Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Entrepreneurship ala Emak Saya

14 September 2021   04:30 Diperbarui: 15 September 2021   19:18 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu berjualan di pasar | Sumber: KOMPAS.COM/FARIDA 

Tulisan ini tak bermaksud mengunggulkan nama Ibu saya. Terlebih ibuku bukanlah siapa-siapa. Beliau hanya seorang ibu biasa, seperti ibu-ibu lain di kampung. Kehidupannya dijalani biasa-biasa saja, tak ada keistimewaan. 

Tetapi, sekali ini izinkanlah bagi saya untuk menuturkan apa yang telah dilalui ibu saya. Sebab, bagaimanapun beliau adalah inspirasi bagi saya. Sangat inspiratif.

Kisah ini dimulai dari tiga puluh tiga tahun silam. Ketika aku masih berumur tiga tahun. Waktu itu, yang aku ingat, aku tengah bermain dengan kawan sebaya. Kejar-kejaran sampai lelah. 

Dan pada titik lelah itu, malam itu kami berhenti sejenak dari permainan melepas lelah. 

Di sebuah balok-balok kayu yang disusun menjadi rangka sebuah gerobak (songkro) kami duduk-duduk. 

Kala itu, aku dengar dari ibu kalau gerobak ukuran kecil itu akan digunakan sebagai tempat berjualan ibu. Ya, kecil ukurannya. Lebar satu meter, panjangnya 180 sentimeter dan tingginya 175 sentimeter.

Beberapa hari kemudian, gerobak itu jadi. Rangka balok kayu itu dibalut dengan seng. Kemudian dicat dengan warna hijau muda yang terang. 

Kini gerobak itu tampak menyolok di depan rumah berpagar anyaman bambu, di bawah pohon singkong yang bertahun-tahun tak pernah ditebang. 

Waktu itu halaman rumah masih cukup luas. Lebar jalan tak seperti sekarang ini. Masih cukup banyak area tersedia untuk arena bermain.

Mulailah saat itu ibu memasuki dunia barunya. Ibu menata meja kecil. Diletakkan di dalam gerobak itu. Di sampingnya sebuah bangku kayu kecil, sampai sekarang bangku itu masih utuh. 

Tiap pagi tiba ibu mulai menata barang-barang dagangannya. Mulai dari jajan pasar, jajan ringan, rokok, obat nyamuk bakar, lilin, dan barang-barang lainnya sekalipun yang disediakan tak cukup banyak. 

Maklum modal tak cukup dibelanjakan untuk barang yang lebih banyak. Apalagi sebelumnya Ibu hanya seorang buruh batik dengan upah yang pas-pasan, malah bisa dikatakan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadang terpaksa utang sana-sini. Tambal sulam istilahnya. Belum lagi, beliau berjuang sendirian.

Meski begitu, keterbatasan yang dialami ibu tak menyurutkan langkah beliau untuk terus berusaha. 

Memulai dunia barunya, ibu berusaha agar tak kehabisan akal. Kalau ada barang dagangan yang habis dan kebetulan ada yang hendak membelinya, beliau selalu tawarkan barang lainnya yang tak jauh beda fungsinya. Misal, obat nyamuk bakar. 

Orang selalu punya rasa fanatik pada merk tertentu, tetapi dengan lihai ibu membujuk agar orang itu mau membeli barang yang sama dengan merk yang lain. 

Tentu, penjelasan ibu tak akan membuat calon pembeli puas. Tetapi dengan enteng ibu selalu mengatakan, "Barang yang sampeyan cari habis. Tapi, kalau untuk sementara pakai yang ini dulu tak apa to? Besok yang sampeyan cari akan saya usahakan tersedia lagi."

Sebenarnya cara itu dilakukan ibu hanya untuk menutupi keterbatasan modal yang ibu punya. 

Setidaknya, kalau ada uang masuk itu artinya ada kesempatan untuk membelanjakannya esok pagi. Tetapi, bagaimana jika uang yang masuk ternyata tidak mencukupi atau tidak ada? Ibu tak kecil hati. Ibu beranikan diri untuk 'ngebon' pada toko langganan ibu di pasar. 

Konsekuensinya, ibu harus bisa melunasi esok harinya. Ya, tak boleh lama-lama. Harus esok hari. Lalu, bagaimana jika esoknya tak ada uang untuk melunasi? Ibu pun tak malu untuk mendatangi toko langganan ibu dan mengatakan keadaan yang sebenarnya. 

Lalu, ibu meminta izin untuk diberi tempo satu hari lagi. Kalaupun misal uang yang ada di tangan ternyata hanya cukup untuk melunasi utang, ibu pun tak keberatan jika saat itu tidak belanja barang-barang dagangan. Tentu, itu dilakukan untuk menjaga kepercayaan.

Lambat laun kepercayaan itu semakin besar. Para pemilik toko langganan ibu kerap kali tak keberatan memberi utangan. 

Bahkan, kadang memberi kesempatan ibu untuk membawa barang dagangannya terlebih dulu. 

Bayarnya belakangan. Biasanya pembayaran dilakukan setelah barang itu benar-benar habis, atau tersisa sedikit. 

Kendati kelonggaran itu ada, rupa-rupanya ibu tak mau sembarangan. Tidak setiap tawaran itu ia terima begitu saja. Selalu ada pertimbangan-pertimbangan lain. Ibu harus mempertimbangkan apakah barang itu laku atau kurang laku.

Tahun demi tahun, musim demi musim dilewati. Dagangan ibu semakin banyak. Tetapi, gerobak itu tak pernah berubah. Hanya catnya yang mengelupas ditempa panas dan hujan. 

Ah, kalau mengingat kala hujan, aku jadi ngenes. Beberapa kali hujan lebat mendera. Malam juga belum larut. Tetapi, keadaan benar-benar nglangut, sepi.

Ibu masih setia menunggui gerobaknya. Barang-barang dagangannya terpaksa ditutup plastik seadanya. Sementara aku tertidur di kolong meja beralas papan kayu dilapisi kardus yang terlipat. 

Ibu masih setia menunggu pembeli. Kalaupun hujan teramat lebat, terpaksa gerobak itu ditutupnya. Sekalipun ibu tak beranjak dari gerobaknya. 

ilustrasi gambar. (sumber foto: ekonomi.bisnis.com)
ilustrasi gambar. (sumber foto: ekonomi.bisnis.com)

Dalam masa penantian itu, ibu selalu berdoa agar hujan lekas reda, sehingga ibu bisa membuka gerobaknya lagi. Berjualan lagi sampai jam yang sudah ditentukan. 

Ya, biasanya ibu akan menutup gerobaknya dan menggembok pintunya pukul 23.00. Kalau tak ada hujan, aku biasanya tertidur di atas kursi panjang yang diletakkan di belakang gerobak. Entah, sekarang kursi itu dimana. Kadang pula aku tertidur dalam gerobak. Lalu, ibu menggendongku, mengantarkanku ke kamar.

Pernah suatu ketika, pagi-pagi, ibu mendapati gembok itu dijebol. Pintu gerobak itu didongkel. Tampak barang-barang berantakan. Laci meja juga dijebol. Sejumlah uang raib. Aku ingat, waktu itu ibu sedih. 

Tetapi, titik air matanya tak satupun ia relakan jatuh. Hanya ada satu yang di pikiran ibu kala itu, bagaimana ibu bisa berbelanja barang-barang dagangan jika tak ada uang? 

Dengan sangat terpaksa, celengan tembikar yang disimpannya di kolong dipan dipecahnya. Padahal, rencananya uang celengan itu akan digunakannya untuk memperbaiki gerobak yang sudah mengelupas catnya. Tetapi, apa boleh buat. Keadaan berkata lain. Terpaksa.

Hari itu juga, tak ada lagi uang tersisa. Mungkin hanya beberapa lembar. Nyaris semua dibelanjakan untuk memenuhi gerobak dagangan ibu. 

Ya sudah, terpaksa harus mengencangkan ikatan pada pinggang. Dan benar saja, masa sulit itu tak berlangsung lama, keadaan kembali pulih. Sampai pada waktunya, gerobak itu pun akhirnya dapat diperbaiki. Dicat ulang.

Memasuki tahun ke enam, uang yang dikumpulkan ibu dalam celengan itu dibobol lagi. 

Kali ini Ibu gunakan untuk memperbaiki gerobaknya. Lebih luas dan lebih kokoh. Gerobak itu kini berganti warung kecil yang disandarkan dengan teras rumah. Hanya saja bahannya masih sama. Balok-balok kayu dan seng. Tetapi kali ini gerak ibu lebih leluasa. Lebarnya 2,5 meter, panjangnya 4 meter, dan tingginya sekitar 2,5 meter.

Tatanan meja pun berubah. Ada beberapa meja tambahan. Lemari kaca kecil seperti kotak P3K dipasag di atas meja sebagai tempat pajang bungkus rokok. 

Hanya saja, lantainya masih berupa tanah. Kalau hujan kadang jadi becek. Kadang pula tergenang karena tingginya tak lebih tinggi dari permukaan jalan beraspal di depan rumah.

Sejak saat itu, ibu secara tidak langsung mulai mengajariku cara berdagang. 

Mula-mula aku hanya menjadi pencatat barang yang akan dibeli, kemudian aku diajari cara menghitung. 

Kala itu tak ada kalkulator. Cara menghitung yang diajarkan ibu adalah dengan cara awang-awang, alias hapalan. 

Salah satu yang masih aku kenang betul adalah setiap kali jelang lebaran tiba. Ibu akan menyodoriku potongan kertas bekas bungkus rokok yang diikat dengan karet gelang. 

Pada tiap-tiap kertas tertera nama pembeli dan sejumlah deret angka yang disusun tegak lurus ke bawah.

Ibu selalu menyuruhku menghitungnya. Ada yang jumlahnya puluhan ribu, ada pula yang belasan ribu. 

Kala itu uang sepuluh ribu masih sagat bernilai tinggi. Setelah kuhitung semuanya, kadang aku iseng menghitung lagi. Kusobek satu lembar kertas buku pelajaranku, lalu kucatat semua hitungan angka pada lembar-lembar potongan kertas itu. 

Dan setelah kuhitung, jumlahnya cukup fantastis. Angka itu tembus seratus ribu lebih. Setelah berhasil menghitungnya kusodorkan kertas itu kepada ibu. 

Lalu, ibu membacanya dan mengoreksi. Jika ada yang salah, aku diminta mengulanginya. Jika sudah benar ibu akan tersenyum senang. Dan alangkah senangnya kalau aku berhasil menghitungnya dengan benar.

Setelah semua kertas itu dihitung, ibu biasanya memintaku segera membuangnya. Ya, karena masih kanak-kanak biasanya kertas-kertas itu aku buat mainan. 

Kubakar kertas itu satu per satu. Barulah aku mengerti beberapa tahun kemudian, setelah berkali-kali lebaran aku jalani tugas dari ibu itu. 

Ketika itu nilai uang kian berubah. Di tahun itu, jumlahnya mencapai jutaan sudah. Tetapi, ibu selalu memerintahkanku untuk membuang kertas itu. Padahal, lembaran kertas-kertas itu tidak lain dan tidak bukan adalah daftar utang pelanggan warung ibu.

Pernah, waktu itu aku protes. Ku beranikan diri menanya, "Apakah tidak sebaiknya mereka ditagih? Eman-eman, Bu. Kalau diuangkan kan lumayan."

Ketika itu ibu hanya menjawab, "Barangkali mereka benar-benar tak mampu atau lupa. Kalau tak mampu atau lupa kan percuma saja ditagih. Toh, yang penting dagangan ibu masih jalan. Tidak kurang."

Yang lebih mengherankannya lagi, setiap kali lebaran ibu masih sempat-sempatnya menyiapkan bingkisan untuk semua pelanggan. Baik yang masih ngutang atau yang tak pernah ngutang. Semua diberinya. 

Alasan ibu sederhana, bingkisan itu diberikan sebagai rasa terima kasih atas kepercayaan mereka. 

Lha iyalah, bagaimana tidak mau percaya, wong orang ngutang saja dibiarkan! Pikirku waktu itu. Tetapi, sama sekali hal itu tak berani aku utarakan pada ibu.

Memasuki tahun ke sepuluh, tepatnya tahun 1993, celengan ibu kembali dibobol. Gerabah yang ditaruh di bawah dipan itu dipecahnya lagi. 

Ibu kembali membuat perombakan. Kali ini besar-besaran. Rumah sekaligus warung, diperbaiki. Tidak lagi papan kayu, tidak lagi seng, melainkan berdinding tembok. 

Warung ibu disatukan dengan rumah. Kala itu beberapa almari etalase kaca mulai dicicilnya. Ada yang beli, ada yang pesan di bengkel sebelah rumah.

Sejak saat itu, perkembangan warung ibu terus saja berjalan. Pelan tapi pasti. Bersamaan dengan itu pula, beberapa tetangga kemudian melirik usaha ibu. Sebagian dari mereka ada yang membuka warung dengan barang dagangan yang sama.

Lalu, apa reaksi ibu kala itu? 

Ibu hanya diam. Mula-mula sempat terpikir pertumbuhan warung-warung yang serupa akan memunculkan persaingan. Bahkan, sangat mungkin ada persaingan tidak sehat. Tetapi, lambat laun pikiran itu dihapusnya.

Dengan sedikit menghibur diri, pernah suatu ketika ibu katakan padaku, bahwa munculnya warung-warung di kampung itu tiada lain sebagai buah keberhasilan Ibu. 

Setidaknya, apa yang dilakukan ibu telah menginspirasi bagi orang-orang sekitar untuk meniru. 

Ibu masih ingat, ketika beliau masih bekerja sebagai buruh batik. Dengan tangannya, ibu membatik.

Di tangannya pula garis-garis nasib dilukiskan. Butuh kesabaran yang tidak hanya saat melukiskan lilin malam pada selembar kain, melainkan kesabaran saat harus menerima kenyataan. Bahwa upah yang diterima di tangannya itu tak cukup untuk membeli susu. Padahal, ibu berjuang sendirian.

Ya, seorang wanita harus pandai mengelola kebutuhan, apalagi urusan dapur. ibu membuktikannya. Dan aku menyaksikannya. 

Tidak hanya satu dua tahun tetapi bertahun-tahun. Kini usahanya makin tumbuh. Malah, karena tak cukup tenaga, ibu tak segan-segan mengambil tenaga dari tetangga atau dari kampung lain, terutama mereka yang butuh pekerjaan. 

Dan beberapa di antara mereka kini keluar karena berkeluarga atau keperluan lainnya. Tetapi, rata-rata mereka kemudian bisa berdiri menjadi seorang wanita usahawan. 

Setidaknya, ketika pulang ke kampungnya ia bisa membuka usaha yang seperti ibu lakukan. 

Mereka juga banyak menerapkan apa yang Ibu lakukan. Ya, ibu telah mencetak beberapa perempuan perkasa lainnya. Perempuan-perempuan mandiri. Perempuan yang mampu mengolah hidupnya lebih bermakna.

Harus aku akui, ibuku ternyata seorang inspirator bagi ekonomi rakyat, sekalipun tak pernah mendapatkan kuliah kewirausahaan. 

Boro-boro mendapatkan kuliah macam mahasiswa, lulus SD pun tak sempat. Ibu tak punya ijazah, tetapi aku yakin di tangannya ada banyak berkah bagi para perempuan untuk menjadi perempuan yang kuat menghadapi zaman.

Salam hormatku, untuk para ibu, khususnya untuk ibuku, sang inspirator!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun