Karena aku dan orang tuaku tidak memiliki dana berlebih untuk menikmati keindahan Indonesia, sehingga harus  mengakalinya dengan mencari pekerjaan yang dapat membawaku mengunjungi provinsi yang ada di Indonesia. Mungkin saja ijazah dan gelar sarjana tak penting,  tetapi yang kukehendaki hanya bermanfaat untuk orang banyak.Â
Rabu, 13 April 2016, 05.30 WIT, akhirnya aku menginjakkan  kaki di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Penerbangan  Jakarta -- Makassar -- Biak Numfor, berangkat dari Jakarta, pada 21.00 WIB lalu transit di Makassar dan kemudian 05.00 WIT aku dan Diani (Laode Hardiani) tiba di Bandara Frans Kaisepo, Biak.Â
Dalam penerbangan Makassar -- Biak saat akan mendarat di Bandara Frans Kaisepo, aku menyaksikan bola matahari menanjak di ufuk timur dan horizon lautan berwarna orange tertimpa sinar cahaya pagi, aku seakan tersihir dan takjub.
Saat itu matahari pagi, tak pernah kurasakan sama di setiap tempat, tapi yang pasti keindahannya berubah-ubah. Tergantung suasana hati! Begitu aku bersyukur, maka rasa indah, bukan lagi urusan mata. Perasaanku hari itu bahagia, tak sabar rasanya kaki ini untuk menginjakkan kaki di Pulau Biak. Waktu itu kami dijemput oleh Kak Megareta Tobing dan Pak Gerid.
Yah, Biak yang merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Teluk Cenderawasih yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Dari Biak-lah, awalnya aku menginjakkan kaki ke Jayapura hingga ke Manokwari, Papua Barat.Â
Selama berada di Kabupaten Biak Numfor, aku banyak mengunjungi beberapa tempat wisata. Kak Julistrio Boby ( Boby), Setiawan Mangando (Aliando), Diani dan Kak Mega yang menemani petualanganku untuk menyaksikan semua yang harus kusisir di Biak. Â
Petualangan di Biak Numfor ini, aku mulai dari Batu Picah yang terletak di Biak Utara Batu Picah terletak di Biak Utara. Jika bepergian ke Kabupaten Supiori, Â aku selalu melewati tempat ini. Sayangnya, jika menggunakan angkutan umum, aku tentu saja tidak bisa singgah.
Sampai suatu hari ada kegiatan di daerah Biak Utara, tak mau aku lewatkan kesempatan ini. Aku pun mengikuti kegiatan, jujur saja saat kegiatan aku tidak fokus. Di pikiranku saat itu, selalu terbersit semoga kegiatan ini cepat selesai.
Tubuhku tertinggal dalam kegiatan, tapi pikiran dan imajinasiku, terus menerus mengara ke Batu Picah. Ternyata Sang Maha Segalanya, mengabulkan doaku, yang kubisikkan pada angin dan hawa laut.Â
Siang itu cuaca sangat mendukung, langit biru dan angin pantai sepoi-sepoi. Tibalah kami di Batu Picah. Â Yang aku lihat, di Batu Picah ini ada tebing-tebing. Setelah melihatnya langsung, aku bisa memastikan dengan sebutan demikian.
Julukan legendarisnya sebagai Batu Picah, karena ombak yang datang dari laut terhalang dan terbentur, berdegum kemudian pecah di antara bebatuan karang. "Ombak yang pecah itu bisa mencapai deburan hingga setinggi 10-15 meter, apalagi jika pasang tinggi", ujar Pak Gerid.
"Sayangnya, di Batu Picah ini tidak ada retribusi, yang ada sumbangan sesuka pengunjung", tandasnya. Dari Batu Picah aku pun menuju air terjun Wafsarak.
Air Terjun Wafsarak
Air terjun ini berada dekat Batu Picah, seperti sebelumnya, juga tidak ada tiket masuk. Lokasi air terjun ini dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, dihiasai akar pohon yang menjuntai. Melihatnya serasa berada langsung di area film Tarzan. Akar-akar tersebut, dijadikan oleh anak-anak sebagai lokasi permainan bergelantungan.
Diani bahkan sempat mencoba menaiki pohon, kemudian  melompat ke dalam kolam air yang berada di bawah aliran air terjun. Segar sekali.
Lokasi ini, pantas dikelola oleh BUMDes di desa setempat, dengan menyediakan kamar mandi dan WC. Sehingga bisa menjadi salah-satu area mengumpulkan pundi-pundi untuk pembangunan desa yang mandiri. Entahlah kalau aparat desa setempat, berpikir ke arah itu.
Air Terjun Karmon
Kurnia Thamrin, ia yang mengajakku ke air terjun ini. Dalam perjalanan dari Supiori menuju Biak, aku melalui air terjun ini. "Ya udah singgah aja, sambil istirahat katanya." Aku pun mengiyakan. Momentum yang tak direncanakan, kedatanganku bukan di musim hujan.
Tiba lokasi, Nia memarkir kendaraan. Kemudian kami berjalan ke lokasi, tanpa didampingi pemandu. Jaraknya tidak membuat napas ngos-ngosan. Tiba di lokasi disuguhkan pemandangan berupa kebeningan air yang membuat batu bisa terlihat. Kemungkinan saat musim hujan, airnya tak sebening pantulan cermin. Meski pantas untuk menjadi lokasi wisata unggulan, tapi hari itu pengunjung hanya kami berdua.
Dari Biak Utara ke Biak Timur
Goa Jepang ini terletak di daerah Biak Timur. Jika tak salah ingat, saat itu harga tiket masuknya Rp. 25,000 per orang. Goa Jepang ini merupakan peninggalan pasukan penjajah dari negeri Matahari Terbit.
Sisa-sisa peninggalannya, masih ada berupa baling-baling pesawat, tank, jerigen, baju, topi-topi, perlengkapan makan minum, bahkan tengkorak. Perang membuat mereka tak dimakamkan dengan layak.
Kemungkinan lain, pihak Jepang kala itu sibuk mengurus kekalahan mereka setelah Hirosima dan Nagasaki, mendapatkan bencana massal yang dikirim dari udara. Zaman dahulu goa ini merupakan benteng pertahanan.
Menurut orang yang menjaga tempat ini, banyak turis Jepang berkunjung. Perhatian turis-turis itu, tidak membuat pemerintah Jepang memindahkan tengkorak itu ke pemakaman tertentu. Bisa juga karena ia tak dikenali lagi, maka tak ada di antara wisatawan itu yang merasa tengkorak perlu dibawa pulang.
"Berada di dalam goa, terasa aura mistis, membayangkan rasa ngeri, terjebak dalam goa dan meninggal begitu saja tanpa ada keluarga yang merasa kehilangan." Goa itu berada di bawah pohon rindang. Entah pohon itu sudah sebesar itu, kala nyawa tentara Jepang itu melesat dari tubuhnya.Â
Sehabis mengunjungi gua, kemudian mengurai arah perjalanan menuju ke area pantai.
Pantai Anggaduber, Biak Timur
Tepat seminggu berada di Biak, aku diajak oleh Kak Bobby ke daerah Biak Timur. Katanya, "Yuk ke daerah Biak Timur, di sana itu ada lokasi yang akan dijadikan pabrik keramik tetapi gak jadi, masih banyak mobil truk dan peralatan lainnya yang belum dikembalikan."
Sebab lokasi ini bukan tempat yang kuincar untuk kukunjungi, maka aku tak perlu bercerita, pada sesuatu yang 'belum jadi' di area tersebut. Dari tempat ini, kak Bobby mengajakku ke pantai Anggaduber.
Karena kunjunganku pada hari Ahad, tentu saja pantai ini ramai oleh pengunjung. Bagi ini mencoba sensasi adrenalin, disini terdapat lokasi untuk terjun bebas ke laut. Pantai ini sudah dikelola, berbeda dengan dua tempat wisata sebelumnya.
Di sekitar pantai Anggaduber terdapat gazebo yang disewakan, pantai ini belum dicemari sampah plastik, sebagaimana umumnya wilayah pinggir laut. Â Pasir putih, yang bernoda oleh buangan manusia, dan air laut yang biru merupakan suatu sajian pemandangan yang ditawarkan pantai Anggaduber ini.
Pantai Segara Indah Bosnik, Biak Timur
Perjalanan ke Bosnik, pada mulanya bukan untuk wisata, tapi masih berkaitan dengan pekerjaan yakni survei hasil perikanan. Setelah surve, maka kami bertiga, bersama Diani dan kak Mega ke pantai Segara Indah.
Menurut beberapa orang, selain goa jepang, Anggaduber, maka pilihan berikutnya pada pantai Segara Indah Bosnik yang berada di Biak Timur. Pemandangan yang ditawarkan, seharusnya kujelaskan mendetail, tapi aku belum sempat merangkainya.
Namun, secara sederhana, kesimpulannya yakni sangatlah indah untuk dinikmati. Bila area pantai, layak untuk snorkeling, apalagi diving, maka yang pantas membayangkan kata sifatnya yang berkaitan dengan keindahan, hanyalah yang pernah melakoni salah satu aktivitas tersebut.
Berbeda dengan  pantai Anggaduber, lokasi ini, sebagaimana umumnya wisata pantai yang tak terjaga,  aku temukan lagi pemandangan yang tercemar  oleh sampah.
Pantai Samber
Sekali merangkuh dayung, tak mungkin satu pulau terlampaui, apalagi dua. Tapi, pepatah yang berkaitan dengan kayuh sampan, kini kulakukan. Aku ke pantai ini karena ada kegiatan dari kantor, tapi saat bersamaan juga berwisata.
Pagi itu aktivitas masyarakat baru kembali dari melaut, maka nampaklah ikan-ikan yang besar dan harganya yang bagiku murah. Â "Waktu itu harga ikannya Rp. 200.000 per ekor. Murah kan ikannya!" Sehabis melihat aktivitas masyarakat, aku pun beralih ke pinggir pantai sambil menikmati suasana hari itu.
Ide untuk mengunjungi telaga biru Samares berasal dari Nando. "Yuk, ke Samares!", ajakannya sulit kutampik, padahal hari itu aku sedang berpuasa dan besok adalah Hari Raya Idul Adha. Untuk mencapai tempat ini, kami harus bertanya.
Meski demikian, kami tetap tersesat. Awalnya kami menggunakan kendaraan roda empat, sampai akhirnya bertemu jalan yang sudah tidak bisa dilalui, baik itu roda empat maupun roda dua.
Yup, hanya dengan berjalan kaki menuruni bebatuan yang menghalangi jalan. Kondisi perjalanan, yang harusnya hanya untuk wisata, tertambahkan dengan sedikit rona petualangan. Hujan pun yang turun, tak sempat diantisipasi dengan membawa jas hujan, mantel, atau payung.
Untung alam sekitar menyediakan tanaman berdaun lebar yang memiliki zat anti basah. Hanyalah daun talas yang dipakai sebagai payung. Rasa petualangan itu terbaca pada kawanku, Diani. Kondisi medan, yang dilalui membuat ia harus duduk di jalan, karena kecapekan dan memberi sinyal, "Aku menyerah, tak sanggup melangkah lebih jauh".
Sinyal itu kami abaikan, dengan saling memompa semangat, ditambah dengan asupan tekad dan keinginan yang mengebu-gebu, kami memaksakan diri menggerakan engsel lutut, menyusuri jalan, sampai akhirnya kami bertemu dengan pertigaan.
Kami membagi tim, ada yang ke arah kiri, kanan dan tengah. Yang mengarah ke kiri, hanya bertemu dengan laut lagi. Pembagian tiga jalur itu, tak berhasil. Ternyata tak ada yang menemukan telaga biru.
Akhirnya, setelah lelah mencapai tahap final, Â kami memutuskan duduk di pantai sambil menikmati cemilan. Peruntungan belum berakhir, ketika bertemu dengan sepasang suami istri. Setelah mengisahkan kegagalan pencarian, pasangan ini berbaik hati untuk mengantar kami ke telaga. Entah bagaimana pasangan ini, yang hanya menggunakan satu jalur, bisa menemukan lokasi. Kami yang jomblo ini, sudah membagi diri hingga tiga, seperti amoeba, tapi hanya bertemu pada titik kelelahan. Barangkali begitulah pernikahan, selalu menemukan hal yang dikehendaki, karena mereka menyatukan hati. Entahlah, mungkin suatu hari bisa kubuktikan.
Saat menemukan tempat ini, rasa lelah hilang seketika. Warna biru dengan air yang sangat jernih dan dingin, banyak pepohonan yang mengelilingi telaga ini.  Kata Nando, "Harus berenang, khan udah jauh-jauh ke sini," lalu lanjutnya, "masa cuma kena percik-percik air. Harus berenang, biar rasa capek  terbayarkan."
Telaga biru Samares ini masih belum mendapat perhatian atau lebih tepatnya terabaikan oleh perhatian dari pemerintah setempat dan masyarakat. Hal ini terlihat belum adanya fasilitas apapun, seperti tempat sampah dan papan penunjuk jalan. Kemungkinan bukan hanya kami yang pernah tersesat.
Di sini, masih berserakan sampah, hasil ulah pengunjung atau yang terbawa ombak. Banyak potensi wisata yang dimiliki Kabupaten Biak Numfor, seandainya saja pemerintah daerah fokus dan serius. Pantai relatif bersih dari limbah, selain sampah-sampah yang masih bisa ditanggulangi dengan membuat tempat pembuangan sementara di tempat tertentu.
Beberapa yang sudah aku kunjungi, tidak sempat aku tuliskan misalnya Opiaref, Anggopi, Korem, dan sebagainya. Terlalu banyaknya pantai yang aku datangi, sampai-sampai ketika aku kembali ke pulau Jawa, salah seorang temanku mengajakku main ke pantai. Aku jawab dengan jawaban keengganan, "Aku mau ke pantai, jika nampak seperti di Biak!".
Senin, 21 November 2016, aku meninggalkan Kabupaten Biak Numfor. Sedih, hanya satu kata itulah yang dapat menggambarkan perasaan hatiku saat itu. Bukan hanya terasa perih di hati, aku bahkan sampai menitikkan air mata, ketika berpamitan dengan nenek dan keluarga besar kepala kampung Mapia, Willem M. Sen.
Biak bukan hanya indah pemandangannya, tetapi bagiku jadi lebih tidak terlupakan karena kebajikan hati orang-orangnya. Benar kata Pak Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Supiori, Bapak Robert J. Mattulessy, "Biak, itu bila seseorang teringat padanya, maka ia akan berusaha kembali. Saat aku meninggalkanya, satu yang selalu terpikirkan, "Suatu hari nanti aku pasti akan kembali!".
 Perjalanan ke Biak mengajarkanku jika bertemu dengan hal jelek, maka mengingatkanku untuk bersyukur, sedangkan jika bertemu hal yang bagus, maka aku menjadikannya sebuah motivasi. Jelek dan bagus, aku jadikan sebagai pelajaran, karena kutahu dan percaya segala sesuatu terjadi, karena sebuah alasan. Kalau pun tak ada yang pantas kusebut sebagai alasan, maka biarlah mengelupas sebagai kenangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI