"Baik! siapkan pertemuan kita dengan pihak Jepang, kita akan bergabung dengan organisasi nya!",ucapku tanpa aba-aba.
Pada akhirnya, aku bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi milik Jepang yang berisi tentara pribumi untuk berperang di Bogor. Aku merasa bahwa karirku berkembang pesat saat ini. Lulus dari pendidikan PETA, aku diangkat menjadi anggota kompi di Banyumas sebelum ditunjuk menjadi komandan Batalyon.
Hingga pada suatu hari, atasanku memanggil ke ruangannya.
"Hormat! Ada apa gerangan memanggil saya pak?", ucapku.
"Kamu tahu apa kesalahan mu?!, ucapnya sedikit membentak.
"Maaf, maksud anda apa?", aku bertanya.
"Jangan bodoh!, kamu tahu kan setiap orang yang dipanggil ke ruangan ini artinya dia sudah melakukan kesalahan! kamu ingat sudah berapa kali saya menegurmu?!!"
Aku mengernyitkan dahi. Perlahan mengontrol emosi sambil mengepalkan tangan agar tidak meluap. Mengingat-ingat kembali beberapa hari yang lalu aku mendapat banyak teguran dari sang atasan.
"Saya sudah memperingatkan kamu berapa kali? berpihak kepada siapa kamu ini Gatot?!! Hah?!! Jawab saya!!! kamu adalah tentara kami, mereka? pribumi miskin! tak berdaya! untuk apa kamu korbankan banyak cara untuk mereka? bahkan kamu menyisihkan gajimu untuk mereka juga kan?!!", suaranya kian meninggi dengan nada merendahkan. Dalam hatiku berkata bahwa aku harus melakukan ini.
"Srekk", aku membuka pangkat perang yang menempel diseragamku dengan kasar lalu melemparnya ke hadapan atasanku. Berniat untuk keluar dan mengundurkan diri dari ruangan.Â
Ternyata emosi ku tidak bisa dikontrol semudah itu. Atasan menahan kepergian ku dan tindakanku tadi diluluskan oleh pihak Jepang karena keberanian yang ku punya. Aku menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap rakyat pribumi dan anak buahku.