Kang Gudhal teringat satu hal. Ia mesti menemui juragan besar. Itu dilakukan setelah tiga bulan tak mendapatkan handuk jatah bulanan. Ia tak tahu, apa sebabnya. Tetapi, waktu tiga bulan cukup membuatnya terganggu.
Seiris siang, setelah menghadiri rapat dengan para juragan pabrik,Biasanya, handuk itu tersedia di loker saat jelang akhir bulan. Tetapi, tiga bulan lalu, handuk itu tak ditemukan. Yang didapat hanya loker kosong. Awalnya, ia bermungkin-mungkin yang baik. Terlambat atau masih di perjalanan. Mungkin esok baru ada, pikirnya.
Berganti hari, loker itu masih saja kosong. Ia masih berandai-andai, jika handuk-handuk itu mungkin belum terbagikan. Sampai pada saat halaman kalender yang terpasang di dinding rumah telah dibalik, bulan telah berganti, handuk itu masih belum nampak di lokernya. Ia mulai curiga.
Suatu sore, ketika kakinya baru saja menginjak lantai teras rumah mungil, ia sempatkan diri menghubungi dua kawan sekerja. Dikirimkan pesan melalui Whatsapp. Pertanyaan yang diajukan tak jauh beda, apakah mereka sudah menerima handuk itu?
Yu Saropah dan Yu Wasniti memberikan jawaban yang sama. Handuk itu mereka terima beberapa hari lalu. Membaca jawaban itu, Kang Gudhal panik. Degup jantungnya terasa seperti sedang bermain lompat tali. Pikirannya melayang-layang seperti plastik kresek yang muncul dari tong sampah dan terbawa angin; keluyuran di jalanan. Ditambah lagi, ia punya masalah dengan aroma keringat yang menusuk hidung. Kalau handuk itu tidak ia dapatkan, ia khawatir aroma keringat yang menguar dari tubuhnya akan membuat kawan sekerja merasa terganggu dan menjauhinya.
"Coba Kang, tanyakan ke Munaroh," saran Yu Wasniti.
Seperti saran Wasniti, esok hari Kang Gudhal menemui Munaroh, petugas pembagi handuk di pabrik kertas tempat ia bekerja. "Mun, apa handuk jatah bulananku sedang diskorsing ya?" tanya Kang Gudhal enteng saja.
Munaroh terkejut. Bukan karena kemunculan Kang Gudhal yang tiba-tiba. Bukan oleh pertanyaan itu. Akan tetapi, cara Kang Gudhal bertanya. Ia duduk di kursi yang dihadapkan ke arah mejanya. Lalu, dengan pandangan yang tenang dan gaya Kang Gudhal yang kucluk menanyakan perkara handuk itu.
Tatapan Kang Gudhal membuat Munaroh tak berkutik. Tak sanggup memandang wajah Kang Gudhal lama-lama.
"Sebentar ya, Kang. Saya tanyakan ke bagian penjatah handuk dulu," jawab Munaroh gugup.
"Ya, Mun. Saya cuma nanya. Sekarang, saya lanjut kerja dulu," balas Kang Gudhal lalu beringsut dari kursi, melanjutkan tugasnya.