Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Entrepreneurship ala Emak Saya

14 September 2021   04:30 Diperbarui: 15 September 2021   19:18 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu berjualan di pasar | Sumber: KOMPAS.COM/FARIDA 

Tetapi, titik air matanya tak satupun ia relakan jatuh. Hanya ada satu yang di pikiran ibu kala itu, bagaimana ibu bisa berbelanja barang-barang dagangan jika tak ada uang? 

Dengan sangat terpaksa, celengan tembikar yang disimpannya di kolong dipan dipecahnya. Padahal, rencananya uang celengan itu akan digunakannya untuk memperbaiki gerobak yang sudah mengelupas catnya. Tetapi, apa boleh buat. Keadaan berkata lain. Terpaksa.

Hari itu juga, tak ada lagi uang tersisa. Mungkin hanya beberapa lembar. Nyaris semua dibelanjakan untuk memenuhi gerobak dagangan ibu. 

Ya sudah, terpaksa harus mengencangkan ikatan pada pinggang. Dan benar saja, masa sulit itu tak berlangsung lama, keadaan kembali pulih. Sampai pada waktunya, gerobak itu pun akhirnya dapat diperbaiki. Dicat ulang.

Memasuki tahun ke enam, uang yang dikumpulkan ibu dalam celengan itu dibobol lagi. 

Kali ini Ibu gunakan untuk memperbaiki gerobaknya. Lebih luas dan lebih kokoh. Gerobak itu kini berganti warung kecil yang disandarkan dengan teras rumah. Hanya saja bahannya masih sama. Balok-balok kayu dan seng. Tetapi kali ini gerak ibu lebih leluasa. Lebarnya 2,5 meter, panjangnya 4 meter, dan tingginya sekitar 2,5 meter.

Tatanan meja pun berubah. Ada beberapa meja tambahan. Lemari kaca kecil seperti kotak P3K dipasag di atas meja sebagai tempat pajang bungkus rokok. 

Hanya saja, lantainya masih berupa tanah. Kalau hujan kadang jadi becek. Kadang pula tergenang karena tingginya tak lebih tinggi dari permukaan jalan beraspal di depan rumah.

Sejak saat itu, ibu secara tidak langsung mulai mengajariku cara berdagang. 

Mula-mula aku hanya menjadi pencatat barang yang akan dibeli, kemudian aku diajari cara menghitung. 

Kala itu tak ada kalkulator. Cara menghitung yang diajarkan ibu adalah dengan cara awang-awang, alias hapalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun