Ekosistem riset dan inovasi dibutuhkan oleh ilmuwan dalam berkarya. Peleburan beberapa lembaga riset ke BRIN adalah kemunduran. Birokratisasi bisa menjadi kerikil tajam bagi perkembangan sains dan teknologi. Bangsa Indonesia kurang menghargai karya dan eksistensi ilmuwan atau peneliti. Bila ini terus berlanjut peluang terjadinya brain drain semakin besar.
Ekosistem riset dan inovasi juga harus dibangun tanpa intervensi ataupun praktek politisasi. Sangat penting menjaga dan merawat independensi ilmuwan dalam mengembangkan sains dan teknologi. Diharapkan, hasil kreativitas dan inovasi para ilmuwan, penemu dan inovator untuk kepentingan dan kemajuan bangsa, bukan kepentingan penguasa ataupun politik sesaat.
Meningkatnya intoleransi
Pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK membutuhkan tempat dan iklim yang menghormati keberagaman manusia itu sendiri. Lingkungan yang terbuka tehadap keberagaman yang melekat pada setiap orang akan menjadi tempat yang subur lahirnya penemuan, inovasi, ataupun ide baru (Martin Prosperity Institute, 2015).
Lingkungan yang ramah terhadap keberagaman akan menjadi magnet bagi orang- orang kreatif untuk berinovasi. Bukan itu saja. Keterbukaan terhadap keberagaman bisa memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, homogenitas berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi (Quamrul Ashraf dan Oded Galor, 2011).
Tampaknya, sebagai bangsa yang pluralis Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi keberagamannya. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya praktek intoleransi. Survei yang dilakukan oleh Wahid Institute baru-baru ini menunjukkan perilaku intoleransi di Indonesia meningkat menjadi 54% dari 46%.
Data The Legatum Prosperity Index 2021 juga menunjukkan, Indonesia dalam hal personal freedom atau kekebasan sipil, berada pada peringkat 102 dari 167 negara. Hasil itu sejalan dengan meningkatnya perilaku intoleransi di tanah air.
Meningkatnya perilaku intoleransi di tanah air juga menjadi salah satu penyebab menurunnya indeks demokrasi Indonesia. Tahun 2020 yang lalu The Economist Intellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat. Ironisnya, nilai indeks demokrasi Indonesia tahun itu tercatat sebagai nilai yang terendah dalam dua dekade terakhir.
Tantangan untuk menjadi negara maju dan makmur pada tahun 2045 akan semakin berat bila kualitas demokrasi terus menurun. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Demokrasi, dengan kelebihan dan kekurangannya, memiliki korelasi yang positif dengan pertumbuhan ekonomi (Daren Acemoglu et all, 2019).
Bila kebebasan adalah hakikat dan prinsip dasar demokrasi, maka fondasi demokrasi adalah toleransi. Toleransi, kebebasan, dan demokrasi adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Intoleransi meningkat, kebebasan sipil terancam. Ketiadaan kebebasan sipil, maka dengan sendirinya demokrasi juga akan memudar.
Setiap manusia patut diberi kebebasan dalam mengembangkan kreativitas dan inovasi, tanpa dibatasi oleh agama, suku atau perbedaan lainnya. Kebebasan juga sangat penting bagi ekosistem riset dan inovasi di tanah air. Penelitian seorang ilmuwan akan terhambat bila ia mengalami diskriminasi, misalnya seperti yang dialami oleh Abdus Salam, peraih nobel fisika asal Pakistan.