Di pagi yang cerah, suasana ruang rapat sekolah dipenuhi bisik-bisik kecil dari para guru yang berkumpul. Ada rasa was-was di antara mereka, sebuah kegelisahan yang sudah mulai terasa familiar. Begitu terus perasaan guru jelang rapat.
Pak Herman, kepala sekolah yang tegas itu, akan kembali mengadakan rapat pagi.
"Seperti biasa, pasti beliau akan bilang tugas kita guru hanya mengajar," gumam Bu Nina sambil menghela napas panjang. Beberapa guru mengangguk setuju, wajah mereka tampak lelah bukan karena tugas, tapi karena teguran yang sudah terlalu sering terdengar. Membosankan.
Pintu terbuka dan Pak Herman beserta unsur pimpinan masuk dengan langkah mantap. Rapat dimulai dan tak lama, pernyataan yang sama kembali keluar dari bibirnya.
"Ingat, Bapak dan Ibu. Tugas kalian hanya satu: mengajar. Tidak perlu mencampuri urusan lainnya. Saya sudah memberikan Surat Keputusan untuk mengajar, bukan untuk yang lain."
"Urusan lain serahkan kepada kami selaku unsur pimpinan. Tugas kalian hanya satu: mengajar. Tidak perlu mencampuri urusan lainnya. Saya sudah memberikan Surat Keputusan untuk mengajar, bukan untuk yang lain." Tiga kali kalimat itu beliau ulang.
Pak Agus yang duduk di barisan belakang menunduk. Ia ingat betul bagaimana kemarin ia menghabiskan waktu istirahat untuk menasihati dua siswa yang terlibat perkelahian. Usahanya ternyata tak dianggap, bahkan nyaris mendapat teguran.
Di ujung ruangan, Bu Yuli menatap papan tulis kosong dengan pandangan hampa. "Kalau hanya mengajar, apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak ini selain nilai di atas kertas?" pikirnya, namun suara itu hanya ia simpan dalam hatinya.
Satu per satu, guru di ruangan itu merasakan semangat mereka yang dulu menyala kini mulai padam.
Ketika Kepala Sekolah Menegaskan Tugas Guru Hanya Mengajar: Pandangan, Dampak, dan Tinjauan Teoretis
Dalam setiap rapat sekolah, ketika kepala sekolah marah kepada kami guru, kerap kali menegaskan bahwa tugas utama guru adalah mengajar. Pernyataan ini sering diulang untuk menekankan prioritas guru di sekolah.
Bila ada guru yang mengurusi siswa yang melakukan kenakalan, beliau akan mengulang-ulang pernyataan di atas. Tugas guru mengajar. Saya memberikan SK kepada Bapak Ibu untuk mengajar.
Meskipun tujuan pernyataan tersebut untuk memastikan fokus guru pada pembelajaran, konsep "tugas guru hanya mengajar" perlu dilihat secara lebih luas. Dalam dunia pendidikan, tugas seorang guru mencakup banyak aspek selain menyampaikan materi pelajaran.
Mengajar Lebih dari Sekadar Menyampaikan Materi: Perspektif Teori Konstruktivisme
Mengajar sering kali diartikan sebagai kegiatan menyampaikan materi. Namun, menurut teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh ahli pendidikan seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky, proses belajar mengajar lebih dari sekadar transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Piaget berpendapat bahwa siswa aktif membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan mereka. Dalam konteks ini, tugas guru adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa memahami konsep melalui pengalaman langsung dan refleksi.
Vygotsky menambahkan dengan konsep "zona perkembangan proksimal" (ZPD), yang menekankan pentingnya peran guru dalam membimbing siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi melalui kolaborasi dan dukungan.
Dengan demikian, konsep mengajar dalam teori konstruktivisme lebih dari sekadar menyampaikan materi; melainkan, guru juga perlu mendorong eksplorasi dan pemahaman kritis.
Hal ini menunjukkan bahwa tugas guru melibatkan pembimbingan mendalam dan interaksi yang lebih luas daripada yang ditunjukkan oleh pernyataan kepala sekolah bahwa tugas guru hanya mengajar.
Peran Guru dalam Pembentukan Karakter Menurut Pendidikan Holistik
Selain mengajar, guru juga berperan penting dalam membentuk karakter siswa. Pendidikan holistik, seperti yang disampaikan oleh John P. Miller, berpendapat bahwa pendidikan bukan hanya soal akademis, tetapi juga soal mengembangkan sisi sosial, emosional, dan moral siswa.
Teori ini menyarankan agar guru mendidik siswa sebagai individu utuh, bukan sekadar sebagai peserta didik yang harus menguasai materi pelajaran.
Menurut pendidikan holistik, tugas guru mencakup memberikan perhatian pada perkembangan karakter siswa agar menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli, dan disiplin. Ketika kepala sekolah menekankan bahwa tugas guru hanya mengajar, ini bisa membatasi ruang lingkup peran guru dalam mendidik karakter siswa.
Pendidikan yang berfokus pada keseluruhan aspek diri siswa tidak hanya menghasilkan individu cerdas secara akademis, tetapi juga berintegritas dan empati. Bila kepala sekolah hanya berfokus pada mengajar, berarti guru hanya bertanggung jawab kepada siswa di kelas saja. Lalu jam istirahat bagaimana?
Tuntutan Administratif dan Manajemen Beban Kerja: Perspektif Manajemen Pendidikan
Selain mengajar, dalam praktiknya, guru sering kali dihadapkan pada berbagai tugas administratif. Menurut Henry Mintzberg dalam teorinya tentang peran manajerial, organisasi yang efektif adalah yang dapat membagi peran dan tanggung jawab dengan bijaksana.
Dalam konteks sekolah, Mintzberg berpendapat bahwa seorang kepala sekolah sebaiknya mendukung guru dengan manajemen yang efisien untuk meminimalisir beban administratif.
Pandangan ini selaras dengan temuan Darling-Hammond yang menunjukkan bahwa dukungan struktural dan administratif memungkinkan guru untuk lebih berfokus pada peran pendidikan dan interaksi dengan siswa.
Jika kepala sekolah terus menekankan bahwa tugas utama guru hanya mengajar tanpa memperhitungkan tantangan administratif yang mereka hadapi, ini bisa menjadi kendala atas ekosistem pendidikan.
Tugas administratif yang tinggi dapat mengurangi waktu persiapan mengajar, sehingga berdampak pada kualitas pembelajaran yang diberikan kepada siswa.
Berikut dampak yang lebih sesuai dengan konteks kepala sekolah tersebut:
1. Beban Psikologis dan Perasaan Guru Tertekan
Ketika kepala sekolah terus mengulang-ulang bahwa tugas guru hanya mengajar, terutama saat ada masalah perilaku siswa, hal ini dapat menciptakan tekanan psikologis.
Guru mungkin merasa kurang dihargai dalam peran pembimbing karakter sehingga menurunkan semangat mereka untuk melakukan lebih dari sekadar mengajar.
2. Penurunan Kualitas Pembelajaran
Dengan penegasan semacam ini, guru bisa jadi akan mengabaikan peran dalam pembentukan karakter atau dukungan emosional siswa, yang sebenarnya penting bagi pendidikan menyeluruh.
Akibatnya, hubungan guru-siswa bisa menjadi lebih kaku dan kualitas pembelajaran yang berfokus pada nilai-nilai dan keterampilan sosial bisa menurun.
3. Ketidakpuasan Kerja dan Motivasi yang Menurun
Kepala sekolah yang menekankan bahwa tugas guru hanya mengajar dapat menyebabkan guru merasa terbatas dan tidak bebas mengembangkan metode atau pendekatan yang lebih kreatif.
Hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan dan menurunkan motivasi mereka dalam bekerja, karena mereka merasa pekerjaan mereka kurang bermakna secara holistik.
Selain itu akan muncul pula dampak:
1. Perasaan Terbatas dalam Mengemban Peran sebagai Pendidik
Ketika kepala sekolah terus menekankan bahwa tugas guru hanya mengajar, ini dapat membuat guru merasa perannya dibatasi hanya pada aspek akademis. Hal ini berpotensi mengurangi inisiatif guru untuk terlibat dalam pengembangan karakter dan pembinaan emosional siswa.
Guru mungkin merasa kurang didukung dalam menjalankan peran pembimbing yang lebih luas, yang sebenarnya merupakan bagian penting dari pendidikan menyeluruh.
2. Risiko Kinerja yang Kurang Optimal akibat Pembatasan Fokus
Guru yang selalu diingatkan bahwa tugas mereka hanya mengajar bisa merasa kurang diberi ruang untuk berperan sebagai pembimbing karakter.
Hal ini berpotensi membuat interaksi dengan siswa menjadi lebih mekanis atau berfokus hanya pada materi pelajaran, yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas pembelajaran secara keseluruhan.
3. Penurunan Semangat Kerja Akibat Ketidakpuasan Peran
Penegasan ini juga dapat mengurangi kepuasan kerja guru. Mereka mungkin merasa tidak bebas dalam mengembangkan metode pengajaran atau pendekatan yang holistik, karena kepala sekolah hanya fokus pada hasil akademis.
Ketidakpuasan ini bisa berdampak pada motivasi mereka dalam bekerja, sehingga berisiko mengurangi kinerja optimal dalam mendidik siswa.
Guru yang merasa tidak didukung untuk menjalankan peran lebih luas akan kurang termotivasi untuk mengajar secara optimal. Mereka mungkin hanya fokus pada penyampaian materi tanpa inovasi atau pendekatan kreatif, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pembelajaran.
Jika guru enggan terlibat dalam pembinaan karakter karena merasa tugasnya hanya mengajar, ini bisa menghambat pembentukan nilai-nilai positif pada siswa, seperti kedisiplinan, kerja sama, dan tanggung jawab.
Akibatnya, siswa hanya terfokus pada akademik tanpa mendapat bekal keterampilan sosial dan emosional yang penting. Ketika guru merasa terpaksa membatasi perannya, suasana belajar di kelas bisa menjadi lebih kaku dan kurang inspiratif.
Hal ini bisa mengurangi semangat siswa dalam belajar dan menghambat mereka dari proses belajar yang mendalam dan bermakna.
Pernyataan kepala sekolah yang hanya menekankan aspek mengajar sebaiknya dipertimbangkan ulang agar mendorong kinerja yang lebih positif dan mendukung mutu pendidikan yang lebih komprehensif.
Kesimpulan
Perlunya Pendekatan yang Menyeluruh
Penegasan yang berulang dalam setiap rapat bahwa tugas guru adalah mengajar sebaiknya dipahami dalam konteks yang lebih luas. Berdasarkan teori konstruktivisme, pendidikan holistik, dan manajemen pendidikan, tugas guru bukan hanya sekadar menyampaikan materi, tetapi juga mencakup bimbingan, pembinaan karakter, dan pemenuhan kebutuhan emosional siswa.
Daripada membatasi peran guru pada aspek akademis semata, kepala sekolah perlu memberikan dukungan yang komprehensif agar guru dapat menjalankan peran mereka secara efektif dan seimbang.
Dalam mencapai tujuan pendidikan yang ideal, peran kepala sekolah dan guru adalah menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan akademis dan karakter siswa.
Tugas Guru dan Kepala Sekolah
Setelah rapat pagi itu berakhir, para guru kembali ke ruang kelas masing-masing. Suasana hati mereka terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata mengganjal langkah mereka. Bu Yuli berjalan perlahan menuju kelasnya, berusaha menata pikirannya yang terusik oleh kata-kata Pak Herman.
Di dalam kelas, anak-anak menyambutnya dengan senyum polos. Beberapa melambaikan tangan, berharap hari ini ada cerita baru atau kegiatan menarik seperti biasanya. Namun, Bu Yuli hanya tersenyum tipis. Ia menatap papan tulis dengan pandangan kosong.
“Selamat pagi, Bu!” sapa Andi, salah satu murid yang paling aktif bertanya.
Bu Yuli tersentak dari lamunannya. Ia berusaha memulai pelajaran seperti biasa, tapi semangat yang biasanya ia rasakan seakan tersapu oleh pesan kepala sekolah yang terus terngiang-ngiang di kepalanya: "Tugas guru hanya mengajar. Tidak lebih."
Di sudut kelas, Bu Yuli melihat Arkha makan es krim. Ia membuka bungkus es krimnya. Ia membuang sampah es krim itu di bawah mejanya. Habis makan es krim, Arkha pun membuka bungkus mie goreng. Sama. Ia membuang sampah mienya di bawah mejanya. Begitu juga snack ketiganya.
Mata Arkha bersitatap dengan Bu Yuli. Malu-malu Arkha memunguti sampah plastik jajanannya. Bu Yuli geleng-geleng kepala.
Jam berlalu dan Bu Yuli menyampaikan materi seadanya. Tak ada kegiatan tambahan, tak ada cerita pengantar yang biasa membuat kelas menjadi hidup. Ia hanya memberikan penjelasan singkat, kemudian membiarkan anak-anak mengerjakan tugas.
Sore harinya, di ruang guru, suasana tak jauh berbeda. Setiap orang sibuk dengan tugas masing-masing, tapi tanpa senyum atau percakapan hangat yang biasanya mengisi ruangan.
Bu Nina menghela napas panjang, mendongak, lalu berbisik pada Bu Yuli, "Aku merasa seperti robot, hanya sekadar menyampaikan materi."
Bu Yuli pun mengangguk pelan. “Aku juga. Entah kenapa rasanya ada yang hilang... sesuatu yang dulu membuat kita betah berlama-lama di kelas."
"Kita tak perlu menuruti kepala sekolah. Beliau cuma sesaat di sekolah ini. Tugas kita tetap menjaga kualitas sekolah." Tiba-tiba Pak Agus masuk ruangan majelis guru. Semua guru menyambut dengan anggukan.
Hari-hari berlalu dan suasana itu terus berlanjut. Guru-guru yang tak peduli, kelas-kelas menjadi dingin. Murid-murid tak lagi mendapat nasihat atau perhatian di luar pelajaran. Di sudut hatinya, Bu Yuli tahu bahwa semua ini, perlahan-lahan, sedang menggerogoti mutu pendidikan mereka.
Satu demi satu, semangat para guru yang dulu menyala kini mulai padam, hanya meninggalkan jejak-jejak kelelahan di wajah mereka yang sepi dari keceriaan.
Di saat-saat itu, Bu Yuli diam-diam berharap ada yang mengingatkan Pak Herman bahwa guru bukan sekadar mesin yang mengajar. Mereka guru sebagai pemandu, penjaga, dan pembimbing jiwa-jiwa muda, murid mereka.
Ketika peran itu dibatasi, yang tersisa hanyalah ruang kosong tanpa asa, di mana mimpi-mimpi masa depan tumbuh tanpa bimbingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H