Tetapi, titik air matanya tak satupun ia relakan jatuh. Hanya ada satu yang di pikiran ibu kala itu, bagaimana ibu bisa berbelanja barang-barang dagangan jika tak ada uang?Â
Dengan sangat terpaksa, celengan tembikar yang disimpannya di kolong dipan dipecahnya. Padahal, rencananya uang celengan itu akan digunakannya untuk memperbaiki gerobak yang sudah mengelupas catnya. Tetapi, apa boleh buat. Keadaan berkata lain. Terpaksa.
Hari itu juga, tak ada lagi uang tersisa. Mungkin hanya beberapa lembar. Nyaris semua dibelanjakan untuk memenuhi gerobak dagangan ibu.Â
Ya sudah, terpaksa harus mengencangkan ikatan pada pinggang. Dan benar saja, masa sulit itu tak berlangsung lama, keadaan kembali pulih. Sampai pada waktunya, gerobak itu pun akhirnya dapat diperbaiki. Dicat ulang.
Memasuki tahun ke enam, uang yang dikumpulkan ibu dalam celengan itu dibobol lagi.Â
Kali ini Ibu gunakan untuk memperbaiki gerobaknya. Lebih luas dan lebih kokoh. Gerobak itu kini berganti warung kecil yang disandarkan dengan teras rumah. Hanya saja bahannya masih sama. Balok-balok kayu dan seng. Tetapi kali ini gerak ibu lebih leluasa. Lebarnya 2,5 meter, panjangnya 4 meter, dan tingginya sekitar 2,5 meter.
Tatanan meja pun berubah. Ada beberapa meja tambahan. Lemari kaca kecil seperti kotak P3K dipasag di atas meja sebagai tempat pajang bungkus rokok.Â
Hanya saja, lantainya masih berupa tanah. Kalau hujan kadang jadi becek. Kadang pula tergenang karena tingginya tak lebih tinggi dari permukaan jalan beraspal di depan rumah.
Sejak saat itu, ibu secara tidak langsung mulai mengajariku cara berdagang.Â
Mula-mula aku hanya menjadi pencatat barang yang akan dibeli, kemudian aku diajari cara menghitung.Â
Kala itu tak ada kalkulator. Cara menghitung yang diajarkan ibu adalah dengan cara awang-awang, alias hapalan.Â