Selanjutnya pada teori differential association yang kedua Edwin H Sutherland menyebutkan bahwa perilaku menyimpang itu diserap dan dipelajari dan bukan merupakan sebuah hal yang bersumber dari keturunan atau warisan orang tua. Dalam pengaplikasian teori ini terhadap fenomena terorisme terdapat poin kebenaran tetapi juga terdapat poin kesalahannya. Poin kebenarannya terletak pada banyak orang yang berasal dari keluarga yang bukan anggota teroris juga akhirnya menganut paham radikalisme karena mereka mempelajari dari orang lain. Tetapi poin kesalahannya juga ada pada beberapa keluarga terorisme yang merasa bahwa menjadi teroris merupakan budaya dari sebuah keluarga tersebut yang tidak bisa dihilangkan.Â
Apabila kita lihat pada kasus Jamaah Islamiyah memang benar bahwa lebih banyak target anggota dari Jamaah Islamiyah yang justru bukan dari orang dengan latar belakang terorisme. Justru orang-orang tersebut merupakan orang dengan ilmu agama yang rendah atau biasa saja yang akhirnya mempelajari ajaran-ajaran radikal sehingga akhirnya ia memahami ajaran tersebut. Selain itu, biasanya memang Jamaah Islamiyah akan memanfaatkan ketidaktahuan seseorang untuk diberikan pengetahuan baru yang radikal sehingga ia tidak akan menyadari kesalahan dari pengetahuan tersebut.Â
Selanjutnya proses yang sesuai dalam teori differential association versi kedua ialah mengenai bagian yang penting dalam mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Hal ini sangat sesuai sebab hampir seluruh kejahatan terorisme dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan intim satu sama lain. Hubungan intim tersebut bisa tercipta karena mereka merasa memiliki kesamaan satu sama lain sehingga merasa senasib. Oleh sebab itu, kegiatan terorisme akan selalu dilakukan secara berkelompok dan memiliki organisasi yang terstruktur. Hal ini tentunya akan lebih memudahkan orang untuk menyerap perilaku jahat tersebut dibandingkan dengan ia sendiri yang melakukan terorisme.Â
Kembali lagi jika dikaitkan relevansinya terhadap fenomena yang terjadi dalam Jamaah Islamiyah akan sangat sesuai sebab biasanya Jamaah Islamiyah akan mengumpulkan target target anggota mereka untuk sekedar berkumpul sehingga terasa kedekatan antar satu calon anggota dengan yang lain. Setelah itu ketika antara satu dengan yang lain sudah merasa memiliki kedekatan akan semakin mudah bagi Jamaah Islamiyah untuk memasukan pemahaman radikal kepada kelompok calon anggota tersebut.Â
Teori differential association juga menyebutkan bahwa dalam mempelajari perilaku kejahatan, orang juga akan mempelajari teknik melakukan kejahatan, motif melakukan kejahatan, dorongan, alasan-alasan mengapa tindakan tersebut ia rasa benar, dan sikap-sikap tertentu. Hal ini tentu sangat sesuai dengan karakteristik tindak pidana terorisme, yang mana anggota kelompok teroris akan mencoba untuk mempelajari juga teknik dalam melakukan terorisme secara berurutan seperti bagaimana cara meletakan bom supaya tidak terdeteksi, bagaimana cara merakit bom, dan lain sebagainya. Para anggota juga akan mempelajari apa alasan yang membenarkan tindakan tersebut seperti contohnya karena alasan jihad sehingga ia pun akan terpengaruh dengan alasan tersebut dan akan memiliki alasan yang sama seperti kelompoknya.Â
Kesimpulan
Terorisme telah berevolusi dari masa ke masa, serta fokus pada studi kasus Jamaah Islamiyah untuk mendalami motif, perekrutan anggota, dan pengaruhnya terhadap individu. Penulis menyoroti bahwa terorisme bukanlah ideologi agama, namun sebuah instrumen untuk mencapai tujuan kelompok tertentu, terutama ketika kepuasan kelompok agama terhadap kebijakan politik dan ketidakpuasan strategis internasional bertemu. Penekanan diberikan pada kesalahpahaman yang mengidentifikasi terorisme sebagai bagian dari ajaran agama tertentu, terutama dalam Islam, yang sering disalahpahami dan disalahgunakan oleh kelompok radikal. Sebuah contoh disajikan dalam pengeboman di Bom Bali, di mana kelompok teroris berdalih bahwa tindakan mereka adalah bentuk jihad, yang pada gilirannya menempatkan Islam dalam konteks negatif.
Kasus Jamaah Islamiyah menjadi sorotan utama, menyoroti bagaimana kelompok ini merekrut anggotanya dengan pendekatan personal dan agamis, memanfaatkan keadaan individu yang tertutup, rentan, dan minim interaksi sosial untuk memperkuat pandangan radikal mereka. Penekanan diberikan pada metode perekrutan, di mana para anggota muda dipengaruhi untuk menjadi fanatik, menutup diri terhadap pandangan alternatif, dan menjadikan ajaran radikal sebagai satu-satunya kebenaran.
Teori Differential Association, diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland, menjelaskan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui komunikasi dan asimilasi, bukan sekadar diturunkan dari keluarga. Ada dua versi teori ini. Pertama, konflik budaya menjadi dasar kejahatan, seperti pada fenomena terorisme yang muncul dari konflik nilai. Teori ini menekankan bahwa individu belajar perilaku jahat melalui komunikasi, dan bukan hanya dari pelaku kejahatan. Kedua, perilaku jahat dipelajari, bukan diwarisi, terutama melalui interaksi intens dalam kelompok intim, mirip dengan cara Jamaah Islamiyah merekrut anggota. Teori ini juga menegaskan bahwa perilaku kriminal terjadi dalam kelompok intim, yang memudahkan asimilasi ajaran radikal. Selain itu, individu belajar teknik kejahatan, motif, dan dorongan tindakan mereka, sesuai dengan tindak pidana terorisme yang melibatkan pembelajaran teknik aksi teror dan alasan-alasan kuat bagi tindakan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H