Sebagai guru, kita memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak-anak, dan dengan menunjukkan teladan yang baik, kita dapat terus dihormati dan dihargai oleh mereka.
Di sore itu, Ibu Widia, sepulang sekolah yang syahdu menatap matahari. Ia perlahan tenggelam di balik pepohonan, menyisakan warna jingga yang lembut menghiasi langit. Ibu Widia duduk di kursi goyang di teras rumahnya.
Kemudian Ia menatap jauh ke arah gerbang. Anak-anaknya baru saja pergi sore ini. Suara deru mobil mereka semakin lama semakin sayup, hingga akhirnya hilang di kejauhan.
"Seperti kilat," bisik Ibu Widia dalam hati. Kedatangan anak-anaknya begitu singkat, hanya beberapa jam saja. Mereka berbincang, tertawa, mengenang masa lalu, tapi semuanya terasa begitu cepat berlalu.
Rina putrinya yang sudah jadi guru juga seperti dirinya membawa buah tangan, Doni mengisahkan pekerjaannya yang sibuk, dan Sari sibuk dengan ponselnya sesekali.
Meski senang melihat mereka, Ibu Widia menyadari sesuatu---ada kesenjangan yang tak kasat mata antara ia dan anak-anaknya. Entah apa yang hilang, tetapi ada rasa yang tak sepenuhnya hadir.
Ia menarik napas panjang, udara sore yang sejuk masuk ke dalam paru-parunya. Meski ada kerinduan yang tak terucapkan. Alhamdulillah. Ibu Widia tetap bersyukur.Â
Setidaknya, anak-anaknya sehat dan masih ingat untuk datang. Meski tanpa menginap. Setidaknya, masih ada momen-momen kecil yang bisa ia nikmati, walaupun tak seperti dulu, saat mereka masih kecil dan selalu membutuhkan bimbingannya.
Ibu Widia menatap pohon mangga di halaman rumah. Pohon yang dulu sering dipanjat oleh anak-anaknya. Pohon itu tetap kokoh, sama seperti dirinya.
"Mungkin memang begini jalannya sekarang," gumamnya pelan. Anak-anak tumbuh, mengepakkan sayap mereka, lalu terbang jauh.
Orang tua perlahan menua, dan pada akhirnya, semua yang bisa dilakukan hanyalah menunggu mereka kembali berkunjung---meskipun hanya sesekali dan sebentar.