Munaroh melongo. Telepon genggam yang masih menempel di telinganya masih membunyikan nada tunggu. Tetapi, Kang Gudhal sudah berlalu dari hadapannya. Seolah-olah Kang Gudhal tak butuh jawaban.
"Halo, Mun," suara dari telepon itu mengusik telinga Munaroh.
"Eh, maaf, Pak," jawab Munaroh gugup. "Anu, Pak. Barusan Kang Gudhal kemari. Dia...."
"Ya, ya... saya sudah tahu. Nanti WA saja dia, seperti yang pernah saya bilang ke sampeyan. Gitu aja, ya?" potong petugas penjatah handuk.
"Baik, Pak," balas Munaroh, lantas ia tutup segera teleponnya.
Malam-malam, ketika Kang Gudhal tengah bercengkerama dengan istri di ruang tamu, sebuah pesan WhatsApp melintas. Terbaca, pada kotak notifikasi, nama pengirim pesan. Kang Gudhal segera membuka pesan itu. Isinya, "Maaf, Kang, tadi saya sudah menanyakan ke Pak Wahijun soal handuk jatah bulanan njenengan. Kata beliau, mulai bulan ini, khusus njenengan diambil langsung ke Pak Wahijun."
Kang Gudhal tersenyum. Ia balas, "Maturnuwun ya, Mun."
Kang Gudhal tahu, ini pasti ada sesuatu. Tetapi, apa? Ia tak tahu.
"Ada masalah lagi?" tanya istri Kang Gudhal.
"Mbuh," jawab Kang Gudhal singkat dengan suara rendahnya.
"Lha itu?" istri Kang Gudhal menunjuk telepon genggam yang dipegangnya.