Mohon tunggu...
Revisa AyundaPutri
Revisa AyundaPutri Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum yang sering melakukan kajian dan penelitian terhadap isu sosial politik dan menganalisis produk Hukum atau fenomena Hukum lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Bom dan Surga: Analisis Teori Differential Association terhadap Kasus Terorisme (Studi Kasus Jamaah Islamiyah)

10 November 2023   11:30 Diperbarui: 10 November 2023   11:32 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teroris;terorisme;teror merupakan kata yang identik dengan sesuatu yang berbau kekerasan, kebencian serta intimidasi terhadap orang-orang yang memiliki pandangan dan ideologi berbeda satu sama lain. Terorisme merupakan kejahatan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ("UU 1/2002"), dalam UU 1/2002 Terorisme didefinisikan sebagai: 

Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. 

Dari pasal tersebut dapat tergambarkan bahwa kejahatan terorisme memiliki dampak yang luas kepada kehidupan masyarakat. Masifnya dan luasnya dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme membuat dunia internasional juga menaruh perhatian lebih terhadap kejahatan ini sebab bersangkutan dengan keamanan dan perdamaian dunia. Oleh sebab itu akhirnya dibuatlah perjanjian internasional yang menjelaskan bahwa kejahatan teroris memiliki dimensi internasional dan termasuk sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional (Delicia Julis Gentium).

Terorisme sendiri telah mengalami perkembangan dari masa ke masa, yang mana hal ini telah terjadi dari tahun 1880-an hingga tahun sekarang disebut dengan empat gelombang terorisme. Dimulai dari periode 1880-1920 yang saat itu kelompok teroris berusaha untuk memenangkan reformasi politik sipil dari pemerintah yang otoriter, selanjutnya pada periode 1920-1960 kelompok teroris telah berubah menjadi national self determination seperti contohnya IRA di Irlandia Utara, ketiga pada masa 1970-an kelompok terorisme merasa bahwa kekuatan kapitalisme global haruslah dilawan dan negara Dunia Ketiga harus dibela yang mana hal ini dilakukan oleh Red Bridges, Japanese Red Army, dan yang terakhir pada gelombang keempat yang saat ini masih eksis dalam kehidupan masyarakat yaitu kelompok teroris yang melatarbelakangi dirinya atas landasan agama atau religius. Indonesia sendiri mulai dimasuki oleh kejahatan terorisme pada tahun 1980-an yang mana hal ini menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara yang masuk dalam golongan gelombang keempat terorisme. 

Peristiwa terorisme di Indonesia pun diperparah dengan tidak puasnya para kelompok-kelompok tertentu yang berlatar belakang agama terhadap kebijakan politik di Indonesia. Kebijakan  yang dilaksanakan oleh Pemerintah tersebut bagi sebagian kelompok bertentangan dengan apa yang seharusnya bagi ajaran mereka. Hal ini tentunya akan semakin berkaitan erat dengan celah perbedaan antara pandangan islam dengan pandangan barat. Selain atas ketidak puasan dalam kondisi yang ada di dalam negara, faktor lainnya juga disebabkan karena ketidakpuasan strategis internasional dengan adanya isu Israel-Palestina dan diperparah dengan adanya Amerika sebagai adidaya tunggal.

Salah satu ajaran yang akhirnya menimbulkan tafsir teror dalam kajian islam kontemporer ialah ajaran Qutb yang menyebutkan bahwa perang bukanlah larangan dalam Islam jika hal tersebut dilakukan untuk memerangi orang-orang musyrik dan kafir dari ajaran Allah SWT. Akhirnya munculnya ajaran ini menjadi sebuah validasi dan legitimasi bagi orang-orang untuk melakukan kejahatan dan kekerasan kepada kaum lainnya untuk mematuhi ajaran agama islam. 

Dari hal tersebut, penulis tertarik untuk lebih mendalami bagaimana makna terorisme dalam sudut pandang ajaran Islam Kontemporer yang dianggap sebagai jihad dan bagaimana kaitannya dengan teori Kriminologi differential association yang melihat suatu fenomena kriminal di dalam masyarakat dalam kacamata sosial. Oleh sebab itu pada artikel ini selanjutnya akan membahas latar belakang terorisme secara lebih mendalam, pengaturan delik terorisme dalam hukum positif di Indonesia, sudut pandang kriminologi dalam tindak pidana terorisme, serta akan ditutup dengan kesimpulan dan penutup. 

  1. Terorisme dan latar belakangnya (Studi Kasus Jamaah Islamiyah) 

Terorisme, merupakan suatu serapan bahasa dari Bahasa Arab yang awalnya disebut sebagai Irhabiyah yang berarti menimbulkan rasa takut. Oleh sebab itu salah satu cara yang sering dilakukan oleh para teroris ialah menakut-nakuti sehingga membuat suasana menjadi mencekam dan penuh rasa takut. Awal mula tumbuh suatu tindakan terorisme ialah dari ajaran radikalisme beragama yang lahir dari tiga jenis keadaan, yaitu yang pertama terbatasnya nilai demokrasi, kedua tidak adanya keadilan sosial, dan yang ketiga yaitu dari lingkungan yang penuh dengan pelanggaran atas hak-hak individu seperti tindakan represif, penyiksaan, yang akhirnya timbul rasa berontak dan marah dari masyarakat.

Karena situasi yang melatarbelakangi tindakan terorisme ini banyak, maka motif dari kejahatan terorisme ini pun luas, mulai dari motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam, hingga motif karena aliran-aliran kepercayaan tertentu. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa nilai-nilai tertentu yang ada di sebuah agama bukan merupakan ideologi dari terorisme sebab terorisme sendiri merupakan sebuah cara dan strategi yang bisa dijadikan sebagai sebuah instrumen dalam mencapai tujuan dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. 

Akan tetapi terdapat banyak kesalahpahaman bahwa perbuatan terorisme akan selalu identik dengan ajaran suatu agama utamanya selama ini divalidasi dengan beberapa kasus yang mengatasnamakan ajaran agama Islam yang dianggap mengajarkan jihad dengan cara melakukan pengeboman. Hal tersebut merupakan pandangan yang berupaya untuk menyelewengkan makna 'jihad' itu sendiri. Bagi orang yang memiliki perspektif salah terhadap nilai jihad, ia menilai bahwa sebagai seorang muslim ia harus membuat seluruh manusia di muka bumi ini tunduk kepada Islam dan apabila mereka enggan, maka ia akan memusnahkan kaum tersebut dengan cara yang membabi buta salah satunya ialah dengan aksi terorisme. Akhirnya konsep jihad ini sendiri menimbulkan nilai buruk bagi kehidupan manusia karena menjadi sesuatu hal yang menakutkan. 

Seperti contohnya pada kasus Bom Bali I yang merupakan kasus pengeboman besar di Indonesia pada tahun 2002 yang akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan UU 1/2002. Kasus tersebut terjadi di kawasan Legian, Kuta, Bali yang melibatkan 32 tersangka dan mengakibatkan 203 orang meninggal dunia dan 209 luka-luka. Peristiwa ini dilatarbelakangi karena balas dendam dari para teroris karena dalam peristiwa perang Afghanistan yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Selain itu para teroris juga memiliki anggapan bahwa Bali merupakan tempat yang banyak orang di sana melakukan maksiat yang bertentangan dengan agama islam oleh sebab itu tempat dan lokasi pengeboman pun memang tempat seperti bar dan club yang dianggap sebagai pusat maksiat.

Dalam kasus ini istilah jihad sangat menjadi highlight sebab para tersangka terus menyuarakan bahwa mereka melakukan sebuah tindakan untuk berjihad dan mereka terus menyuarakan suara Takbir seakan-akan seluruh tindakan yang ia lakukan merupakan perintah dari agama islam. Akhirnya, bagi seorang yang tidak mengerti ajaran agama islam yang sesungguhnya akan memandang bahwa islam merupakan agama yang kejam. Terminologi agama ini akhirnya menjadi justifikasi atas tindakan yang tidak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan ini. Akhirnya hal ini menyebabkan islam dituding sebagai agama yang membenarkan terorisme dan meletakan wajah intoleran, ekstrimis, dan teroris pada dunia islam.

Tetapi ternyata terdapat benang merah yang bisa diteliti dari para pelaku Bom Bali tersebut yakni beberapa pelaku merupakan alumni dari Pesantren Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir. Abu Bakar Ba'Asyir sendiri merupakan pimpinan dari spiritual Jama'ah Islamiyah  yang merupakan kelompok radikal di Asia Tenggara. Investigasi terhadap Jama'ah Islamiyah tidak hanya dilakukan oleh Indonesia tetapi juga oleh PBB yang akhirnya memasukan organisasi Jamaah Islamiah dalam daftar teroris dunia. Jaringan Jamaah Islamiyah sendiri dilatarbelakangi pada tahun 1960 ketika Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar menuntut pembentukan Hukum Islam atau Hukum Syariah di Indonesia. Mereka memperluas ekspansi Jamaah Islamiyah sampai ke Malaysia dengan cara mendirikan basis operasi yang memiliki aktivitas mengirimkan relawan jihad dari Indonesia dan Malaysia menuju Afghanistan untuk melawan Uni Soviet dan berlatih di Al-Qaeda. Setelah merasa besar, pada tahun 1994 Jamaah Islamiyah mulai memperbesar struktur organisasi dan aktif merekrut orang untuk memperlancar rencana aksi terorisme di Asia Tenggara.

  1. Cara Jamaah Islamiyah Menjaring Anggota

Dalam melakukan perekrutan anggota-anggota barunya, Jamaah Islamiyah banyak menggunakan pendekatan personal dan agamis kepada calon-calon anggotanya. Jamaah Islamiyah mencoba untuk membuat penafsiran tersendiri terhadap agama islam berdasarkan buku-buku yang mana akhirnya menjadikan mereka memahami buku itu sebagai ajaran yang diyakini secara keras. Selain melalui buku, biasanya para calon anggota mulai mengenai ajaran keras tersebut dari pengajian-pengajian di lingkungan sekitar yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah terkena ajaran radikal. Karena sempitnya pemikiran dan rendahnya pengetahuan mengenai ajaran agama yang sesungguhnya maka mereka dengan cepat menyimpulkan bahwa ajaran tersebut merupakan ajaran yang paling benar dan wajib untuk diikuti.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah tersebut akhirnya membuat para pengikutnya memiliki sifat fanatik terhadap ajaran yang telah diajarkan dan menutup celah akan adanya ajaran islam lain yang tidak radikal. Fanatik atas suatu ajaran ini tentu memiliki dampak buruk terhadap bagaimana cara orang memandang sesuatu, ia akan selalu menganggap bahwa apapun yang diajarkan dalam ajarannya merupakan sesuatu yang paling valid dan apabila terdapat ajaran lain yang meng-counter ajaran tersebut ia akan sangat tutup telinga hal ini membuat ia menjadi kekurangan bekal untuk memahami, menganalisa, dan menggali secara dalam, kesamaran dalam memahami Islam dan ketidakjelasan dalam melihat prinsip-prinsip syariat yang menimbulkan kerancuan konsep.

Faktor selanjutnya yang membuat Jamaah Islamiyah mudah untuk mempengaruhi orang lain ialah karena pergaulan yang terjadi saat ini sangat didasarkan pada hubungan sosial dalam bermasyarakat. Hal tersebut tentu akan memberikan pengaruh terhadap psikologi seseorang seperti contohnya apabila seseorang merupakan orang yang terbuka dengan masyarakat ia akan lebih sulit untuk dipengaruhi sebab ia menerima berbagai macam sudut pandang dari masyarakat dan ia akan sulit untuk terpengaruh oleh satu sudut pandang saja. Tetapi begitu juga sebaliknya, apabila ia merupakan orang yang sangat minim interaksi dengan masyarakat sekitar, sangat acuh dengan keadaan di masyarakat maka ia akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh satu pandangan tertentu saja. 

Hal ini juga terjadi dalam hal Jamaah Islamiyah mendoktrin calon pengikutnya, biasanya mereka akan mendekati orang yang tertutup, jarang bergaul utamanya remaja. Selain tertutup, remaja biasanya sangat rentan mengalami konflik dalam internal kehidupannya sehingga ketika Jamaah Islamiyah datang dan memberikan suatu ajaran radikal hal tersebut membuat Jamaah Islamiyah seakan-akan memberikan jalan keluar kepada remaja. Jamaah Islamiyah akan memberikan perhatian lebih kepada remaja tersebut sebab ia tau bahwa hal yang diperlukan remaja itu ialah sebuah perhatian dan ketenangan, setelah ia berhasil membuat remaja itu nyaman berada di dalam Jamaah Islamiyah, maka ia akan semakin membuat remaja tersebut fanatik dan mengikuti seluruh ajarannya.

Biasanya Jamaah Islamiyah akan mencari mangsanya di beberapa lingkungan seperti di tempat ibadah, sekolah, bahkan tempat umum lainnya. Kemudian setelah berhasil untuk mendapatkan atensi dari orang tersebut ia akan melakukan pertemuan di tempat tertutup dan meminta ketersediaan untuk mengorbankan harta benda bahkan keluarga dengan mengatasnamakan jihad dan perjuangan. Selain itu, Jamaah Islamiyah akan melatih mereka untuk bela diri, latihan fisik, dan akhirnya menyatakan janji setia kepada pemimpin sehingga ia harus bersedia melaksanakan aksi terorisme.

Selain karena faktor dari internal yang tidak bisa menyaring mana informasi benar atau salah, faktor eksternal juga menjadi faktor yang bisa mempengaruhi seseorang akhirnya mengikuti ajaran radikal, salah satunya yaitu karena faktor sosial politik. Hal ini didasari pada timbulnya rasa kecewa dari ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah yang telah gagal dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya utamanya ketika pemerintah justru sangat represif dan keras terhadap masyarakat kelas bawah tetapi sangat lunak dengan masyarakat kelas atas. Hal tersebut akan semakin diperparah apabila pemerintah menjadi sangat diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu yang akhirnya membuat sebagian masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Hal ini tentu akan menjadi celah yang menguntungkan bagi para pencari anggota teroris sebab mereka akan lebih mudah dalam mempengaruhi orang untuk mengikuti ajaran mereka.
Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan juga bahwa faktor ekonomi seseorang juga menjadi faktor orang tersebut mudah untuk dipengaruhi. Sebagian besar dari target Jamaah Islamiyah adalah orang-orang dengan kelas menengah kebawah yang mudah untuk dipengaruhi dengan tawaran berupa uang atau pekerjaan. Jamaah islamiyah akan menjanjikan hal-hal yang bisa memenuhi kebutuhan hidup orang tersebut asalkan ia mau untuk menjadi anggota dari organisasinya. 

Terakhir hal yang sering menjadi senjata bagi para anggota Jamaah Islamiyah untuk mencari calon anggota ialah didasarkan pada faktor solidaritas agama. Para anggota Jamaah Islamiyah akan membangun sentimen keagamaan yang didasarkan pada tindakan penindasan yang dilakukan oleh negara sendiri maupun negara lain. Terlebih lagi apabila dibandingkan dengan negara barat yang sangat memiliki sentimen terhadap masyarakat muslim hal ini akan semakin membuat benturan tersebut terjadi. Jamaah Islamiyah akan menunjukan bahwa orang yang tidak beragama islam utamanya orang-orang barat adalah orang yang telah menindas islam dan patut untuk dihancurkan atau dibunuh.

3. Sudut pandang kriminologi dalam Tindak Pidana Terorisme 

3.1. Pengantar Teori Differential Association 

Teori Differential Association sendiri merupakan teori kriminologi yang dikenalkan oleh kriminolog Edwin H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology. Teori ini lahir dan berkembang pada masa tahun 1920 dan 1930 saat masyarakat Amerika Serikat mengalami depresi hingga akhirnya banyak individu yang melakukan kejahatan. Hal ini dipandang sebagai product of situation dari kondisi yang terjadi saat itu. Teori ini pun dibagi menjadi dua versi, pada versi pertama Edwin H. Sutherland menegaskan mengenai tiga aspek penting yang terjadi dalam masyarakat yaitu: 

  1. Setiap individu akan menerima dan mengikuti pola perilaku yang biasa dan bisa untuk dilakukan; 

  2. Kegagalan dalam melakukan pola tingkah laku tersebut menjadikan timbulnya inkonsistensi dan ketidakharmonisan; dan 

  3. Konflik budaya yang terjadi di dalam masyarakat merupakan prinsip dasar dalam menganalisis suatu kejahatan. 

Selain ketiga poin di atas, Edwin H. Sutherland juga menyebutkan bahwa hal yang terpenting dalam menyebarkan perilaku jahat bukan dengan siapa ia bergaul tetapi justru bagaimana proses komunikasi dan apa isi dari komunikasi antar individu. Tidak hanya berinteraksi dengan penjahat yang bisa membuat seseorang menjadi jahat tetapi justru interaksi yang bersifat menyimpang juga bisa membuat orang menjadi terpengaruh akan perilaku jahat. 

Selanjutnya pada teori differential association versi kedua Edwin H. Sutherland menjelaskan bahwa semua tingkah laku itu bisa diserap karena dipelajari bukan karena adanya penurunan atau pewarisan dari orang tua. Terlebih lagi apabila perilaku tersebut tersebar melalui hubungan yang akrab maka akan semakin mudah untuk dipahami orang orang lain. Dalam versi kedua ini, Edwin H. Sutherland membuat 9 proposisi proses terjadinya kejahatan, yaitu: 

  1. Perilaku kejahatan merupakan perilaku yang diserap dan dipelajari secara negatif, yang artinya hal ini bukan merupakan sebuah kewarisan; 

  2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang melalui proses komunikasi baik dengan lisan atau bahasa tubuh; 

  3. Bagian yang penting dalam mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim; 

  4. Dalam mempelajari perilaku kejahatan, orang juga akan mempelajari teknik melakukan kejahatan, motif melakukan kejahatan, dorongan, alasan-alasan mengapa tindakan tersebut ia rasa benar, dan sikap-sikap tertentu; 

  5. Arah dan motif itu dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum yang mana selain adanya posibilitas untuk mematuhi juga terdapat posibilitas untuk melanggar; 

  6. Individu akan delinkuen karena akses pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus dipatuhi; 

  7. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya; 

  8. Dalam prosesnya dalam mempelajari kejahatan akan melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar sebagaimana mestinya; 

  9. Perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama. 

3.2. Analisis Teori Differential Association terhadap Fenomena Jamaah Islamiyah

Inti dari teori differential association menegaskan bahwa seluruh proses penyerapan perilaku kejahatan merupakan suatu proses yang bertahap dan tidak instan utamanya bukan disebabkan karena faktor keturunan atau keluarga. Dalam teori differential association yang pertama disebutkan bahwa "konflik budaya yang terjadi menjadi salah satu unsur mendasar yang melatarbelakangi sebuah kejahatan", apabila dikaitkan dengan fenomena terorisme pada umumnya tentu ini sangat sejalan dengan teori ini, sebab terorisme sendiri merupakan sebuah upaya dengan kekerasan yang bertujuan untuk meruntuhkan suatu hal yang bertentangan dengan kepercayaan yang ia miliki seperti contohnya agama, ideologi, kelompok, suku, ras dan lain-lain. Hal ini tentunya dimulai dari suatu perbedaan yang akhirnya menyebabkan konflik timbul di tengah perbedaan tersebut. Tentu saja keadaan tersebut diperparah dengan rasa bahwa kelompoknya lah yang harus menguasai, kelompoknya lah yang benar sehingga ia melakukan cara yang tidak manusiawi untuk mengalahkan kelompok lain.

Apabila dikaitkan dengan fenomena Jamaah Islamiyah maka titik temu teori konflik budaya ini ada pada Jamaah Islamiyah yang menilai bahwa budaya Barat merupakan budaya yang tidak sesuai dengan budaya yang diajarkan dalam agama islam. Hal ini membuat Jamaah Islamiyah menilai bahwa perilaku dosa tersebut harus dimusnahkan bahkan dengan cara membunuh orang-orangnya, apalagi jika dikaitkan bahwa mereka menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk dari jihad sehingga semakin membuat mereka terdorong untuk memerangi dan membunuh orang yang memiliki budaya seperti mereka.

Poin kedua yang sesuai dengan fenomena terorisme ialah pernyataan bahwa untuk mengasimilasi sebuah kejahatan tidak perlu berasal dari orang yang terlihat jahat, tetapi justru karena faktor komunikasi seseorang bisa menerima dan menyerap perilaku jahat tersebut. Hal ini tentu sangat sesuai dengan kondisi kejahatan terorisme secara umum, sebab bisa saja penyebaran paham terorisme bukan disebabkan karena hidup berdampingan dengan seorang pelaku terorisme tetapi justru karena menerima komunikasi secara terus menerus mengenai aliran-aliran radikal yang akhirnya terserap dalam pikiran dan perilaku yang ia lakukan. Bisa saja justru jika hidup berdampingan dengan seorang teroris tetapi tidak pernah memahami apa aliran yang ia percaya tidak akan membuat seseorang menjadi terpengaruh oleh aliran tersebut. 

Begitu pula pada fenomena Jamaah Islamiyah, ia berusaha untuk mendekati para calon anggotanya dengan pendekatan personal seperti contoh nya mendekati remaja yang sedang butuh perhatian dari keluarga hingga akhirnya ia memasukan ajaran radikalisme dalam komunikasi yang ia lakukan pada remaja tersebut, akhirnya remaja tersebut pun menjadi sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Jamaah Islamiyah. 

Selanjutnya pada teori differential association yang kedua Edwin H Sutherland menyebutkan bahwa perilaku menyimpang itu diserap dan dipelajari dan bukan merupakan sebuah hal yang bersumber dari keturunan atau warisan orang tua. Dalam pengaplikasian teori ini terhadap fenomena terorisme terdapat poin kebenaran tetapi juga terdapat poin kesalahannya. Poin kebenarannya terletak pada banyak orang yang berasal dari keluarga yang bukan anggota teroris juga akhirnya menganut paham radikalisme karena mereka mempelajari dari orang lain. Tetapi poin kesalahannya juga ada pada beberapa keluarga terorisme yang merasa bahwa menjadi teroris merupakan budaya dari sebuah keluarga tersebut yang tidak bisa dihilangkan. 

Apabila kita lihat pada kasus Jamaah Islamiyah memang benar bahwa lebih banyak target anggota dari Jamaah Islamiyah yang justru bukan dari orang dengan latar belakang terorisme. Justru orang-orang tersebut merupakan orang dengan ilmu agama yang rendah atau biasa saja yang akhirnya mempelajari ajaran-ajaran radikal sehingga akhirnya ia memahami ajaran tersebut. Selain itu, biasanya memang Jamaah Islamiyah akan memanfaatkan ketidaktahuan seseorang untuk diberikan pengetahuan baru yang radikal sehingga ia tidak akan menyadari kesalahan dari pengetahuan tersebut. 

Selanjutnya proses yang sesuai dalam teori differential association versi kedua ialah mengenai bagian yang penting dalam mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Hal ini sangat sesuai sebab hampir seluruh kejahatan terorisme dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan intim satu sama lain. Hubungan intim tersebut bisa tercipta karena mereka merasa memiliki kesamaan satu sama lain sehingga merasa senasib. Oleh sebab itu, kegiatan terorisme akan selalu dilakukan secara berkelompok dan memiliki organisasi yang terstruktur. Hal ini tentunya akan lebih memudahkan orang untuk menyerap perilaku jahat tersebut dibandingkan dengan ia sendiri yang melakukan terorisme. 

Kembali lagi jika dikaitkan relevansinya terhadap fenomena yang terjadi dalam Jamaah Islamiyah akan sangat sesuai sebab biasanya Jamaah Islamiyah akan mengumpulkan target target anggota mereka untuk sekedar berkumpul sehingga terasa kedekatan antar satu calon anggota dengan yang lain. Setelah itu ketika antara satu dengan yang lain sudah merasa memiliki kedekatan akan semakin mudah bagi Jamaah Islamiyah untuk memasukan pemahaman radikal kepada kelompok calon anggota tersebut. 

Teori differential association juga menyebutkan bahwa dalam mempelajari perilaku kejahatan, orang juga akan mempelajari teknik melakukan kejahatan, motif melakukan kejahatan, dorongan, alasan-alasan mengapa tindakan tersebut ia rasa benar, dan sikap-sikap tertentu. Hal ini tentu sangat sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme, yang mana anggota kelompok teroris akan mencoba untuk mempelajari juga teknik dalam melakukan terorisme secara berurutan seperti bagaimana cara meletakan bom supaya tidak terdeteksi, bagaimana cara merakit bom, dan lain sebagainya. Para anggota juga akan mempelajari apa alasan yang membenarkan tindakan tersebut seperti contohnya karena alasan jihad sehingga ia pun akan terpengaruh dengan alasan tersebut dan akan memiliki alasan yang sama seperti kelompoknya. 

Kesimpulan

Terorisme telah berevolusi dari masa ke masa, serta fokus pada studi kasus Jamaah Islamiyah untuk mendalami motif, perekrutan anggota, dan pengaruhnya terhadap individu. Penulis menyoroti bahwa terorisme bukanlah ideologi agama, namun sebuah instrumen untuk mencapai tujuan kelompok tertentu, terutama ketika kepuasan kelompok agama terhadap kebijakan politik dan ketidakpuasan strategis internasional bertemu. Penekanan diberikan pada kesalahpahaman yang mengidentifikasi terorisme sebagai bagian dari ajaran agama tertentu, terutama dalam Islam, yang sering disalahpahami dan disalahgunakan oleh kelompok radikal. Sebuah contoh disajikan dalam pengeboman di Bom Bali, di mana kelompok teroris berdalih bahwa tindakan mereka adalah bentuk jihad, yang pada gilirannya menempatkan Islam dalam konteks negatif.

Kasus Jamaah Islamiyah menjadi sorotan utama, menyoroti bagaimana kelompok ini merekrut anggotanya dengan pendekatan personal dan agamis, memanfaatkan keadaan individu yang tertutup, rentan, dan minim interaksi sosial untuk memperkuat pandangan radikal mereka. Penekanan diberikan pada metode perekrutan, di mana para anggota muda dipengaruhi untuk menjadi fanatik, menutup diri terhadap pandangan alternatif, dan menjadikan ajaran radikal sebagai satu-satunya kebenaran.

Teori Differential Association, diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland, menjelaskan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui komunikasi dan asimilasi, bukan sekadar diturunkan dari keluarga. Ada dua versi teori ini. Pertama, konflik budaya menjadi dasar kejahatan, seperti pada fenomena terorisme yang muncul dari konflik nilai. Teori ini menekankan bahwa individu belajar perilaku jahat melalui komunikasi, dan bukan hanya dari pelaku kejahatan. Kedua, perilaku jahat dipelajari, bukan diwarisi, terutama melalui interaksi intens dalam kelompok intim, mirip dengan cara Jamaah Islamiyah merekrut anggota. Teori ini juga menegaskan bahwa perilaku kriminal terjadi dalam kelompok intim, yang memudahkan asimilasi ajaran radikal. Selain itu, individu belajar teknik kejahatan, motif, dan dorongan tindakan mereka, sesuai dengan tindak pidana terorisme yang melibatkan pembelajaran teknik aksi teror dan alasan-alasan kuat bagi tindakan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun