Julukan legendarisnya sebagai Batu Picah, karena ombak yang datang dari laut terhalang dan terbentur, berdegum kemudian pecah di antara bebatuan karang. "Ombak yang pecah itu bisa mencapai deburan hingga setinggi 10-15 meter, apalagi jika pasang tinggi", ujar Pak Gerid.
"Sayangnya, di Batu Picah ini tidak ada retribusi, yang ada sumbangan sesuka pengunjung", tandasnya. Dari Batu Picah aku pun menuju air terjun Wafsarak.
Air Terjun Wafsarak
Air terjun ini berada dekat Batu Picah, seperti sebelumnya, juga tidak ada tiket masuk. Lokasi air terjun ini dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, dihiasai akar pohon yang menjuntai. Melihatnya serasa berada langsung di area film Tarzan. Akar-akar tersebut, dijadikan oleh anak-anak sebagai lokasi permainan bergelantungan.
Diani bahkan sempat mencoba menaiki pohon, kemudian  melompat ke dalam kolam air yang berada di bawah aliran air terjun. Segar sekali.
Lokasi ini, pantas dikelola oleh BUMDes di desa setempat, dengan menyediakan kamar mandi dan WC. Sehingga bisa menjadi salah-satu area mengumpulkan pundi-pundi untuk pembangunan desa yang mandiri. Entahlah kalau aparat desa setempat, berpikir ke arah itu.
Air Terjun Karmon
Kurnia Thamrin, ia yang mengajakku ke air terjun ini. Dalam perjalanan dari Supiori menuju Biak, aku melalui air terjun ini. "Ya udah singgah aja, sambil istirahat katanya." Aku pun mengiyakan. Momentum yang tak direncanakan, kedatanganku bukan di musim hujan.
Tiba lokasi, Nia memarkir kendaraan. Kemudian kami berjalan ke lokasi, tanpa didampingi pemandu. Jaraknya tidak membuat napas ngos-ngosan. Tiba di lokasi disuguhkan pemandangan berupa kebeningan air yang membuat batu bisa terlihat. Kemungkinan saat musim hujan, airnya tak sebening pantulan cermin. Meski pantas untuk menjadi lokasi wisata unggulan, tapi hari itu pengunjung hanya kami berdua.