Ia menarik napas panjang, udara sore yang sejuk masuk ke dalam paru-parunya. Meski ada kerinduan yang tak terucapkan, Ibu Widia tetap bersyukur. Setidaknya, anak-anaknya masih ingat untuk datang. Setidaknya, masih ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati, walaupun tak seperti dulu, saat mereka masih kecil dan selalu membutuhkan bimbingannya.
Ibu Widia menatap pohon mangga di halaman rumah, pohon yang dulu sering dipanjat oleh anak-anaknya. Pohon itu tetap kokoh, sama seperti dirinya. "Mungkin memang begini jalannya," gumamnya pelan. Anak-anak tumbuh, mengepakkan sayap, lalu terbang jauh. Orang tua perlahan menua, dan pada akhirnya, semua yang bisa dilakukan hanyalah menunggu mereka kembali---meskipun hanya sesekali.
Malam mulai turun, dan cahaya rembulan menggantikan sinar matahari. Ibu Widia bangkit dari kursi goyangnya, perlahan melangkah masuk ke dalam rumah. Di meja ruang tamu, tersisa kue-kue yang tadi ia sajikan, sebagian besar belum tersentuh. Ia tahu, nanti akan ada saat di mana kunjungan ini terasa cukup. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan minggu depan, tapi ia yakin bahwa cinta anak-anaknya tetap ada, meski bentuknya kini berbeda.
Dengan hati yang tenang, Ibu Widia menutup pintu, mengunci rumahnya, dan berjalan menuju kamarnya. Malam yang sunyi menyelimuti rumah itu, tetapi tidak ada lagi rasa sepi di hatinya. Sebuah senyum lembut terlukis di wajahnya. "Mereka akan kembali," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya memejamkan mata, siap menyambut hari esok yang masih penuh harapan.
Di sore yang syahdu itu, matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan, menyisakan warna jingga yang lembut menghiasi langit. Ibu Widia duduk di kursi goyang di teras rumahnya, menatap jauh ke arah gerbang. Anak-anaknya baru saja pergi. Suara deru mobil mereka semakin lama semakin sayup, hingga akhirnya hilang di kejauhan.
"Seperti kilat," bisik Ibu Widia dalam hati. Kedatangan mereka begitu singkat, hanya beberapa jam saja. Mereka berbincang, tertawa, mengenang masa lalu, tapi semuanya terasa begitu cepat berlalu.
Rina membawa buah tangan, Doni mengisahkan pekerjaannya yang sibuk, dan Sari sibuk dengan ponselnya sesekali. Meski senang melihat mereka, Ibu Widia menyadari sesuatu---ada kesenjangan yang tak kasat mata. Entah apa yang hilang, tetapi ada rasa yang tak sepenuhnya hadir.
Ia menarik napas panjang, udara sore yang sejuk masuk ke dalam paru-parunya. Meski ada kerinduan yang tak terucapkan, Ibu Widia tetap bersyukur. Setidaknya, anak-anaknya masih ingat untuk datang. Setidaknya, masih ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati, walaupun tak seperti dulu, saat mereka masih kecil dan selalu membutuhkan bimbingannya.
Ibu Widia menatap pohon mangga di halaman rumah, pohon yang dulu sering dipanjat oleh anak-anaknya sekarang murid-muridnya saja. Pohon itu tetap kokoh, sama seperti dirinya.
"Mungkin memang begini jalannya," gumamnya pelan. Anak-anak tumbuh, mengepakkan sayap, lalu terbang jauh. Orang tua perlahan menua, dan pada akhirnya, semua yang bisa dilakukan hanyalah menunggu mereka kembali---meskipun hanya sesekali.
Malam mulai turun, dan cahaya rembulan menggantikan sinar matahari. Ibu Widia bangkit dari kursi goyangnya, perlahan melangkah masuk ke dalam rumah.