tetapi, jika saya boleh menyampaikan kecurigaan saya, maka saya akan mengatakan bahwa jangan-jangan kesanggupan sebagian guru untuk membiasakan membaca pun tidak jauh beda dengan apa yang disangkakan kepada masyarakat kebanyakan.
Jika dugaan saya benar---sementara, saya berharap dugaan saya keliru---maka rendahnya minat anak-anak (pelajar) kita untuk membaca tidak begitu saja bisa kita salahkan. Mereka adalah akibat, bukan sebab. Mereka masih dianggap sebagai objek, walau kerap dikatakan bahwa di dalam pembelajaran siswa adalah subjek. Dan, ini pula membuat saya menduga-duga lagi, bahwa upaya menciptakan budaya membaca di sekolah masih jauh dari harapan.
Sahabat saya kemudian membalas, "Kalau begitu, penekanan pelajaran sastra oleh guru, siswa diminta baca novel X, misalnya. Lalu, mereka diminta untuk menceritakan kembali pesan-pesan apa yang termuat di dalam novel tersebut?"
Saya katakan kemudian, "Itu salah satunya. Tetapi, sesungguhnya ada banyak dimensi yang perlu juga disentuh. Seperti upaya mengelaborasikan karya sastra dengan ilmu pengetahuan. Contohnya, guru mengungkap korelasi novel X dengan teori kuantum. Atau, korelasi novel tersebut dengan konsep hukum kekekalan energi."
Guru yang saya maksud tidak harus guru bahasa Indonesia. Bisa guru biologi, fisika, kimia, matematika, sosiologi, antropologi, sejarah, ekonomi, akuntansi, dan sebagainya.Â
Ia boleh saja menceritakan pengalaman membaca novel X yang ternyata membuat ia menyadari bahwa di dalam novel itu ada teori-teori dari ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga, hal itu bisa saja menggugah rasa ingin tahu siswa.Â
Mereka akan bertanya, lalu oleh guru bisa saja diarahkan untuk membaca novel itu. Setelah itu, siswa diminta untuk mengungkapkan kesan mereka atas novel yang ia baca.Â
Dari situ, pembelajaran dapat diorientasikan kepada upaya untuk menggugah rasa ingin tahu. Dan, dengan begitu pula, guru-guru lintas mata pelajaran dapat lebih intens melakukan diskusi-diskusi yang lebih bermutu.
Untuk memberi sedikit penjelasan, saya berikan contoh pada kawan diskusi saya yang selain guru juga seorang pembatik itu.Â
Ketika saya menekuni novel Digital Fortress karya Dan Brown, saya menemukan perihal menarik mengenai teori kriptograf. Sebuah permainan aksara yang dapat digunakan sebagai kode-kode tertentu.Â