Mohon tunggu...
Resta
Resta Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Perempuan yang suka membaca dan menulis. Mewujudkan mimpi lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

The Secret Diary

30 Juni 2024   11:33 Diperbarui: 30 Juni 2024   11:54 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 6.

POV Hana. 

"Alhamdulillah, Sayang, akhirnya kamu sadar juga." Suara Mamah mertua. 

"Aish, kepalaku," gumamku sembari memegangi kepala yang terasa pusing. 

"Apa yang terjadi denganku? Dan gimana Mas Agha?" 

"Kamu hamil, Sayang," jawab Mamah mertua dengan binar mata bahagianya. 

"Ha-ha-hami? Aku hamil?" Ulangku yang belum percaya. 

"Ia Nduk, kamu hamil, udah tiga minggu," jelas Mamak. 

Haruskah aku bahagia, atau sebaliknya? Aku tidak tau, dua rasa itu bercampur aduk di dalam hatiku.

Di lain sisi aku merasa sedih, karena Mas Agha yang belum mencintaiku. Tapi disisi lainnya lagi, aku bahagia, mengetahui kehamilan ini. Air mataku luruh begitu saja tanpa permisi. 

, . 

"Kamu harus jaga kesehatan, jangan terima orderan dulu. Tri semester pertama itu masih rentan." Mamah mertua menasehatiku. 

"Iya Mah, gimana keadaan Mas Agha?"

"Masih di ruang operasi," jawab Mamah mertua. 

"Ohh. Apa aku perlu dirawat inap?" tanyaku pada dua wanita yang ada di ruangan ini, setelah melihat ada slang infus yang terpasang di tangan kiriku. 

"Iya Nduk," jawab Mamak. Aku sedikit kecewa dengan jawaban itu. Jika aku perlu rawat inap,maka aku tidak bisa menjaga suamiku. 

"Jangan khawatir tentang Agha, Han, ada mamah yang akan menjaganya," ucap Mamah mertua menenangkanku. 

"Hufftt." Aku hanya bisa menghela nafas. 

Keadaan ruangan ini menjadi hening. Mamak dan Mamah mertua sama-sama sibuk dengan ponselnya. 

Mas Adi? Ntah kemana orang itu. 

*****

"Mas, tidakkah kamu ingin mendengar kabar bahagia? Aku hamil Mas." Aku terus bercerita saat-saat kebersamaan kita. Walaupun tidak ada momen yang berkesan. 

"Mas, kamu sadar Mas? Alhamdulillah ya Allah." Aku begitu senang melihat kelopak mata Mas Agha yang mulai bergerak. Kutekan tombol darurat, agar dokter ataupun perawat segera datang ke ruangan. 

"Aishhh, kepalaku," gumam Mas Agha. 

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Mas," ujarku bahagia. Setelah 4 hari Mas Agha tidak sadarkan diri, hari ini ia sadar juga. Tanpa terasa, air mataku meleleh. 

"Dimana ini? Mengapa aku ada di sini?"

"Ini di rumah sakit Mas, kamu mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu." Aku menjelaskan dengan hati-hati. 

"Siapa kamu? Kenapa ada di kamar rawatku?"

Deg. 

Ada apa dengan Mas Agha? Mengapa dia tak mengenaliku?. 

"Aku istrimu, Mas, Hana," jawabku. 

"Wah, Mas Agha sudah sadar ya?" Seorang dokter pria yang sebagian rambutnya sudah memutih, masuk ke dalam ruangan bersama satu orang perawat. 

"Iya Dok, Alhamdulillah."

"Kita periksa dulu ya, Mas," ujar sang dokter. 

Aku bangkit dari kursi. Berjalan menuju sofa. Membiarkan Dokter memeriksa Mas Agha. 

****

"Mas Agha mengalami amnesia. Kondisi dimana seseorang kehilangan sebagian atau seluruh ingatan informasi, akibat penyakit atau cedera pada otak. Dan Mas Agha hanya kehilangan sebagain memorinya, akibat cedera pada otaknya." Penjelasan Dokter Farhan terus terngiang di kepala ini. 

"Apa aku menyakitimu?" Pernyataan Mas Agha, menyadarkanku dari lamunan. 

"Ah apa? Maaf" Aku gelagapan. Mengelap air mata yang terus jatuh. 

"Apa aku menyakitimu?" 

"Tidak, Mas tidak menyakitiku," jawabku seraya berusaha tersenyum di hadapannya, walaupun sangat susah. 

"Lalu kenapa kamu menangis?"

"Nggak papa, Mas," ucapku yang jelas-jelas berbohong. 

"Apa kamu benar-benar istriku?"

"Kamu tidak percaya?"

"Bukan aku tidak percaya, hanya perlu bukti agar aku lebih yakin."

Aku mengeluarkan ponsel. Menekan tombol on off. Setelah benda pipih itu menyala, aku membuka galeri, mencari video pernikahan sederhana kami. 

"Ini." Aku menyerahkan ponselku. Membiarkannya menonton video saat ijab qobul. 

"Jadi benar kau istriku?" Mengembalikan ponselku setelah selesai menonton. 

"Iya."

"Terima kasih, sudah mau menjadi istriku. Ayo kita sama-sama sampai akhir," ujarnya tanpa aba-aba. 

Deg. Jantungku berdebar kuat. Tak menyangka Mas Agha akan berterima kasih padaku. Ini pertama kalinya dia mengucapkan terma kasih, selama pernikahan kami. 

"Iya Mas, sama-sama."

"Apa kamu tidak mengantuk?" tanya Mas Agha setelah menguap sekian kalinya. 

"Mas mengantuk? Tidurlah, ini masih jam 3 pagi," titahku karena ini masih jam 3 pagi. 

Mas Agha mengangguk, lalu memejamkan mata dan ia kembali tidur. Membuatku kembali ke dalam keheningan. 

"Sebaiknya aku solat saja." Aku berguman. Bangkit dari kursi, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. 

**

. , . . 

, . *-* , ... . . 

Selesai berdo'a, aku membaca kitab suciku sembari menunggu waktu subuh tiba. 

*****

Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk lewat ventilasi, menerpa wajahku. Menghadirkan hawa hangat. Mengusik tidurku. 

"Ya Allah, udah jam setengah tujuh." Aku bergumam ketika melihat jam pada layar ponsel. Ternyaka aku kesiangan. Bahkan makanan untuk pasien pun telah di antar. Terbukti dari sebuah nampan yang terletak diatas nakas, dengan berbagai isian lengkapnya. 

"Pagi, sayang," sapa Mas Agha. Tubuhku langsung membeku, mendengar panggilan dari Mas Agha. Apa aku tidak salah dengar, dia memanggilku sayang?

"Kenapa, ko kaget gitu? Apa bukan itu panggilan dariku?"

"Ah eh, ggak papa-papa Mas, iya itu panggilan Mas untukku." Aku jadi salah tingkah dibuatnya. 

"Hemm."

"Ehem." Aku berdeham, menghilangkan canggung. 

"Mau makan?"

"Tolong lap tubuh Mas, sudah risih," pintanya memohon. 

Apa, aku harus mengelap tubuhnya? Kemarin memang aku yang selalu membersihkan tubuhnya. Karena Mas Agha belum sadar, maka dari itu aku berani. Untuk saat ini sepertinya aku tidak akan sanggup, karena dia sudah sadar. 

"Kamu keberatan?" ujarnya. 

"Bukan begitu, hanya saja ...." Belum sempat aku merampungkan ucapanku, Mas Agha sudah memotong. 

"Bukankah kita sudah menikah?"

, ?. 

"Baiklah." Akhirnya aku terpaksa mengiyakan permintaannya. 

*****

"Assalamu'alaikum." Salamku ketika membuka kunci pintu rumah Mas Agha. Hari ini Mas Agha memang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Katena kondisinya yang menunjuka perubahan lebih cepat. 

"Wa'alaikumus salam." Mas Agha menjawab salamku. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karenanya hatiku berdebar kuat, seolah ada kuda yang berlari di hatiku. 

Kutuntun Mas Agha masuk kedalam rumahnya. Kududukkan dia di ruang tamu. Karena aku masih harus mengambil barang yang ada di taxi. 

"Terima kasih, Pak." Aku berterima kasih pada sopir taxi yang berbaik hati membantu membawakan barang-barangku dan Mas Agha ke depan pintu. 

"Sama-sama, Mba," jawab Pak Supir taxi ramah. 

"Ini Pak." Aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada sopir taxi. 

"Ini kebanyakan, Mba," tolak sopir taxi. 

"Enggak Pak. Itu rejeki dari Allah, untuk beli seragam anak Bapak." Tadi sekilas aku tidak sengaja mendengar percakapan sopir taxi dengan istrinya yang mengatakan anak mereka meminta untuk segera dibelikan seragam SD, sebab hanya dia seorang yang belum mempunyai seragam. 

"Ya Allah, Mba, terima kasih." Bapak sopir taxi itu menangis terharu di hadapanku. 

"Semoga sehat selalu, tambah akeh rejekine, rukun karo bojo." Bapak itu mendo'akan kebaikan untukku. 

"Amiin, Pak."

"Kulo pamit nggih Mba, assalamu'alaikum."

"Nggih Pak, monggo, wa'alaikumus salam." 

Seusai Bapak itu pergi, aku pun masuk ke dalam. 

Aku tertegun. Menatap sebuah foto yang tertempel di dinding ruang tamu, dengan ukuran besar. 

Cerita ini tersedia di aplikasi KBM. Yu cus aplikasi!! Atau klik link:

https://read.kbm.id/book/detail/701b00b8-e533-4cf0-81f9-c026aa8374ae

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun