Mohon tunggu...
Retnoningtyas Wulandari
Retnoningtyas Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UAJY Yogyakarta

Selamat datang, selamat membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan Frater Amadea untuk Bekerja di Ladang Tuhan

3 September 2023   13:23 Diperbarui: 3 September 2023   13:32 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: YouTube Misdinar Purbayan

Perjalanan Frater Amadea di dalam menanggapi panggilan Tuhan.

Menjadi calon imam di dalam Gereja Katolik harus menempuh perjalanan yang panjang dan penuh tantangan.

Pendidikan yang ditempuh menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun lamanya. Selain itu, banyak tantangan yang harus dihadapi sehingga diperlukan ambisi dan ketekunan di dalam menjalani segala prosesnya.

Fr. Amadea Prajna Putra Mahardika, SJ., seorang Frater yang saat ini sedang menempuh pendidikan Studi Teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menceritakan pengalamannya menjadi seorang imam.

Pergulatan Menjadi Imam

Fr. Amadea bersama kedua orang tua dan Mgr. Robertus Rubiyatmoko (Sumber: Instagram @amadeasj)
Fr. Amadea bersama kedua orang tua dan Mgr. Robertus Rubiyatmoko (Sumber: Instagram @amadeasj)

Tanda-tanda panggilan menjadi seorang imam setiap orang berbeda dan tidak dapat disamaratakan.

"Masing-masing orang punya pengalaman panggilannya sendiri, tidak ada tanda-tanda yang universal. Jangan dibayangkan ada panggilan mistis langsung dari Allah Bapa di surga. Semua pengalaman merasa terpanggil harus diolah, direfleksikan, dan dimantapkan dalam proses yang panjang," ujar Fr. Amadea saat diwawancara.

Fr. Amadea merupakan anak tunggal yang tertarik dan terpanggil untuk menjadi imam.

Awalnya ia tertarik karena merasa terkesan dan terinspirasi oleh figur pastor paroki yang ramah, baik hati, dan disenangi umat karena homilinya yang bagus.

Sebagai anak tunggal, tentunya tidak mudah untuk mendapatkan izin dan restu dari keluarga. Banyak pergulatan dan pertentangan yang harus dihadapi oleh Fr. Amadea sebelum akhirnya dapat terjun di dalam perjalanan menjadi imam hingga saat ini.

Ibu Fr. Amadea adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Sebagai anak bungsu yang hanya memiliki 1 anak, yaitu Fr. Amadea, hal ini yang kemudian menjadi pertimbangan yang berat bagi kedua orang tuanya di dalam menentukan pilihan hidup selanjutnya bagi anak satu-satunya.

Setelah menghadapi proses yang penuh pergulatan, akhirnya Fr. Amadea mendapatkan izin penuh dari keluarganya.

Ini menjadi sebuah pengorbanan keluarga dalam mempersembahkan anak tunggalnya untuk bekerja di ladang Tuhan dengan menjadi calon imam.

Pendidikan Menjadi Imam

Fr. Amadea bersama teman-temannya ketika menempuh pendidikan (Sumber: Facebook Dionisius Amadea)
Fr. Amadea bersama teman-temannya ketika menempuh pendidikan (Sumber: Facebook Dionisius Amadea)

Pendidikan tidak hanya didapatkan oleh masyarakat secara umum saja, namun menempuh pendidikan juga tidak kalah pentingnya bagi para calon imam.

"Pendidikan sangat penting karena tugas imam adalah memimpin, menyucikan atau menguduskan, dan mengajar umat. Jika imam tidak terdidik, umat bisa terjerumus dalam ajaran iman atau moral yang keliru," ujar Fr. Amadea.

"Syarat utama menjadi imam adalah menempuh studi filsafat dan teologi," tambah Fr. Amadea.

Setelah lulus SMP, Fr. Amadea melanjutkan pendidikannya di Seminari Mertoyudan yang merupakan tempat pendidikan dan pembentukan dari bagi para calon imam yang setara dengan tingkat SMA.

Fr. Amadea masuk ke Seminari Mertoyudan ini pada tahun 2010, tepatnya pada umur 15 tahun.

Banyak pengalaman menarik dan berkesan selama menempuh pendidikan di Seminari. Salah satunya adalah belajar hidup mandiri.

"Dari yang biasanya diurus orang tua atau asisten rumah tangga, jadi harus dikerjakan sendiri, seperti cuci baju, nyapu, ngepel, cuci piring, dan lain-lain," ujar Fr. Amadea.

Di Seminari Mertoyudan, selain terdapat kegiatan sekolah dan kegiatan rohani, terdapat juga kegiatan lain yang dapat mengisi keseharian para calon imam ini.

"Ada kegiatan asrama (komunitas). Lalu juga mengajar anak-anak (PIA) di lingkungan-lingkungan," ujar Fr. Amadea.

Fr. Amadea menempuh pendidikan di Seminari Mertoyudan selama 4 tahun. Setelah itu, barulah ia menempuh beberapa pendidikan selanjutnya sebagai calon imam.

Setiap ordo atau diosesan memiliki kebijakannya masing-masing terkait lamanya pendidikan menjadi seorang imam. Serikat Jesuit harus menempuh pendidikan minimal 12 tahun sejak lulus SMA atau seminari. Bagi yang sudah lulus kuliah atau bekerja, untuk masuk SJ memerlukan waktu minimal 10 tahun untuk menjadi calon imam.

"Sebagai Jesuit: 2 tahun novisiat (belajar doa, spiritualitas, dan aturan SJ), 4 tahun filsafat (S1 Filsafat), 2 tahun Tahun Orientasi Kerasulan (belajar kerja, magang), 4 tahun teologi (S1 gerejani, S2 teologi, program imamat). Pendidikan diakhiri dengan tahbisan diakon dan tahbisan imamat," tutur Fr. Amadea.

Selama menempuh pendidikan, banyak hal yang dipelajari oleh para calon imam, seperti filsafat, ilmu humaniora, ilmu sosial, teologi, spiritualitas, dan lain-lain.

Menurut Fr. Amadea, tidak ada yang susah di dalam menjalani pendidikan menjadi calon imam, selama memiliki niat yang teguh dan selalu memohon penyertaan Tuhan.

Tantangan dan Hambatan

Panggilan hidup sebagai calon imam bukanlah perkara yang mudah untuk dijalani. Untuk menjadi seorang imam di Gereja Katolik harus memenuhi beberapa syarat-syarat.

"Laki-laki Katolik, sudah dibaptis secara sah, tidak terikat oleh perkawinan atau halangan lainnya menurut hukum Gereja, sudah menempuh pendidikan dan persiapan yang mencukupi, serta dianggap layak untuk ditahbiskan menjadi imam," tutur Fr. Amadea

Beberapa syarat ini haruslah dipenuhi dan tidak boleh dilanggar selama proses menjadi seorang imam.

Tentu ini adalah salah satu tantangan yang harus dapat dihadapi para calon imam sehingga tekad dan iman harus selalu kuat.

Bagi Fr. Amadea, tantangan terbesarnya adalah menghadapi rasa kesepian.

"Tantangan utama adalah rasa kesepian sebagai selibat yang tidak bisa diisi oleh apapun atau siapapun. Hanya Tuhan yang bisa mengisi kekosongan atau kesepian itu," ucap Fr. Amadea.

Selain tantangan dan hambatan, terdapat pula momen suka dan duka yang menghiasi kehidupan para calon imam.

 Fr. Amadea mengalami kisah suka ketika ia dapat memberikan diri dalam pelayanan yang dibutuhkan umat atau orang lain. Sedangkan, duka yang dirasakan ketika menjadi calon imam adalah saat keterbatasan diri memaksanya untuk menolak atau tidak menerima permintaaan bantuan dari orang lain.

Hobi Mendukung Tugas Perutusan

Menjadi calon imam selain harus fokus menempuh pendidikan dan menjalani kehidupan rohani, tetapi juga harus dapat mengimbanginya dengan hobi dan rutinitas lainnya.

"Seimbang dalam segala aspek hidup, seperti belajar, berdoa, olahraga, bersosialisasi, rekreasi, dan lain-lain," ungkap Fr. Amadea ketika memberikan tips bagi calon imam lainnya agar tetap bersemangat di dalam menjalani pendidikan.

Fr. Amadea memiliki hobi membaca buku, menulis, dan menonton film untuk mengisi kesehariannya menjadi calon imam.

Fr. Amadea sedang mengisi waktu luang dengan membaca buku (Sumber: Instagram @amadeasj)
Fr. Amadea sedang mengisi waktu luang dengan membaca buku (Sumber: Instagram @amadeasj)

Ia suka membaca buku dengan genre humaniora.

"Selain buku kuliah (teologi), aku lagi baca novel Bilangan Fu," ujar Fr. Amadea saat ditanya mengenai buku yang sedang disukai belakangan ini.

Menulis juga menjadi salah satu hobi Fr. Amadea untuk mengisi waktu senggang. Biasanya ia menulis dengan beragam topik, seperti filsafat, teologi, dialog antaragama, spiritualitas, dan lain-lain.

Hasil tulisannya juga terkadang diunggah ke media online, majalah, dan terkadang hanya disimpan sendiri. Beberapa hasil tulisannya dapat diakses melalui https://islami.co/author/amadea/.

 Salah satu hasil tulisan Fr. Amadea yang diunggah di internet (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
 Salah satu hasil tulisan Fr. Amadea yang diunggah di internet (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Selanjutnya, Fr. Amadea juga gemar menonton film. Film yang biasanya ia tonton adalah genre history terutama biography.

Belakangan ini, ia sedang menyukai film berjudul "Father Stu".

Poster Film Father Stu (Sumber: imdb.com)
Poster Film Father Stu (Sumber: imdb.com)

Film ini menceritakan mengenai seorang pastor bernama Stuart Long atau Stu yang terpanggil menjadi imam saat dirinya mengalami kecelakaan sepeda motor.

Dari film ini, Fr. Amadea mendapatkan sebuah pelajaran yang dapat dipetik.

"Kalau pelajarannya, siapapun kita bisa menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk karya keselamatan-Nya," ucap Fr. Amadea.

Bagi Fr. Amadea, hobi tentunya dapat mendukung tugas perutusan bagi dirinya dan calon imam lainnya.

"Syukur kalo hobi sesuai dengan tugas, tetapi kalo berbeda, hobi jadi sarana refreshing dan rekreasi," ujar Fr. Amadea ketika ditanyai mengenai pentingnya hobi.

Menanggapi Keterbatasan Calon Imam

Fr. Amadea ketika menjadi Fasilitator Latihan Rohani (Sumber: Instagram @latihanrohanipemuda)
Fr. Amadea ketika menjadi Fasilitator Latihan Rohani (Sumber: Instagram @latihanrohanipemuda)

Menarik perhatian Orang Muda Katolik untuk mau menjadi imam tidaklah mudah. Seiring berjalannya waktu, anak muda semakin dikit yang tertarik untuk menjadi imam.

"Kadang kala tidak berminat itu karena tidak kenal. Maka, penting untuk memperkenalkan panggilan imamat dan hidup membiara kepada anak muda, bahkan sejak anak-anak," ujar Fr. Amadea menanggapi hal ini.

Menjadi imam bukanlah suatu pilihan yang menarik bagi Orang Muda Katolik. Butuh cara dan pendekatan yang menarik agar dapat menyentuh mereka menjadi bagian dari Gereja Katolik.

Sebagai calon imam, Fr. Amadea memberikan harapan kepada Orang Muda Katolik ke depan.

"Syukur bila semakin banyak orang muda yang tertarik menjadi imam. Namun, yang lebih penting daripada jumlah (kuantitas) adalah kualitas. Lebih baik imam tidak terlalu banyak, tetapi berkualitas ketimbang ada banyak imam, tetapi tidak mumpuni," tutup Fr. Amadea. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun