Yang lebih mengherankannya lagi, setiap kali lebaran ibu masih sempat-sempatnya menyiapkan bingkisan untuk semua pelanggan. Baik yang masih ngutang atau yang tak pernah ngutang. Semua diberinya.Â
Alasan ibu sederhana, bingkisan itu diberikan sebagai rasa terima kasih atas kepercayaan mereka.Â
Lha iyalah, bagaimana tidak mau percaya, wong orang ngutang saja dibiarkan! Pikirku waktu itu. Tetapi, sama sekali hal itu tak berani aku utarakan pada ibu.
Memasuki tahun ke sepuluh, tepatnya tahun 1993, celengan ibu kembali dibobol. Gerabah yang ditaruh di bawah dipan itu dipecahnya lagi.Â
Ibu kembali membuat perombakan. Kali ini besar-besaran. Rumah sekaligus warung, diperbaiki. Tidak lagi papan kayu, tidak lagi seng, melainkan berdinding tembok.Â
Warung ibu disatukan dengan rumah. Kala itu beberapa almari etalase kaca mulai dicicilnya. Ada yang beli, ada yang pesan di bengkel sebelah rumah.
Sejak saat itu, perkembangan warung ibu terus saja berjalan. Pelan tapi pasti. Bersamaan dengan itu pula, beberapa tetangga kemudian melirik usaha ibu. Sebagian dari mereka ada yang membuka warung dengan barang dagangan yang sama.
Lalu, apa reaksi ibu kala itu?Â
Ibu hanya diam. Mula-mula sempat terpikir pertumbuhan warung-warung yang serupa akan memunculkan persaingan. Bahkan, sangat mungkin ada persaingan tidak sehat. Tetapi, lambat laun pikiran itu dihapusnya.
Dengan sedikit menghibur diri, pernah suatu ketika ibu katakan padaku, bahwa munculnya warung-warung di kampung itu tiada lain sebagai buah keberhasilan Ibu.Â
Setidaknya, apa yang dilakukan ibu telah menginspirasi bagi orang-orang sekitar untuk meniru.Â