Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun manusia yang kreatif dan empati serta menguasai sains dan teknologi.Â
Sayangnya, kualitas pendidikan kita masih buruk. Performa pelajar Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains saja masih jauh dari kata baik. Skor dan peringkat PISA Indonesia tahun 2018 menurun dan masih dibawah rata- rata.
Bangsa Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah. Laporan Bank Dunia tahun 2018 juga menunjukkan sebanyak 55% orang Indonesia buta huruf fungsional. Artinya, bisa membaca, tapi kesulitan memahami apa yang dibaca.
Jika kemampuan membaca, matematika, dan sains saja buruk, adalah hal yang wajar bila kemampuan berimajinasi juga lemah. Padahal imajinasi adalah induk dari kreativitas. Tidak hanya itu. Imajinasi juga dapat menolong kita untuk berempati kepada orang lain.
Kualitas literasi sangat penting bagi kemajuan suatu negara. Hasil studi yang dilakukan OECD tahun 2012 yang lalu menunjukkan, negara dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung memiliki produktivitas yang tinggi secara ekonomi. Bila produktivitas rendah, efek domino yang ditimbulkan adalah kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.
Oleh sebab itu, memperbaiki literasi -- khususnya literasi sains dan teknologi -- perlu menjadi perhatian utama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Apakah itu cukup? Tentu tidak. Di era disrupsi sistem lama dalam dunia pendidikan tidak lagi relevan.
Saat ini sistem pendidikan idealnya tidak memisahkan ilmu sains dan teknologi dengan ilmu humaniora. Ilmu sains dan teknologi harus manunggal dengan ilmu humaniora.Â
Matematikawan ITB, Iwan Pranoto, pernah mengungkapkan sistem penjurusan seperti IPA atau IPS sebenarnya tidak lagi relevan dan tidak menjawab tantangan zaman.
Kabar baiknya, sistem penjurusan yang seperti itu akan ditiadakan. Meski agak telat, kurikulum prototipe layak didukung. Tentu saja, diperlukan waktu dan proses penyempurnaan serta penyesuaian dengan kondisi pendidikan di tanah air.
Saat ini kolaborasi lintas disiplin ilmu dan interdisipliner (antardisiplin ilmu) yang saling melengkapi sangat dibutuhkan. Ini yang dikatakan Edward Osborne Wilson, biolog, dan pelopor sosiobiologi, sekitar akhir abad 20 yang lalu. Diharapkan, perkembangan atau hasil sains dan teknologi ditujukan untuk kebaikan, tanpa kehilangan nilai kemanusiaan.
Toomas Hendrik Ilves, mantan Presiden Estonia, pernah mengatakan, kesenjangan atau jurang antara ilmu sains teknologi dengan humaniora dalam pendidikan menjadi celah maraknya penyalahgunaan sains dan teknologi. Artinya, proses dan output pendidikan tidak hanya sebatas membentuk manusia yang imajinatif dan kreatif.