Bab 3.
!! Cerita ini tersedia di aplikasi KBM. Sudah tamat dan cuma 44 bab. Cari dengan jWaktu begitu cepat berlalu. Satu bulan sudah pernikahanku dan Agha berjalan. Tak ada kemajuan dan perubahan dari pernikahan ini. Pernikahan ini hanya jalan di tempat.Â
Agha selalu pulang larut malam dan dalam keadaan ma*uk parah. Terkadang aku ingin menyerah, lelah rasanya usahaku tak pernah dihargai olehnya. Tapi, sialnya hatiku telah menghianatiku. Hatiku menginginkannya.Â
Bunyi bel yang dipencet, menyadarkanku dari lamunan. Aku bergegas bangkit, meninggalkan buku yang sedang aku baca sebelum melamun.Â
"Assalamu'alaikum, Sayang." Sapa Tante Qila yang langsung memelukku.Â
"Wa'alaikumus salam, Tan," jawabku.
"Eh, ko masih panggil Tante sih? Panggil Mamah dong, kan kamu udah jadi anaknya Mamah!" Tante Qila memprotes panggilanku untuknya.Â
"Ia Tan, eh Mah."
"Nah gitu dong. Gimana kabar kalian? Apa Agha memperlakukanmu dengan baik?"Â
"Alhamdulillah kabar kami baik, Mah. Mas Agha juga selalu memperlakukanku dengan baik ko." Terpaksa aku berbohong. Aku tidak mau mamah mertuaku ini kepikiran dengan pernikahan kami yang jalan di tempat.Â
"Alhamdulillah kalo gitu, terus dimana Agha?"
"Ada di dalam, ayo masuk dulu." Kuajak Mamah mertua masuk.Â
"Sebentar ya Mah, Hana panggilkan Mas Agha dulu," jcapku setelah Mamah mertua duduk nyaman di sofa ruang tamu.Â
*****
"Mas, Mas Agha." Aku mengguncang pelan bahunya. Berharap dia akan segera bangun.Â
"Hem." Mas Agha hanya menggeliat.Â
"Mas bangun! Ada Mamah di ruang tamu." Aku menyingkap selimutnya.Â
"Apa, ada Mamah?" tanya Mas Agha setelah membuka mata. Aku mengangguk.Â
"Kenapa nggak ngomong dari tadi sih!" Dia malah menyalahkanku.Â
"Jangan ceritakan masalah kita." Agha bangkit, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.Â
"Aku bukan anak kecil yang suka mengadu," jawabku sembari berlalu pergi.Â
***
"Maaf ya Na, Mamah baru bisa berkunjung hari ini."
"Iya Mah, nggak papa." Aku duduk di dekat Mamah Qila setelah menyajikan kudapan untuknya.Â
"Apa sudah ada kabar bahagia?"Â
'Kabar bahagia?' Bagaimana mungkin aku bisa memberi kabar bahagia, sedangkan Agha selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dia tak pernah mau untuk sekedar bertegur sapa denganku, selalu aku yang memulainya.Â
"Nggak papa jika belum. Nikmati waktu kalian berdua, nanti kalo udah punya anak, bakal susah cari waktu buat berduaan." Mamah Qila menghiburku.Â
"Apa kabar Mah? Ko nggak ngabarin dulu kalo mau kesini sih?"Â
"Apa Mamah perlu ijin untuk melihat keadaan anak-anak mamah?"
"Bukan gitu Mah, kan kalo Mamah ngabarin aku atau Hana dulu, kita bisa menyiapkan yang lebih dari ini."Â
Setelah bercipika cipiki dengan mamahnya, Agha duduk di sebelahku. Tangan kirinya merangkul tubuh ini. Menunjukan kemesraannya. Hal itu justru membuatku merinding.Â
"Mamah tidak mau membuat Hana repot," jawab Mamah Qila yang membuat Agha terdiam.Â
"Gimana usahamu Sayang? Lancar?" Mamah Qila memang tau jika aku seorang MUA.Â
"Alhamdulillah Mah. Namanya juga usaha musiman, kalo lagi musim nikah ramenya. Kalo bukan musim nikah ya paling pas musim anak-anak sekolah pada perpisahan."Â
"Iya, kamu nggak pengin buka salon kaya mamakmu?"
"Sekarang belum kepikiran, mungkin nanti."
"Kalo kamu Ga? Gimana pekerjaanmu?" Mamah Qila mengalihkan pertanyaan pada Agha.Â
"Baik." Agha menjawabnya singkat. Apakah memang dia selalu irit bicara seperti ini? Atau karena ada aku?.Â
"Syukurlah kalau begitu." Mamah Qila mengambil gelas berisi teh yang masih mengeluarkan asap, lalu menyeruputnya perlahan.Â
"Pergilah honeymoon. Mamah sudah menyiapkan semuanya." Mamah mengeluarkan dua buah tiket pesawat yang jadwal keberangkatannya nanti sore.Â
'Honeymoon?' haruskah? Aku rasa ini bukan waktu yang tepat.Â
"Nanti saja Mah, lagi pula aku belum mengurus ijin dari kantor." Mas Agha seperti keberatan dengan keinginan mamahnya.Â
"Mamah ini sudah tua Gha, sudah pengin nimang cucu. Siapa lagi kalo bukan kalian yang ngasih mamah cucu?" Mas Agha memang anak tunggal.Â
"Apa kamu tega, kalo seandainya ini hari terakhir Mamah hidup, dan kamu tidak mau mengabulkan permintaan terakhir Mamah, Gha?" Mamah Qila menangis sesenggukan. Entah hanya ekting agar aku dan Mas Agha menuruti permintaannya atau memang beliau sudah benar-benar menginginkan cucu, aku tidak tau.Â
Aku segera memeluk Mamah, berharap agar beliau tenang kembali.Â
"Hufftt, baiklah Agha mau!" ujar Mas Agha pada akhirnya.Â
"Beneran Gha?"
"Iya."
Mamah Qila mengusap air matanya, beliau kembali ceria.Â
"Siap-siaplah!"
****
Aku menatap burung besi berwarna putih dengan sebuah logo perusahaan penerbangan di badannya, yang sudah siap landas dengan perasaan campur aduk. Ini pertama kalinya aku menaiki burung besi.Â
Suara pramugari yang menjelaskan tentang peraturan manaiki burung besi ini, bahkan tak masuk kedalam pendengaranku. Saking takutnya diri ini.Â
"Marilah kita berdo'a bersama sesuai kepercayaan masing-masing." Suara pramugari menyadarkanku dari ketakutan ini. Aku pun segera berdo'a.Â
**
"Masya Allah." Aku takjub dengan keindahan pemandangan yang tersaji. Gumpalan-gumpalan awan putih yang saling membentuk siluet, begitu padu dengan birunya langit.Â
"Ternyata tidur," gumanku ketika melihat Agha yang tertidur di kursi sampingku.Â
"Semoga Allah segera memberimu hidayah." Do'a yang selalu aku panjatkan untuknya.Â
****
Setibanya di penginapan, aku langsung mandi. Berharap rasa pusing ini segera menghilang. Aku mengalami jet lag.Â
Selesai mandi, tidak menemukan keberadaan Agha, entah kemana dia. Agha hobi sekali pergi tanpa pamitan.Â
Seseorang membuka pintu kamar. Aku yang belum berpakaian sempurna, panik. Mengambil apa saja untuk menutupi tubuhku.Â
"Kau sudah selesai?" tanya Mas Agha yang berjalan masuk dengan sempoyongan.Â
"Bisa tidak, ketok pintu dulu sebelum masuk?" Kesalku padanya.Â
"Siapa kau, berani mengaturku? Lagi pula apa salahnya, kita sudah halal, dan kau tidak lupa dengan keinginan Mamah bukan?" tanyanya sembari terus berjalan mendekat kerahku.Â
"Kau ma*uk lagi, Mas?"
"Demi Mamah, aku akan melakukan apapun."
Agha menyeret tubuhku, membantingnya di atas kasur.Â
"Tuhan, tolong aku." Air mataku mulai menetes, saat lelaki yang sudah sah menjadi suamiku mengambil haknya, dengan sangat kasar. Sebagai wanita, jelas tenagaku kalah darinya.Â
S4 kit rasanya diperlakukan seperti ini, tak ada cinta sedikit pun untukku. Sampai kapan dia akan bersikap seperti ini? Berbuat semaunya. Statusku memang istrinya, tetapi ingin merasakan manisnya cinta. Apalagi di hari pertama, ia menyentuhku. Rupanya itu hanya angan-anaganku saja.
Setelah puas, ia langsung tertidur di sampingku. Apakah ia menganggap istrinya ini sebagai binatang? Semaunya saja berbuat sesukanya. Aku turun dari r4nj4ng, berjalan pelan menuju kamar mandi karena terasa perih di bagian itu ketika berjalan. Aku membersihkan diri setelah selesai langsung memakai baju ganti dan mengambil mukena.
"Ya Allah, aku tidak tau kebahagiaan apa yang sedang Engkau persiapkan untukku, sehingga kini, Engkau memberiku ujian seberat ini. Allah, sungguh aku tidak menyalahkan-Mu atas takdirku ini. Hanya saja, ini begitu menyakitkan," gumamku.
Aku mengadu pada Tuhan, setelah apa yang terjadi. Puas mengadu, aku membaca Al quran yang selalu kubawa kemanapun aku pergi untuk membuat tenang hati ini.
Terdengar suara azan, hari sudah berganti. Setelah kejadian itu, diriku tak bisa tidur.
"Sudah subuh?" Kututup Alquran. Kembali berdiri menghadap sang Maha Kuasa.Â
"Mas, bangun Mas, sudah subuh." Aku tak akan membiarkan Agha melewatkan subuhnya.Â
"Mas, bangun sudah subuh!" Kali ini goncangan pada bahunya sedikit ku keraskan.Â
"Hiss, apa sih? Masih ngantuk! Ganggu tidur orang aja!" Sentaknya.Â
"Astaghfirullah hal 'azim. Ya sudah jika mau tidur lagi." Aku meninggalkannya sendirian di kamar. Biar saja, yang penting aku sudah berusaha untuk membangunkannya.Â
Kuhirup dalam-dalam udara pagi yang begitu menyejukan paru-paru ini. Setelah itu, aku mulai meregangkan otot-otot tubuhku.Â
"Hai, sendirian aja?" Seorang pemuda yang entah dari mana datangnya menyapaku.Â
Aku memilih untuk diam saja. Aku tidak kenal dengannya.Â
"Aku tetangga kamarmu." Aku masih bungkam tak mau menjawabnya.
"Mau liat matahari terbit? Ayo bareng, " ajaknya.
"Hana." Aku menoleh, melihat siapa yang memanggilku. Ternyata Mas Agha. Dia masih sangat berantakan, rambut acak-acakan, dan hanya memakai kolor saja. Membuatku langsung istighfar.Â
"Ya Mas," jawabku.
Ia menatap dengan wajah tak suka, cemburu karena aku berbicara dengan lelaki? Aku tertawa di dalam hati, mana mungkin dia cemburu. Aku ini dianggap istri di atas kertas tidak lebih. Menunaikan kewajiban di atas r4n jang pun, aku diperlakukan selayaknya binatang yang harus patuh kepadanya.
"Sini!" Dia memanggil dan aku langsung mendekatinya. Ia langsung menarik lenganku dan masuk ke dalam kamar.
"Mas, s4 kit," rintihku.
"Jangan keganjenan ya, ingat kamu itu statusnya sudah bersuami. Jadi jaga sikapmu!" teriaknya sambil menunjuk ke arah wajahku.
"Apa-apaan si Mas, menuduh aku. Aku tak tahu siapa laki-laki itu, dia hanya menyapa ketika aku keluar. Kenapa? Cemburu setelah mengambil kesucianku?" tanyaku menantang. Aku muak dengan sikap semaunya.
"Diam kamu!" tangannya bergerak keras dan mengenai pipiku.
"Kamu itu istriku, jadi apapun yang ada didirimu ada hak untukku."
Mas Agha menyeret kulagi ke atas r4 njang, lagi-lagi ia melakukannya tanpa rasa cinta. Hanya tangisan saat ini yang bisa kulakukan.
Bersambung....Â
(Cerita lengkapnya ada di aplikasi KBM. Silahkan cari dengan judul yang sama)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H