"Apa maksudmu?" tanyaku menahan isak tangis dalam-dalam.
"Ya, kau begitu polos. Kau ingat saat aku bertanya tentang kepribadianmu itu? Itulah yang membuatmu jatuh cinta padaku, ya 'kan? Apakah kau tau? Aku hanya iseng dan aku bahkan sebenarnya tak ingin sekelas denganmu! Kau tau kenapa ayahnya Cici meninggal, bukan?!"
"Apa maksudmu?" tanyaku sekali lagi, sedikit sakit hati karena difitnah, apalagi fitnahan yang dia lontarkan begitu dangkal.
"Ah, kau pura-pura tak tau .... Cici berkata padaku, kalau kau yang membunuh ayahnya!!!!"
"Mana mungkin aku membunuh pamanku sendiri! Jelas-jelas dia memfitnahku!! Lagipula, paman masih hidup!!"
"Oh ya? Aku tidak percaya padamu ... dan aku tidak akan pernah percaya padamu! Dan satu hal lagi, aku tidak cinta padamu! Aku cinta dengan Cici!"
Begitu mendengar perkataan itu, semua air mata yang susah payah kutahan akhirnya luruh juga. Aku menangis terisak-isak. Hati ini begitu perih mendengarnya. Sudah pecah berkeping-keping bak kaca rapuh.
"Heh, menangis pun tak akan ada yang mau menampung air matamu itu."
Plak.
Keke dan Laura menampar Rei bersamaan. Memerahlah kedua pipi Rei dibuatnya. Biar kutebak, pasti sekarang pipinya berdenyut perih menerima tamparan yang keras itu. Tapi, perih yang ia rasakan tak seperih yang baru saja aku rasakan.
"Berani-beraninya kau!! Jika kau memang tak suka padanya, setidaknya hargai dia!!" bentak Laura yang sudah muak akan hal ini.