"Iya, In Sya Allah. Terima kasih Mba, wa'alaikumus salam." Kututup sambung telfon itu. Kembali berbaring diatas kasur lantai.Â
Aku berprofesi sebagai MUA panggilan, meneruskan perjuangan Mamak yang sudah pensiun. Di kampung, Mamak memiliki salon yang alhamdulillah sudah ada 3 anak cabangnya di kota.Â
Aku tiga bersaudara, kedua kakaku semuanya laki-laki. Keduanya sudah memiliki anak dari pasangan halalnya masing-masing. Mereka meneruskan usaha Bapak. Kaka pertama meneruskan bengkel disel dan las. Kaka kedua meneruskan usaha penggilingan padi.Â
Karena aku anak perempuan sendiri, Mamak menyiapkanku untuk menjadi pewaris salonnya dan meneruskan perjuangannya sebagai MUA. Sedari kecil, Mamak sudah mengajariku memake-up orang. Sehingga, sekarang aku sudah mahir. Walaupun aku sendiri tidak suka sekedar memakai bedak ataupun lipstik.Â
"Hufftt." Kuhela nafas panjang. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan di tempat asing ini?. Haruskah aku bermalas-malasan sepanjang hari?. Semua pekerjaan rumah telah aku selesaikan, dari nyapu hingga ngepel.Â
Ah, aku ingat tentang buku merah maroon itu. Aku pun mengambilnya. Kemudian melanjutkan membaca.Â
, * .
, , . .Â
"Apa ini buku diary Mas Agha? Pantas saja kemaren hanya ada Tante Qila," gumanku. Saat pernikahanku dengannya kemaren, aku tidak melihat keberadaan ayahnya Mas Agha, mungkin ini salah satu sebabnya.Â
Kubuka halaman berikutnya. Di halam itu ada sebuah foto seorang gadis kecil sedang tertawa bahagia menghadap kamera. Gadis kecil itu mengenakan sebuah seragam taman kanak-kanak.Â
. , , . . - . - .Â