Bahkan, kadang memberi kesempatan ibu untuk membawa barang dagangannya terlebih dulu.Â
Bayarnya belakangan. Biasanya pembayaran dilakukan setelah barang itu benar-benar habis, atau tersisa sedikit.Â
Kendati kelonggaran itu ada, rupa-rupanya ibu tak mau sembarangan. Tidak setiap tawaran itu ia terima begitu saja. Selalu ada pertimbangan-pertimbangan lain. Ibu harus mempertimbangkan apakah barang itu laku atau kurang laku.
Tahun demi tahun, musim demi musim dilewati. Dagangan ibu semakin banyak. Tetapi, gerobak itu tak pernah berubah. Hanya catnya yang mengelupas ditempa panas dan hujan.Â
Ah, kalau mengingat kala hujan, aku jadi ngenes. Beberapa kali hujan lebat mendera. Malam juga belum larut. Tetapi, keadaan benar-benar nglangut, sepi.
Ibu masih setia menunggui gerobaknya. Barang-barang dagangannya terpaksa ditutup plastik seadanya. Sementara aku tertidur di kolong meja beralas papan kayu dilapisi kardus yang terlipat.Â
Ibu masih setia menunggu pembeli. Kalaupun hujan teramat lebat, terpaksa gerobak itu ditutupnya. Sekalipun ibu tak beranjak dari gerobaknya.Â
Dalam masa penantian itu, ibu selalu berdoa agar hujan lekas reda, sehingga ibu bisa membuka gerobaknya lagi. Berjualan lagi sampai jam yang sudah ditentukan.Â
Ya, biasanya ibu akan menutup gerobaknya dan menggembok pintunya pukul 23.00. Kalau tak ada hujan, aku biasanya tertidur di atas kursi panjang yang diletakkan di belakang gerobak. Entah, sekarang kursi itu dimana. Kadang pula aku tertidur dalam gerobak. Lalu, ibu menggendongku, mengantarkanku ke kamar.
Pernah suatu ketika, pagi-pagi, ibu mendapati gembok itu dijebol. Pintu gerobak itu didongkel. Tampak barang-barang berantakan. Laci meja juga dijebol. Sejumlah uang raib. Aku ingat, waktu itu ibu sedih.Â