Ibu masih ingat, ketika beliau masih bekerja sebagai buruh batik. Dengan tangannya, ibu membatik.
Di tangannya pula garis-garis nasib dilukiskan. Butuh kesabaran yang tidak hanya saat melukiskan lilin malam pada selembar kain, melainkan kesabaran saat harus menerima kenyataan. Bahwa upah yang diterima di tangannya itu tak cukup untuk membeli susu. Padahal, ibu berjuang sendirian.
Ya, seorang wanita harus pandai mengelola kebutuhan, apalagi urusan dapur. ibu membuktikannya. Dan aku menyaksikannya.Â
Tidak hanya satu dua tahun tetapi bertahun-tahun. Kini usahanya makin tumbuh. Malah, karena tak cukup tenaga, ibu tak segan-segan mengambil tenaga dari tetangga atau dari kampung lain, terutama mereka yang butuh pekerjaan.Â
Dan beberapa di antara mereka kini keluar karena berkeluarga atau keperluan lainnya. Tetapi, rata-rata mereka kemudian bisa berdiri menjadi seorang wanita usahawan.Â
Setidaknya, ketika pulang ke kampungnya ia bisa membuka usaha yang seperti ibu lakukan.Â
Mereka juga banyak menerapkan apa yang Ibu lakukan. Ya, ibu telah mencetak beberapa perempuan perkasa lainnya. Perempuan-perempuan mandiri. Perempuan yang mampu mengolah hidupnya lebih bermakna.
Harus aku akui, ibuku ternyata seorang inspirator bagi ekonomi rakyat, sekalipun tak pernah mendapatkan kuliah kewirausahaan.Â
Boro-boro mendapatkan kuliah macam mahasiswa, lulus SD pun tak sempat. Ibu tak punya ijazah, tetapi aku yakin di tangannya ada banyak berkah bagi para perempuan untuk menjadi perempuan yang kuat menghadapi zaman.
Salam hormatku, untuk para ibu, khususnya untuk ibuku, sang inspirator!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H