Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT ABE Indonesia Berjaya bersama Green Power Development Corporation of Japan (GPDJ) mengembangkan proyek industri bioavtur. Proyek ini sudah pada tahap pembangunan pabrik di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kerja sama yang terjalin atas inisiasi Indonesia Japan Business Network (IJBNet) ini berawal dari riset bersama antara IJBNet, GPDJ, dan BRIN, yang saat ini sudah memasuki tahun ke-3.
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito mengatakan, bahan baku bioavtur bersumber dari kelapa non-standar. Yang mana, bahan baku ini sudah diakui dan telah masuk dalam positive list Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
“Masuknya kelapa non-standar ke dalam positive list menandakan keberhasilan dari upaya bersama melakukan inovasi sumber bahan baku SAF di luar pilihan yang sudah ada. Sehingga, akan membuka peluang bagi negara-negara penghasil kelapa, termasuk Indonesia sebagai salah negara penghasil kelapa terbesar di dunia, untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon di sektor penerbangan,” kata Mego dalam penandatanganan kerja sama, di Gedung B.J. Habibie, Thamrin, Jakarta, Kamis (18/7).
Hal ini, lanjut Mego, sejalan dengan kesepakatan global untuk pembangunan berkelanjutan dan terwujudnya karbon netral. Serta, menekankan pentingnya solusi inovatif dalam mitigasi pemanasan global.
Lebih lanjut dijelaskan Mego, dalam proses produksinya, bahan baku kelapa non-standar diolah menjadi minyak kelapa mentah atau crude coconut oil (CCO). Keberadaan bahan baku kelapa non-standar ini sangat penting, mengingat, kelapa adalah komoditi yang dibutuhkan industri pangan.
“Kelapa non-standar diambil dari kelapa yang terlalu tua, kelapa yang berukuran sangat kecil, kelapa yang sudah bertunas, kelapa yang mulai membusuk atau berjamur, serta kelapa yang pecah,” tutur Mego.
Adapun GPDJ memilih Indonesia sebagai tempat industri pembuatan CCO, karena potensi kelapa di Indonesia yang sangat melimpah. Hasil riset menunjukkan, jumlah kelapa non-standar di Indonesia mencapai 30 persen dari total kelapa yang dihasilkan.
Sementara PT ABE Indonesia Berjaya adalah perusahaan lokal yang akan bertindak sebagai pelaksana proyek. Perusahaan ini ditargetkan mampu menghasilkan 100 ton CCO per hari dari bahan baku kelapa non-standar.
“Dalam proses produksinya, PT ABE akan menggunakan teknologi mesin traceability system buatan anak bangsa,” terang Mego.
Ketua Umum IJBnet Suyoto Rais sebagai inisiator mengaku sangat bersyukur atas perjuangan panjang IJBNet dan tim, dengan dukungan dari pemerintah dan instansi terkait yang membuahkan hasil, dengan masuknya kelapa non-standar sebagai salah satu bahan baku bioavtur yang dibolehkan oleh ICAO.
Kebijakan ICAO yang memberikan opsi pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, menurut Suyoto, akan memberikan dampak signifikan dalam industri penerbangan.
“Proyek ini akan menjadi berita baik bagi seluruh stakeholder kelapa di Indonesia, yang berujung bagi peningkatan pendapatan para petani dan juga devisa negara,” ucap Suyoto.
Perkembangan ini akan mendorong komitmen para pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti dengan implementasi penggunaan bioavtur ini.
“Dengan masuknya kelapa non-standar, dan nanti diikuti oleh sumber-sumber bahan baku lainnya, peluang menjadikan Indonesia sebagai raja bioavtur dunia ke depan akan terbuka luas,” tandas dia.
Sebagai informasi, prosesi penandatanganan dihadiri oleh Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito, Chairman GPDJ Emi Sekiya, Direktur Utama PT ABE Indonesia Berjaya Eko Fajar Nurprasetyo, dan Ketua Umum IJBnet Suyoto Rais.
Indonesia memiliki potensi yang tinggi dalam bahan baku produksi bioavtur, karena sektor agrarisnya
yang mumpuni dalam menyediakan sumber daya. Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia juga
membutuhkan transportasi udara sebagai kendaraan utama yang cepat dan efisien mengingat Ibu Kota
Negara juga akan berpindah ke Pulau Kalimantan. Namun, bahan bakar avtur hingga saat ini masih
mengimpor dari negara lain. Maka untuk memenuhi kebutuhan avtur berbasis energi terbarukan
dibutuhkan berbagai studi untuk memperoleh biomassa yang penggunaannya dapat dioptimalkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mereview jurnal-jurnal yang berkaitan dengan LCA dan bioavtur
sehingga di masa depan, pengembangan bioavtur lebih efisien. Hasil dari literature review ini
menyatakan bahwa diketahui secara general menyatakan bahan baku yang diproses menjadi bioavtur
dapat mengurangi emisi GRK. Namun, tidak semua biomassa memiliki potensi untuk dijadikan bahan
baku pembuatan biojet atau bioavtur karena berbagai kendala seperti penggunaan energi dalam proses
produksi bioavtur yang terlalu tinggi, faktor lahan dan ekonomi yang tidak memadai, serta adanya
persaingan penggunaan tanaman untuk ketahanan pangan. Selain itu, studi ini juga menjelaskan bahwa
mikroalga dan limbah lemak adalah pilihan biomassa terbaik untuk dijadikan bahan baku produksi
bioavtur maupun biojet karena selain memiliki persentase yang cukup tinggi terhadap penurunan emisi
dan tidak bersaing dengan ketahanan pangan, produktivitasnya juga cukup tinggi sehingga dapat
memaksimalkan produksi bioavtur.
Bioavtur atau disebut green avtur merupakan bahan bakar penerbangan alternatif yang
berasal dari sumber energi terbarukan, khususnya bahan hayati seperti minyak tumbuhan,
alga, dan lemak hewani. Untuk menghasilkan bioavtur, bahan organik harus diubah dalam fase
cair melalui konversi termokimia. Pemanfaatan bioavtur telah diatur berdasarkan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 untuk
menurunkan emisi karbon pada sektor penerbangan dengan mencampurkan biomaterial pada
bahan bakar avtur (Ruswin dan Adirizky,2022). Saat ini, produksi green avtur secara global
cenderung sedikit dibandingkan dengan bahan bakar penerbangan mayoritas yaitu avtur dari
bahan bakar fosil. Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tahun 2013
tentang rencana aksi nasional gas rumah kaca, pencampuran bioavtur ke dalam bahan bakar
konvensional sekitar 2% pada tahun 2016, lalu meningkat sekitar 3% pada tahun 2020, dan
menjadi 5% bioavtur yang akan dicampurkan pada tahun 2025 (EBTKE, 2021).
Berdasarkan laporan dari Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) yang
menyebutkan bahwa pada tahun 2017 penggunaan avtur yang berasal dari sumber energi
terbarukan ditargetkan mencapai 10% atau setara dengan 200 juta barel per tahun. Sedangkan
di Indonesia, pengembangan bioavtur masih berupa campuran 2,4% yang dicampur dengan
avtur murni. Pengembangan bioavtur di Indonesia juga diolah melalui teknologi co-processing.
Indonesia tengah melakukan pelbagai upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi karbon. Salah satu bentuk energi terbarukan yang tengah dikembangkan adalah bahan bakar nabati (BBN).
BBN adalah energi yang terdiri atas bahan bakar minyak, seperti biodisel atau bioetanol yang dicampur dengan minyak nabati murni. BBN diklaim menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada BBM fosil.
Oleh karena itu, mulai Januari 2022, pemerintah menerapkan program B30. Melalui program itu, pemerintah mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dan 70 persen bahan bakar jenis solar sehingga menghasilkan produk yang dkenal dengan nama biosolar B30.
Ketentuan kewajiban B30 untuk biosolar tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 12 tahun 2015 yang mengubah Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Selain itu, untuk mendorong penggunaan bahan bakar non-fosil pada sektor penerbangan, pemerintah bersama sejumlah lembaga mengembangkan energi terbarukan lainnya bernama bioavtur. Penggunaan bioavtur dinilai dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor penerbangan.
Tentu ada pertanyaan, apa itu bioavtur? Bioavtur merupakan bahan bakar pesawat yang dibuat dari campuran avtur dan kelapa sawit 2,4 persen. Bioavtur jenis ini diharapkan bisa menurunkan emisi karbon sektor transportasi.
Nah, pada Jumat (27/10/2023) Pertamina dan Garuda Indonesia berhasil melaksanakan penerbangan komersial perdana berbahan bakar ramah lingkungan, Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau Bioavtur. Penerbangan komersial itu menggunakan pesawat Boeing PK GFX Seri 727-800 dari Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang) menuju Bandara Adi Soemarmo (Surakarta), dan kembali ke Jakarta.
Berkaitan dengan kesuksesan penggunaan bioavtur itu, Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Alfian Nasution menjelaskan, penerbangan khusus ini akan menjadi tonggak sejarah di industri aviasi yang berkelanjutan. Masyarakat juga akan merasakan pengalaman baru, merasakan pemanfaatan energi terbarukan dan berkontribusi secara langsung pada penurunan emisi.
“Pertamina memiliki komitmen untuk mendukung tercapainya target NZE (net zero emission) Pemerintah Indonesia dengan mengembangkan roadmap aset dekarbonisasi dan pembangunan green business, termasuk SAF (sustainable aviation fuel) untuk sektor aviasi,” ujarnya di acara tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, pihaknya melakukan penerbangan komersial pertama dengan beberapa penumpang dari Soekarno-Hatta menuju Adi Soemarmo. “Kita berhasil gunakan biofuel untuk penerbangan komersial. Ini bentuk keseriusan kami. Kami berharap Garuda Indonesia dipersepsikan sebagai perusahaan yang mengedepankan keberlanjutan dan masa depan anak cucu kita,” jelas Irfan dalam sambutannya pada acara ceremonial flight tersebut.
Dalam rangka pengembangan bahan bakar yang berkelanjutan di industri penerbangan, isu itu telah lama berkembang. Beberapa maskapai penerbangan global kini juga tengah mengejar NZE di industri tersebut.
Bahkan, asosiasi maskapai penerbangan internasional (IATA) telah menetapkan elemen penting di industri bagi pengurangan zat karbon sebagai upaya industri itu selalu peduli terhadap keselamatan lingkungan.
Dalam konteks pengembangan bioavtur di Indonesia, Pertamina memulai inisiasi sustainable aviation fuel (SAF) sejak 2010 melalui Research & Technology Innovation Pertamina, dengan melakukan riset pengembangan produk dan katalis.
Pada 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi co-processing dari bahan baku refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas, dan bau dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari.
Melalui kolaborasi dengan stakeholder terkait, produk SAF tersebut kemudian melalui serangkaian uji coba pada mesin pesawat dan unit pesawat. Rangkaian pengujian dimulai dari cell test di fasilitas milik Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, flight test pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia.
Dalam pengujian selanjutnya, produk SAF itu juga diujicobakan ke pesawat komersial milik Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia dan terakhir terhadap pesawat Boeing PK GFX Seri 727-800. “Kami mengapresiasi para stakeholder yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan rangkaian pengujian produk SAF. Joy flight ini merupakan salah satu milestone terpenting dalam implementasi SAF di Indonesia ke depannya,” tambah Alfian.
Dia berharap semua kegiatan dapat terlaksana dengan lancar dan juga memberikan manfaat bagi segala pihak serta menjadi bukti nyata komitmen Indonesia untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.
Sebagai informasi, pengembangan produk SAF merupakan kolaborasi Dirjen EBTKE dan tim peneliti ITB sebagai koordinator, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) sebagai sponsor rangkaian kegiatan, dan Garuda Indonesia sebagai penyedia unit pesawat. Produk Pertamina Sustainable Aviation Fuel (SAF) nantinya akan dipasarkan dan didistribusikan melalui subholding PT Pertamina Patra Niaga.
Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional. Hal tersebut merupakan jawaban atas komitmen Pertamina dalam penyediaan bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan, dan telah dipergunakan untuk commercial flight tersebut.
Harapannya, kelahiran produk SAF itu bukan yang terakhir. Nantinya, program inovasi dan pengembangan SAF itu terus digenjot sehingga persentase penggunaan bahan nabati semakin bertambah sehingga tujuan pengurangan emisi karbon di industri penerbangan tercapai.
Januar Muhamad Hasanudin 20247270073 Mahasiswa S2 Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indraprasta PGRI Jakarta 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H