Banyak pengalaman menarik dan berkesan selama menempuh pendidikan di Seminari. Salah satunya adalah belajar hidup mandiri.
"Dari yang biasanya diurus orang tua atau asisten rumah tangga, jadi harus dikerjakan sendiri, seperti cuci baju, nyapu, ngepel, cuci piring, dan lain-lain," ujar Fr. Amadea.
Di Seminari Mertoyudan, selain terdapat kegiatan sekolah dan kegiatan rohani, terdapat juga kegiatan lain yang dapat mengisi keseharian para calon imam ini.
"Ada kegiatan asrama (komunitas). Lalu juga mengajar anak-anak (PIA) di lingkungan-lingkungan," ujar Fr. Amadea.
Fr. Amadea menempuh pendidikan di Seminari Mertoyudan selama 4 tahun. Setelah itu, barulah ia menempuh beberapa pendidikan selanjutnya sebagai calon imam.
Setiap ordo atau diosesan memiliki kebijakannya masing-masing terkait lamanya pendidikan menjadi seorang imam. Serikat Jesuit harus menempuh pendidikan minimal 12 tahun sejak lulus SMA atau seminari. Bagi yang sudah lulus kuliah atau bekerja, untuk masuk SJ memerlukan waktu minimal 10 tahun untuk menjadi calon imam.
"Sebagai Jesuit: 2 tahun novisiat (belajar doa, spiritualitas, dan aturan SJ), 4 tahun filsafat (S1 Filsafat), 2 tahun Tahun Orientasi Kerasulan (belajar kerja, magang), 4 tahun teologi (S1 gerejani, S2 teologi, program imamat). Pendidikan diakhiri dengan tahbisan diakon dan tahbisan imamat," tutur Fr. Amadea.
Selama menempuh pendidikan, banyak hal yang dipelajari oleh para calon imam, seperti filsafat, ilmu humaniora, ilmu sosial, teologi, spiritualitas, dan lain-lain.
Menurut Fr. Amadea, tidak ada yang susah di dalam menjalani pendidikan menjadi calon imam, selama memiliki niat yang teguh dan selalu memohon penyertaan Tuhan.
Tantangan dan Hambatan
Panggilan hidup sebagai calon imam bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Untuk menjadi seorang imam di Gereja Katolik harus memenuhi beberapa syarat-syarat.