Setelah Agha selesai sarapan, barulah aku keluar kamar lagi. Memeriksa apakah dia jadi sarapan atau tidak. Dan nyata, dia selalu menghabiskan sarapan. Egonya terlalu tinggi untuk memuji hasil masakanku yang memang enak. Ya walaupun, aku hanya bisa memasak makanan kampung.Â
****
Kubuka gorden yang menutup jendela. Mataku menatap indahnya matahari pagi yang belum menyilaukan mata.Â
Puas memandangi matahari, aku beralih menatap pada hamparan sawah yang mulai menghijau oleh tanaman padi. Rumah sakit memang berada di kota, tetapi alam masih asri. Di lantai dua atau tiga dari rumah sakit ini bisa melihat hamparan sawah yang mulai menguning, sepertinya akan dipanen karena terlihat para petani bersiap akan memanen sawahnya.
Suara pintu kamar diketuk. Aku segera berjalan menuju pintu.Â
"Pagi, Mba," sapa seorang petugas kebersihan rumah sakit, begitu pintu terbuka.Â
"Pagi."
"Ijin membersihkan ruangan ya, Mba."
"Iya silahkan, Mas."
Sembari menunggu ruangan di bersihkan, aku duduk di kursi yang ada di depan kamar. Kemudia memeriksa ponselku, siapa tau ada yang penting.Â
Benar saja, sesaat setelah aku mengaktifkan data seluler, ada beberapa pesan masuk yang salah satunya dari Mamak.Â