Di sisi lain, pelaksanaan pajak sering kali terhambat oleh karakter pemimpin yang tidak transparan. Pemimpin yang korup atau memiliki keberpihakan pada kelompok tertentu dapat menyalahgunakan dana pajak untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ketika pajak tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, kepercayaan publik pun akan menurun.
Mengintegrasikan Nilai Zakat ke dalam Pajak
Para ahli menyarankan bahwa semangat zakat bisa menjadi inspirasi dalam pengelolaan pajak. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial yang menjadi prinsip utama zakat dapat diadopsi dalam sistem perpajakan. Pemimpin yang memiliki visi dan empati sosial akan mendorong reformasi pajak yang lebih adil dan inklusif.
Contohnya adalah negara-negara yang telah mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam sistem perpajakan. Beberapa negara Skandinavia, meskipun tidak berbasis zakat, menunjukkan bagaimana pajak progresif dapat menciptakan kesejahteraan sosial yang merata bagi warganya. Hal ini membuktikan bahwa dengan karakter pemimpin yang berkomitmen pada keadilan sosial, pajak dapat menjadi alat pemerataan yang efektif.
Penutup: Antara Filosofi dan Implementasi
Pada akhirnya, perbedaan antara zakat dan pajak terletak pada filosofi dan implementasinya. Zakat berlandaskan keikhlasan dan keimanan, sementara pajak bersifat wajib secara hukum. Namun, keduanya membutuhkan pengelolaan yang adil dan transparan.
Karakter pemimpin menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan sistem ini. Seorang pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat, memiliki integritas, dan berorientasi pada keadilan sosial akan mampu mengelola zakat dan pajak dengan baik, sehingga keduanya benar-benar menjadi instrumen pemerataan dan kesejahteraan.
Dengan demikian, pandangan kritis sang murid dapat menjadi titik tolak untuk perbaikan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H