Mereka membeli barang-barang yang tak krusial. Tak dibutuhkan. Hal itu sebagai cara, katanya untuk "menghibur" diri.
Doom spending memiliki pola mirip dengan belanja impulsif. Dengan motif utamanya pengalihan stres. Manalah bisa. Belanja impulsif justru ngabisin uang.
Seseorang yang merasa dengan membeli sesuatu dapat memperoleh kepuasan instan yang mengalihkan pikiran dari kekhawatiran ekonomi atau masa depan. Bukankah ini keliru?
Efek semua itu sering kali hanya sementara dan malah lebih berpotensi menambah stres jika pengeluaran ini menyebabkan masalah keuangan lebih lanjut tiba. Tagihan kartu kredit membengkak. Saldo terkikis dan habis.
Pertahankan Posisi sebagai Seorang Karyawan dengan Penghasilan Stabil, Bun!
Kita ambil contoh seorang karyawan dengan penghasilan yang stabil. Gaji bulanan lancar. Pengeluaran terakomodasi dengan baik. Namun sering merasa cemas tentang ketidakpastian ekonomi global nanti.
Dia cendrung terpengaruh mendengar berita tentang inflasi yang meningkat. PHK massal di berbagai perusahaan, dan resesi yang diprediksi akan melanda.
Meskipun gajinya tetap, dia merasakan ketidakpastian yang membuatnya cemas. Sebagai respons terhadap kecemasan tersebut, ia pun sering kali membeli barang-barang yang sebenarnya tak ia butuhkan.Â
Seperti ganti gadget terbaru, beli pakaian mewah, tas brended, dan barang konsumtif lain. Dengan alasan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan rasa "aman" atau "pengalihan" sementara dari ketidakpastian ekonomi tersebut.
Apa hal terjadi, setelah membeli barang-barang tersebut, rasa cemasnya tak benar-benar hilang. Sebaliknya, dia merasa menyesal karena pengeluaran tak perlu tersebut akhirnya menggerogoti simpanannya.
Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Kondisi ini yang menciptakan siklus doom spending bagi karyawan itu. Karyawsn itu terus berbelanja untuk meredakan kecemasan. Namun berujung pada kecemasan finansial yang lebih besar di kemudian hari.