Mataku mulai berair, tak kuat menahan kantuk.Â
"Pantas saja, sudah jam 12 ternaya," ujarku saat melihat benda berbentuk bundar yang berada di dinding. Kututup kitab suciku dan menyimpannya kembali.Â
"Kenapa jam segini Mas Agha belum pulang? Kemana dia? Apa iya, lembur bisa sampai jam segini?" Pikiranku mulai menebak-nebak kemana perginya suamiku yang tak kunjung pulang itu.Â
Samar-samar aku mendengar suara mobil yang semakin mendekat.Â
"Pasti itu Mas Agha!" Aku bergegas bangkit, melipat mukena, menyambar jilbab yang tergantung di balik pintu, kemudian berlari kecil menuju pintu depan.Â
Ceklek.Â
Brug.Â
Begitu pintu terbuka, tubuh Mas Agha langsung ambruk ketubuhku. Untung saja aku kuat menahan tubuhnya, sehingga kami tidak jatuh ke lantai.Â
"Hahaha, aku akan menyiksanya, membuatnya tidak betah, lalu memintai cerai," rcau Mas Agha. Bau khas alkohol langsung menusuk masuk kedalam hidungku, begitu Mas Agha membuka mulut.Â
"Astaghfirullah, ya Allah, kamu ma*uk Mas?" Aku tak menyangka Mas Agha seorang pema*uk. Karena setauku Tante Qila yang merupakan teman baik Mamak, adalah seorang wanita baik-baik.Â
Kupapah tubuh besar nan kekar itu kedalam kamarnya. Selama perjalanan dari ruang tamu menuju kamar, Mas Agha terus meracau tidak jelas.Â