"Sampeyan diminta menemui juragan besar, Kang," begitu jawab Pak Wahijun ketika ditemui di ruangannya.
"Oh gitu. Nggih pun maturnuwun, Pak," balas Kang Gudhal sambil memohon diri dari hadapan Pak Wahijun.
Meski sudah mendapat jawaban, Kang Gudhal rupanya masih saja bandel. Ia tak segera memenuhi panggilan juragan besar. Malah kembali ke ruang kerjanya. Sambil menyelesaikan tugas-tugas yang mesti dirapikan, ia mencari selembar surat. Siapa tahu ada surat dari juragan besar yang terlayang padanya. Nyatanya? Tak ada. Alhasil, ia enggan menemui juragan besar, karena tak ada selembar surat pun.
Baginya, jika memang ada masalah yang perlu dibicarakan tentu ada surat. Jika tidak, lalu masalah apa sebenarnya? Ia tak mau pusing memikirkannya.
Bulan ketiga, terhitung sejak hari tak menerima handuk itu, ia menemui juragan besar, Pak Dimin. Selepas mengikuti rapat dengan para juragan, di ruang rapat lantai dua, ia tak langsung turun. Beberapa kawan sejawat juga masih tampak menunggu giliran menumpang lift di ruang lobi.
Pintu ruang kerja Pak Dimin masih mengatup. Kang Gudhal tak mengetuknya. Ia hanya bersandar pada meja resepsionis yang letaknya tepat di hadapan pintu ruangan Pak Dimin. Tak perlu lama menunggu, tebakan Kang Gudhal tepat, daun pintu itu bergerak dan terbuka. Muncullah Pak Dimin dari dalam ruangan. Melihat Kang Gudhal yang tengah berdiri bersandar di meja resepsionis, Pak Dimin lekas memintanya masuk.
"Kang Gudhal. Mari sini, masuk," sambut Pak Dimin.
Kang Gudhal mengikuti langkah Pak Dimin yang berjalan agak cepat.
"Silakan duduk," kata Pak Dimin.
Kang Gudhal menurut saja.
"Sampeyan sudah ngambil handuknya?" tanya Pak Dimin.