Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ingin Tetap Dihargai Siswa Meski Usia Bertambah

20 Oktober 2024   20:24 Diperbarui: 21 Oktober 2024   06:11 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid sedang belajar: Foto dokpri Yusriana

Pagi itu, suara kokok ayam tetangga menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar Ibu Widia. Menandakan pukul 04.00 dini hari. Ia sudah terbiasa bangun pagi meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Ia akan shalat Tahajjud dan witir.

Dengan perlahan, ia bangkit dari ranjang. Ia menyibak selimut dan menurunkan kedua kakinya ke lantai yang dingin. Senyum kecil tersungging di wajahnya saat menyadari hari itu adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Anak-anaknya di sekolah akan datang sebagai murid baru dan wajah-wajah baru.

Sambil berjalan perlahan ke toilet, Bu  Widia menghayalkan wajah murid barunya. Akankah murid baru itu menghargainya? Seperti juga anak-anak kandungnya. Ibu Widia menggeleng pelan lalu tersenyum. Ia tak bisa menjawab tanyanya sendiri. He he he.

Menjaga Penghargaan Anak dan Mueid Seiring Bertambahnya Usia

Memang  seiring bertambahnya usia, seseorang sering kali merasakan banyak kehilangan, termasuk penghargaan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga, anak-anak, dan murid-murid di sekolah bila ia guru seperti Ibu Widia.

Proses penuaan secara alami membawa penurunan fisik dan kemampuan diri. Proses ini bisa membuat seorang individu merasa kurang dihargai lagi. Namun, ada juga orang-orang yang tetap mendapatkan penghargaan tinggi dari anak-anak dan murid-muridnya meskipun usia mereka bertambah tua.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apa yang membuat seseorang tetap dihargai oleh anak-anak dan murid-muridnya di usia lanjutnya?

Salah satu faktor kunci yang memengaruhi penghargaan ini adalah:

1.  Kebiasaan guru yang belajar sepanjang hayatnya 

Orang yang terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman menampilkan diri sebagai pribadi yang fleksibel dan terbuka terhadap hal-hal baru. Di dunia yang selalu berubah, kemampuan untuk mengikuti perkembangan dan memperbarui diri sangat dihargai apalagi siswa.

Mereka yang mampu menjaga semangat belajar, termasuk dalam profesi guru, menunjukkan bahwa usia bukanlah hambatan untuk terus berkembang dalam segala hal.

2. Selain itu, kebiasaan guru yang bersyukur 

Rasa syukur setiap hari memainkan peran penting juga dalam menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekat, termasuk anak-anak dan murid-murid.

Dengan mengungkapkan rasa terima kasih atas segala kebaikan dan dukungan yang diberikan. Kita memperkuat ikatan emosional dengan keluarga dan siswa.

Saat kita menunjukkan rasa syukur atas pencapaian mereka, kita mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa kita saling menghargai. Sifat saling menghargai inilah yang  menciptakan suasana positif dalam hubungan guru-murid, orangtua-anak sehingga penghargaan menjadi timbal balik.

3. Kebiasaan lain yang tidak kalah penting adalah kita harus menjaga aktivitas fisik

Penelitian menunjukkan bahwa orang lanjut usia yang tetap aktif secara fisik cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi dan merasa lebih dihargai. Aktivitas fisik tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik saja, tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan emosional kita sebagai guru.

Sebagai guru, misalnya, kita menjaga kesehatan kaki melalui olahraga ringanp atau berjalan kaki. Hal ini dapat memberikan contoh positif bagi anak-anak dan murid-murid, sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita sendiri.

4. Menjaga hubungan yang kuat 

Menjaga hubungan yang kuat dengan orang lain juga menjadi faktor penting dalam mempertahankan penghargaan dari anak-anak murid seiring bertambahnya usia kita. 

Membangun dan memelihara hubungan yang penuh rasa hormat dan saling menghargai sangatlah penting. Dengan meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan murid, teman, dan komunitas.

Kita menunjukkan bahwa kita peduli terhadap orang-orang di sekitar kita. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung sehingga penghargaan satu sama lain tumbuh secara alami lewat dialog-dialog intens.

5. Tidak hanya itu, mencintai dan menerima diri sendiri merupakan langkah penting untuk menjaga rasa percaya diri dan penghargaan dari orang lain.

Seiring bertambahnya usia, kita sering kali menjadi pengkritik terhebat bagi diri kita sendiri. Kita membandingkan diri dengan masa muda atau dengan orang lain. Padahal, penting lo untuk menerima diri kita apa adanya---dengan kelebihan dan kekurangan yang ada.

Dengan mencintai diri sendiri, kita memancarkan rasa percaya diri. Pancaran ini membuat orang lain, termasuk anak-anak dan murid-murid terus menghargai kita. Mereka melihat cinta di diri kita.

6. Kebijaksanaan yang telah kita kumpulkan sepanjang hidup juga merupakan aset berharga yang patut dibagikan.

Sebagai guru, kita memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi generasi muda. Membagikan kebijaksanaan ini tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga memperkuat peran kita sebagai figur penting dalam kehidupan anak-anak dan murid-murid.

Hal ini mengingatkan mereka bahwa kita masih memiliki kontribusi yang bernilai untuk mereka meskipun usia kita terus bertambah. Gerak dan langkah sudah berubah. Tersenyumlah kepada mereka.

7. Terakhir, tetap terlibat secara sosial

Tetap terlibat dalam kegiatan sosial adalah kunci untuk merasa dihargai di usia lanjut. Ya murid dan anak butuh figur.

Dengan tetap aktif dalam komunitas atau menjaga hubungan sosial, kita memperkuat rasa keterikatan dan kepedulian dengan orang-orang di sekitar kita.

Ketika kita terus berinteraksi dan terlibat, kita menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang untuk tetap relevan dan dihargai dalam lingkungan sosial kita.

Dengan menjaga kebiasaan-kebiasaan ini---belajar seumur hidup, bersyukur, menjaga aktivitas fisik, membangun hubungan yang kuat, mencintai diri sendiri, membagikan kebijaksanaan, dan tetap terlibat sosial---kita bisa memastikan bahwa penghargaan dari anak-anak dan orang-orang terdekat tetap terjaga seiring bertambahnya usia. 

Sebagai guru, kita memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak-anak, dan dengan menunjukkan teladan yang baik, kita dapat terus dihormati dan dihargai oleh mereka.

Di sore itu, Ibu Widia, sepulang sekolah yang syahdu menatap matahari. Ia perlahan tenggelam di balik pepohonan, menyisakan warna jingga yang lembut menghiasi langit. Ibu Widia duduk di kursi goyang di teras rumahnya.

Kemudian Ia menatap jauh ke arah gerbang. Anak-anaknya baru saja pergi sore ini. Suara deru mobil mereka semakin lama semakin sayup, hingga akhirnya hilang di kejauhan.

"Seperti kilat," bisik Ibu Widia dalam hati. Kedatangan anak-anaknya begitu singkat, hanya beberapa jam saja. Mereka berbincang, tertawa, mengenang masa lalu, tapi semuanya terasa begitu cepat berlalu.

Rina putrinya yang sudah jadi guru juga seperti dirinya membawa buah tangan, Doni mengisahkan pekerjaannya yang sibuk, dan Sari sibuk dengan ponselnya sesekali.

Meski senang melihat mereka, Ibu Widia menyadari sesuatu---ada kesenjangan yang tak kasat mata antara ia dan anak-anaknya. Entah apa yang hilang, tetapi ada rasa yang tak sepenuhnya hadir.

Ia menarik napas panjang, udara sore yang sejuk masuk ke dalam paru-parunya. Meski ada kerinduan yang tak terucapkan. Alhamdulillah. Ibu Widia tetap bersyukur. 

Setidaknya, anak-anaknya sehat dan masih ingat untuk datang. Meski tanpa menginap. Setidaknya, masih ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati, walaupun tak seperti dulu, saat mereka masih kecil dan selalu membutuhkan bimbingannya.

Ibu Widia menatap pohon mangga di halaman rumah. Pohon yang dulu sering dipanjat oleh anak-anaknya. Pohon itu tetap kokoh, sama seperti dirinya.

"Mungkin memang begini jalannya sekarang," gumamnya pelan. Anak-anak tumbuh, mengepakkan sayap mereka, lalu terbang jauh.

Orang tua perlahan menua, dan pada akhirnya, semua yang bisa dilakukan hanyalah menunggu mereka kembali berkunjung---meskipun hanya sesekali dan sebentar.

Malam mulai turun dan cahaya rembulan menggantikan sinar matahari sore itu. Ibu Widia bangkit dari kursi goyangnya, perlahan melangkah masuk ke dalam rumah.

Di meja ruang tamu, tersisa kue-kue yang tadi ia sajikan, sebagian besar belum tersentuh. Besok akan ia bawa ke sekolah. Teman-teman akan berebut dan memakannya ceria.

Ia tahu, nanti akan ada saat di mana kunjungan ini terasa cukup. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan minggu depan, tapi ia yakin bahwa cinta anak-anaknya tetap ada, meski bentuknya kini berbeda.

Anak-anak kandungnya, "Mereka akan kembali," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya memejamkan mata, siap menyambut hari esok yang masih penuh harapan. Siswanya di sekolah juga harapannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun