"Alhamdulillah Mah. Namanya juga usaha musiman, kalo lagi musim nikah ramenya. Kalo bukan musim nikah ya paling pas musim anak-anak sekolah pada perpisahan."Â
"Iya, kamu nggak pengin buka salon kaya mamakmu?"
"Sekarang belum kepikiran, mungkin nanti."
"Kalo kamu Ga? Gimana pekerjaanmu?" Mamah Qila mengalihkan pertanyaan pada Agha.Â
"Baik." Agha menjawabnya singkat. Apakah memang dia selalu irit bicara seperti ini? Atau karena ada aku?.Â
"Syukurlah kalau begitu." Mamah Qila mengambil gelas berisi teh yang masih mengeluarkan asap, lalu menyeruputnya perlahan.Â
"Pergilah honeymoon. Mamah sudah menyiapkan semuanya." Mamah mengeluarkan dua buah tiket pesawat yang jadwal keberangkatannya nanti sore.Â
'Honeymoon?' haruskah? Aku rasa ini bukan waktu yang tepat.Â
"Nanti saja Mah, lagi pula aku belum mengurus ijin dari kantor." Mas Agha seperti keberatan dengan keinginan mamahnya.Â
"Mamah ini sudah tua Gha, sudah pengin nimang cucu. Siapa lagi kalo bukan kalian yang ngasih mamah cucu?" Mas Agha memang anak tunggal.Â
"Apa kamu tega, kalo seandainya ini hari terakhir Mamah hidup, dan kamu tidak mau mengabulkan permintaan terakhir Mamah, Gha?" Mamah Qila menangis sesenggukan. Entah hanya ekting agar aku dan Mas Agha menuruti permintaannya atau memang beliau sudah benar-benar menginginkan cucu, aku tidak tau.Â