Beda Zakat dan Pajak di Sebuah Kelas
Di sebuah kelas, seorang guru akan menjelaskan tentang pajak. Sebelum masuk ke materi pajak, guru tersebut mengadakan apersepsi dulu. Apersepsi adalah proses awal dalam pembelajaran yang bertujuan untuk menghubungkan pengetahuan siswa sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.
Melalui apersepsi, guru membantu siswa mengaitkan pengalaman atau informasi yang telah dimiliki dengan konsep baru sehingga mempermudah pemahaman.
Sebagai contoh, sebelum memulai pelajaran tentang pajak guru dapat bertanya tentang pengalaman siswa tentang zakat karena anak-anak baru mengenal zakat dalam kehidupan mereka yang polos di masjid dan di rumah.
Apersepsi menjadi kunci untuk menciptakan suasana belajar yang interaktif dan kontekstual sehingga materi terasa lebih relevan dan menarik.
Guru pun bertanya kepada murid-muridnya. "Anak-anak, ada yang tahu apa bedanya antara zakat dan pajak?" Semua murid diam, tampak mereka berpikir keras. Namun, seorang anak bernama Dimas mengangkat tangan dengan penuh percaya diri.
"Zakat, Bu Guru," kata Dimas, "Zakat adalah harta yang diambil dari orang kaya lalu diberikan kepada fakir miskin, sesuai perintah Allah."
Gurupun mengangguk, tersenyum puas sambil mengacungkan jempolnya. "Bagus, Dimas. Lalu, bagaimana dengan pajak?"
Dimas tampak mengerutkan dahinya, lalu menjawab tanpa ragu, "Pajak adalah uang yang diambil dari fakir miskin lalu diberikan kepada orang kaya."
Kelaspun langsung pecah dengan tawa. Sang guru pun tersenyum dan geleng-geleng kepala lalu menjelaskan dengan lembut, "Dimas, Pajak adalah uang yang dipungut dari orang-orang yang sudah wajib pajak sesuai undang-undang yang berlaku. Bukan fakir miskin saja tapi orang kaya juga. Pajak bertujuan membangun fasilitas untuk kita semua. Baik fakir miskin maupun orang kaya. Tugas kita adalah mengelola pajak agar adil."
Dimas menunduk malu, namun gurunya menepuk pundaknya dengan bangga karena keberaniannya menjawab.***
Zakat
Zakat merupakan ibadah yang diperintahkan langsung oleh Allah Swt kepada hambaNya yang mampu mengerjakannya. Dalam Al-Qur'an, perintah zakat sering kali disebutkan bersamaan dengan perintah salat, menunjukkan betapa pentingnya ibadah ini.
Salah satu ayat yang menegaskan hal ini terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 43: "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'."
Pajak
Di sisi lain, pajak adalah kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah kepada Warga Negara Indonesia berdasarkan undang-undang dan harus dipatuhi oleh seluruh warga negara. Pajak bertujuan untuk memastikan masyarakat dalam suatu negara mendapatkan akses terhadap fasilitas sosial secara adil dan merata.
Manfaat pajak tidak hanya dirasakan oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, tetapi juga oleh kalangan ekonomi menengah ke atas. Contohnya termasuk pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan jalan tol, layanan kesehatan melalui BPJS, subsidi pendidikan, dan berbagai fasilitas umum lainnya.
Perbedaan Zakat dan Pajak dalam Perspektif Sosial dan Keadilan
Guru dan murid di ruang kelas di atas adalah simbol interaksi yang penuh makna. Dalam dialog singkat di atas, murid mencoba menjelaskan perbedaan antara zakat dan pajak dengan sudut pandang yang cukup tajam menurut tokoh Dimas.
Pernyataan itu mencerminkan kegelisahan warga terhadap praktik distribusi ekonomi di masyarakat kita. Namun, untuk memahami perbedaan sebenarnya antara zakat dan pajak, mari kita lihat dari sisi konsep, tujuan, dan implementasinya.
Zakat: Instrumen Ibadah dan Solidaritas Sosial
Zakat adalah kewajiban yang ditetapkan dalam Islam untuk membersihkan harta orang kaya dan membantu mereka yang membutuhkan. Tujuannya bukan hanya spiritual, tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan sosial antara golongan bawah dan menengah.
Zakat memiliki sasaran yang jelas: fakir miskin, amil, mualaf, dan kelompok-kelompok lain yang disebutkan dalam Al-Qur'an, Surah At-Taubah ayat 60:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini menegaskan pentingnya pendistribusian zakat secara tepat sasaran agar dapat memberikan manfaat langsung kepada mereka yang membutuhkan. Distribusi zakat didasarkan pada keikhlasan dan keyakinan bahwa kekayaan adalah titipan Allah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan. Karena itu, zakat membawa nilai keberkahan baik bagi pemberi maupun penerima.
Pajak: Instrumen Negara untuk Kesejahteraan Publik
Di sisi lain, pajak adalah kewajiban yang dikenakan oleh negara kepada warganya untuk mendanai pengeluaran publik, seperti pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, dan kesehatan. Pajak tidak terikat pada agama tertentu dan diberlakukan secara universal di setiap negara.
Namun, dalam praktiknya, distribusi kebermanfaat pajak sering kali menjadi perdebatan. Ada anggapan bahwa pajak lebih sering menguntungkan kelas atas melalui subsidi, insentif, atau kebijakan lain yang tidak selalu berpihak pada masyarakat miskin. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi kritik dalam jawaban murid bernama Dimas tersebut.
Masalah jalan raya misalnya. Kampung Dimas memang telah mengalami kemajuan dengan dibukanya akses jalan yang lebar, tetapi sayangnya kondisi jalan tersebut masih jauh dari memadai. Aspal yang berlubang, permukaan yang tidak rata, dan genangan air saat hujan membuat jalan sulit dilalui, baik oleh kendaraan maupun pejalan kaki di kompleknya di daerah Tambun-Bekasi sana.
Sementara jalan di daerah perkotaan besar sangat mulus. Berlobang sedikit, cepat diperbaiki. Sedangkan di daerah komplek mereka sejak Dimas mengenal jalan raya hingga sekarang sudah SMP, jalan di komplek dan kecamatan mereka masih juga tak memadai.
Padahal, jalan yang baik adalah sarana vital untuk mendukung aktivitas ekonomi dan keseharian warga. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya tentang membuka akses, tetapi juga memastikan kualitasnya agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Persamaan dan Perbedaan: Nilai dan Realitas
Adapun dari segi tujuan ideal, zakat dan pajak sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, pendekatan keduanya berbeda:
1. Sifat Kewajiban
Zakat bersifat spiritual dan religius, sedangkan pajak adalah kewajiban administratif dan legal. Zakat bersifat spiritual dan religius karena didasari oleh keimanan serta memiliki dimensi ibadah yang bertujuan untuk membersihkan harta dan jiwa seorang muslim. Sekaligus membantu kaum yang membutuhkan sesuai ajaran agama.
Di sisi lain, pajak adalah kewajiban administratif dan legal karena diatur oleh undang-undang negara, berfungsi sebagai sumber dana untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Meski memiliki tujuan yang berbeda, keduanya menjadi instrumen penting dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dengan baik dan adil.
2. Distribusi
Zakat memiliki target penerima yang jelas dan langsung, sementara pajak dikelola oleh pemerintah untuk kebutuhan yang lebih luas.
Zakat memiliki target penerima yang jelas dan langsung, seperti fakir miskin, mualaf, amil, dan kelompok lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah: 60), sehingga dampaknya lebih spesifik dan terarah.
Sebaliknya, pajak dikelola oleh pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan yang lebih luas, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan, yang manfaatnya bersifat kolektif.
Perbedaan ini mencerminkan fungsi zakat sebagai alat redistribusi kekayaan berbasis spiritual, sementara pajak adalah instrumen negara untuk kesejahteraan umum.
3. Transparansi
Distribusi zakat sering kali lebih transparan, sedangkan pajak menghadapi tantangan transparansi dalam pengelolaan.
Distribusi zakat cenderung lebih transparan karena prosesnya sering kali dilakukan secara langsung oleh wajib zakat kepada penerima yang berhak atau melalui lembaga zakat terpercaya yang memiliki sistem pelaporan jelas.
Zakat juga memiliki target penerima yang spesifik berdasarkan ketentuan agama sehingga memudahkan pengawasan dalam penyalurannya. Selain itu, akuntabilitas dalam pengelolaan zakat sering didukung oleh kepercayaan umat dan nilai-nilai religius yang melekat pada ibadah tersebut.
Di sisi lain, pajak sering menghadapi tantangan transparansi dalam pengelolaannya. Pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dialokasikan untuk berbagai kebutuhan negara, sehingga masyarakat tidak selalu mengetahui secara rinci bagaimana dana tersebut digunakan. Bahkan ketika diberi kesempatanpun untuk menelaah transparansi distribusi pajak, warga kurang peduli dan memahami.
Kasus korupsi, inefisiensi, atau ketidaktepatan alokasi anggaran pun sering kali terjadi. Hal itulah yang menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Oleh karena itu, edukasi perpajakan dan peningkatan transparansi, akuntabilitas dalam pengelolaan pajak menjadi hal yang sangat penting.
Edukasi perpajakan dan peningkatan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan pajak adalah langkah krusial untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.
Dengan pemahaman yang baik, masyarakat akan lebih sadar akan pentingnya pajak sebagai sumber utama pendanaan negara untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Di sisi lain, transparansi dalam penggunaan pajak dan akuntabilitas pemerintah dalam melaporkan alokasi dana pajak dapat mencegah penyalahgunaan serta memastikan manfaatnya dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kritik terhadap Sistem Pajak
Pernyataan murid yang menyebut pajak sebagai “uang diambil dari fakir miskin lalu diberikan kepada orang kaya” mengandung kritik terhadap sistem perpajakan yang dianggap kurang adil. Contohnya adalah pajak konsumsi seperti PPN, yang berlaku sama untuk semua orang, sehingga lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah.
Bahkan ketika masyarakat melakukan praktik kredit atau berutang di lembaga bankpun dikenai pajak. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah ini sangat pas menunjukkan ketidaksesuaian penerapan PPN pada masyarakat yang berutang/ kredit di bank. Biasanya ketika nasabah gadai barang di bank, tak pernah dimintai kartu pajak.
Namun untuk menyongsong perubahan PPN 12% pihak bank saat ini mulai meminta kartu pajak nasabah. "Kartu pajak Ibu difoto dan kirimkan ke saya, ya Bu!"
Kelompok kaya sering kali menunggak pajak, bahkan baru bersedia membayar setelah adanya tindakan tegas pemerintah seperti penyegelan aset. Ironisnya, mereka tetap mendapatkan insentif pajak atau fasilitas lain yang justru memperburuk kesenjangan ekonomi.
Ketidakadilan semacam ini menciptakan ketimpangan karena beban pajak lebih banyak ditanggung oleh masyarakat menengah ke bawah. Padahal, jika dikelola dengan lebih adil, transparan, dan disertai pengawasan yang ketat, pajak memiliki potensi besar untuk menjadi instrumen penting dalam mengurangi kesenjangan ekonomi melalui redistribusi pendapatan dan pembangunan yang merata.
Mengupayakan Keseimbangan
Dialog antara guru dan murid ini seharusnya menjadi pengingat bahwa baik zakat maupun pajak, keduanya memerlukan pengelolaan yang berlandaskan keadilan dan transparansi. Sebagai guru, ini adalah kesempatan untuk membuka diskusi yang lebih luas tentang tanggung jawab individu dan negara dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa perbedaan zakat dan pajak bukan hanya soal konsep, tetapi juga soal bagaimana keduanya diterapkan dalam realitas sosial. Di sini, nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan harus menjadi landasan utamanya.
Zakat dan Pajak: Antara Filosofi dan Realitas
Pernyataan murid di atas cukup menggelitik sekaligus mencerminkan pandangan kritis terhadap dua konsep penting dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu zakat dan pajak. Zakat dan pajak sejatinya memiliki tujuan yang berbeda dalam esensinya, tetapi keduanya menjadi instrumen yang penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi.
Namun, dalam praktiknya, keduanya sering dipahami dan dijalankan dengan cara yang sangat berbeda, yang memengaruhi bagaimana masyarakat memandang keduanya. Pernyataan murid tentang pajak mencerminkan ketidakpuasan juga terhadap pelaksanaan pajak di banyak negara.
Uang pajak yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik sering kali tidak dikelola dengan baik. Ketika dana pajak justru disalurkan kepada pihak-pihak kaya melalui proyek-proyek yang menguntungkan segelintir orang, muncullah pandangan sinis bahwa pajak hanya "mengambil dari yang miskin untuk diberikan kepada yang kaya."
Masalah ini diperburuk oleh ketidakadilan dalam penetapan pajak. Pajak yang terlalu tinggi bagi masyarakat kecil, sementara perusahaan besar mendapat keringanan pajak, menjadi salah satu isu utama yang menimbulkan kritik. Padahal ini berbanding terbalik dengan filosofi pajak sebagai alat pemerataan.
Mengembalikan Kepercayaan
Untuk mengembalikan kepercayaan warga terhadap sistem pajak, diperlukan edukasi pajak dan reformasi dalam pengelolaan dana pajak. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama dalam pengelolaan pajak seperti yang sudah kita bahas di atas.
Negara perlu memastikan bahwa pajak benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Dalam pola hidup masyarakat bawah misalnya, membayar tagihan listrik dan air sudah berat apalagi ditambah dengan pajak.
Begitu pula bagi pegawai bergaji di bawah delapan juta, kenaikan pajak dapat membuat kehidupan mereka semakin sulit. Dengan beban pajak yang lebih tinggi, ditambah lagi dengan kenaikan harga barang di pasar yang biasanya mengikuti peningkatan tarif pajak, mereka akan menghadapi tekanan yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi ini akan memperburuk daya beli, mengurangi tabungan, dan meningkatkan kesulitan ekonomi bagi kalangan yang sudah terbebani dengan biaya hidup yang tinggi.
Namun, di sisi lain, kenaikan pajak dapat digunakan untuk mendanai pembangunan yang lebih baik, seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Dengan kata lain, pajak adalah dua sisi mata uang; di satu sisi, ia memberikan beban tambahan bagi sebagian orang, tetapi di sisi lain, jika dikelola dengan baik, dapat membawa manfaat jangka panjang bagi kesejahteraan publik.
Oleh karena itu, penting bagi kebijakan pajak untuk mempertimbangkan keseimbangan antara pengumpulan dana dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat.
Di sisi lain, zakat sebagai sistem yang berbasis kepercayaan dapat menjadi contoh dalam pengelolaan dana publik. Sistem zakat yang transparan dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat mampu menunjukkan bagaimana redistribusi kekayaan dapat berjalan dengan baik.
Pernyataan kritis murid tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua, khususnya bagi para pemangku kebijakan. Zakat dan pajak, meskipun berbeda dalam filosofi dan mekanisme, seharusnya mampu berjalan beriringan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Zakat mengajarkan keikhlasan dan keadilan sosial, sementara pajak yang dikelola dengan benar dapat menjadi instrumen pembangunan yang kuat. Jika keduanya berfungsi sesuai dengan prinsip dasarnya, maka kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama dapat tercapai.
Zakat dan Pajak: Perspektif Ahli dan Karakter Pemimpinnya
Ketika seorang murid dengan polosnya menjawab bahwa zakat adalah harta yang diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin, sedangkan pajak adalah uang yang diambil dari fakir miskin untuk diberikan kepada orang kaya, pernyataan itu tidak sekadar lucu, tetapi menyentuh persoalan serius dalam pengelolaan keuangan publik.
Untuk memahami lebih dalam, mari kita lihat perspektif para ahli dan pengaruh karakter pemimpin dalam pelaksanaan keduanya.
Perspektif Ahli tentang Zakat dan Pajak
Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradawi, zakat merupakan instrumen keuangan Islam yang bertujuan menciptakan keseimbangan sosial melalui redistribusi kekayaan. Dalam sistem zakat, orang kaya diwajibkan untuk membantu yang kurang mampu berdasarkan kadar tertentu.
Ini adalah wujud keadilan sosial dalam Islam yang bersifat spiritual, sekaligus konkret. Zakat tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menyembuhkan hati dari sifat kikir dan egoisme.
Sebaliknya, pajak menurut para ekonom seperti Adam Smith dalam The Wealth of Nations, merupakan kewajiban setiap warga negara untuk mendukung kebutuhan negara dalam memberikan pelayanan publik. Pajak bertujuan menciptakan pemerataan ekonomi melalui pembangunan, meskipun realisasinya bergantung pada transparansi dan tata kelola pemerintah.
Namun, para ahli juga mencatat bahwa pajak sering kali menjadi beban berat bagi masyarakat kecil, terutama ketika sistemnya tidak progresif. Bahkan, Joseph Stiglitz, seorang ekonom terkenal, mengkritik sistem perpajakan yang cenderung menguntungkan korporasi besar sehingga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam.
Pengaruh Karakter Pemimpin dalam Implementasi
Pelaksanaan zakat dan pajak sangat bergantung pada karakter pemimpinnya. Pemimpin yang adil, transparan, dan bertanggung jawab akan memastikan bahwa kedua instrumen ini digunakan sesuai dengan tujuan utamanya.
Dalam konteks zakat, pemimpin yang berintegritas akan mendorong pengelolaan zakat secara profesional, sehingga dana zakat benar-benar disalurkan kepada kelompok yang membutuhkan.
Sebagai contoh, Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas dalam mengelola zakat. Di masa pemerintahannya, zakat didistribusikan dengan baik hingga tidak ditemukan orang miskin di wilayah kekuasaannya. Karakter kepemimpinan seperti ini menunjukkan pentingnya keteladanan dalam pengelolaan keuangan publik.
Di sisi lain, pelaksanaan pajak sering kali terhambat oleh karakter pemimpin yang tidak transparan. Pemimpin yang korup atau memiliki keberpihakan pada kelompok tertentu dapat menyalahgunakan dana pajak untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ketika pajak tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, kepercayaan publik pun akan menurun.
Mengintegrasikan Nilai Zakat ke dalam Pajak
Para ahli menyarankan bahwa semangat zakat bisa menjadi inspirasi dalam pengelolaan pajak. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial yang menjadi prinsip utama zakat dapat diadopsi dalam sistem perpajakan. Pemimpin yang memiliki visi dan empati sosial akan mendorong reformasi pajak yang lebih adil dan inklusif.
Contohnya adalah negara-negara yang telah mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam sistem perpajakan. Beberapa negara Skandinavia, meskipun tidak berbasis zakat, menunjukkan bagaimana pajak progresif dapat menciptakan kesejahteraan sosial yang merata bagi warganya. Hal ini membuktikan bahwa dengan karakter pemimpin yang berkomitmen pada keadilan sosial, pajak dapat menjadi alat pemerataan yang efektif.
Penutup: Antara Filosofi dan Implementasi
Pada akhirnya, perbedaan antara zakat dan pajak terletak pada filosofi dan implementasinya. Zakat berlandaskan keikhlasan dan keimanan, sementara pajak bersifat wajib secara hukum. Namun, keduanya membutuhkan pengelolaan yang adil dan transparan.
Karakter pemimpin menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan sistem ini. Seorang pemimpin yang memahami kebutuhan rakyat, memiliki integritas, dan berorientasi pada keadilan sosial akan mampu mengelola zakat dan pajak dengan baik, sehingga keduanya benar-benar menjadi instrumen pemerataan dan kesejahteraan.
Dengan demikian, pandangan kritis sang murid dapat menjadi titik tolak untuk perbaikan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H