*****
"Assalamu'alaikum." Salamku ketika membuka kunci pintu rumah Mas Agha. Hari ini Mas Agha memang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Katena kondisinya yang menunjuka perubahan lebih cepat.Â
"Wa'alaikumus salam." Mas Agha menjawab salamku. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karenanya hatiku berdebar kuat, seolah ada kuda yang berlari di hatiku.Â
Kutuntun Mas Agha masuk kedalam rumahnya. Kududukkan dia di ruang tamu. Karena aku masih harus mengambil barang yang ada di taxi.Â
"Terima kasih, Pak." Aku berterima kasih pada sopir taxi yang berbaik hati membantu membawakan barang-barangku dan Mas Agha ke depan pintu.Â
"Sama-sama, Mba," jawab Pak Supir taxi ramah.Â
"Ini Pak." Aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada sopir taxi.Â
"Ini kebanyakan, Mba," tolak sopir taxi.Â
"Enggak Pak. Itu rejeki dari Allah, untuk beli seragam anak Bapak." Tadi sekilas aku tidak sengaja mendengar percakapan sopir taxi dengan istrinya yang mengatakan anak mereka meminta untuk segera dibelikan seragam SD, sebab hanya dia seorang yang belum mempunyai seragam.Â
"Ya Allah, Mba, terima kasih." Bapak sopir taxi itu menangis terharu di hadapanku.Â
"Semoga sehat selalu, tambah akeh rejekine, rukun karo bojo." Bapak itu mendo'akan kebaikan untukku.Â