Mohon tunggu...
Resta
Resta Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Perempuan yang suka membaca dan menulis. Mewujudkan mimpi lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Secret Diary

25 Juni 2024   10:49 Diperbarui: 25 Juni 2024   11:08 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hana, bantu tante untuk menepati janji tante!" Wanita berkerudung biru itu memohon padaku. 

Haruskah aku menerimanya? Atau menolaknya?. Aku bimbang. Di umurku yang baru saja masuk 20 tahun pada bulan juni lalu, aku belum berfikir untuk menikah. 

"Hufftt." Kuhela nafas panjang. Setelahnya aku menatap semua orang yang berada di ruang tamu satu persatu. 

"Bismillah, aku mau," jawabku setelah menimbang-nimbang. 

Semua orang nampak bahagia begitu tau keputusanku. Raut tegang yang sedari tadi menyelimuti wajah mereka, sirna sudah, tergantikan dengan raut bahagia. 

"Terima kasih, Na," ucap Tante Qila sembari memelukku erat. 

"Sama-sama Tan."

Setelah itu, aku di pakaikan cincin oleh Tante Qila. Katanya sebagai pertanda dan pengikat, bahwa aku sudah di lamar oleh seseorang. 

"Ayo kita bahas tanggal pernikahannya," seru seorang lelaki berperut buncit, yang nampak sangat bersemangat sedari awal aku melihatnya. 

"Ayo," timpal Bapak. 

Para tetua desa langsung berunding menentukan tanggal pernikahanku dengan Agha, anak Tante Qila, yang entah seperti apa rupanya, aku belum pernah melihatnya. 

Mereka memutuskan hari pernikahanku akan di laksanakan 3 minggu lagi. 

****

Aku duduk dengan tangan gemetar. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhku sejak tadi. Jantungku berdebar kuat menanti kata 'sah' yang belum juga terdengar. 

"Sah." Akhirnya kata yang sedari tadi aku tunggu-tunggu terdengar juga. 

"Alhamdulilla." Aku bernafas lega. Tidak bahagia tidak juga sedih, hanya lega. 

"Hana, ayo." Mamak menghampiriku, memintaku untuk menemui lelaki yang kini sudah sah secara agama dan negara sebagai suamiku. 

"Iya, Mak." Aku bangkit. Berjalan perlahan menuju ruang tamu, dimana acara ijab kobul di laksanakan. 

Tak ada resepsi atau semacamnya. Kami hanya menikah sederhana, sesuai permintaan dari Agha. 

Srak. 

Mamak menyingkap kain pembatas anatara ruang tamu dan ruang lainnya. Sontak, semua orang mengalihkan perhatiannya padaku. 

"Masya Allah, cantik banget."

"Manis."

"Cocok sama Agha."

Bebera orang terdengar memuji penampilanku yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih, lengkap dengan jilbab dan make-up yang sederhana. Aku make-up sendiri. 

"Ayo salim sama suaminya." Terdengar suara Pak Penghulu memberi intruksi. Mamak mendorong pelan bahuku, agar aku maju menuju suamiku. 

Hingga detik ini, aku belum berani melihat wajah Agha. 

Agha menyodorkan tangan kanannya. Aku pun menyambutnya dengan tangan gemetar. Ini pertama kalinya aku bersentuhan dengan lelaki selain mahromku. Kucium tangan kekar itu dengan lembut. 

"Cium keningnya," titah Pak Penghulu. Agha pun mencium keningku. 

"Alhamdulillah," ujar semua orang nampak berbahagia. Setelah itu Pak Penghulu mulai membacakan do'a untuk kami. 

"Tampan." Satu kalimat yang keluar dari bibirku saat melihat wajah Agha untuk pertama kalinya. Rahangnya begitu tegas,kumis tipis dan alis tebal. 

****

"Mak, Pak. Kulo ijin boyong Hana teng griyo kulo nggih," ucap Agha ijin pada Mak, dan Bapak untuk membawaku ke rumahnya. 

"Iya Na Agha, silahkan, kami titip Hana. Jaga baik-baik ya, jika kamu sudah tidak cinta lagi pada Hana, tolong kembalikan baik-baik pada kami, sebagaimana ibumu memintanya pada kami!" Tegas Bapak. 

Akh Pak, aku jadi terharu. 

"Nggih Pak, seniko dawuh," jawab Agha, patuh. 

"Hati-hati ya Nduk, jaga diri baik-baik, nurut sama suami," ucap Mamak berpesan padaku. Aku melihat Mamak menitikan air mata, pasti Mamak sedih, akan berpisah dengan anak bontotnya ini. 

Jujur, aku juga sedih. Jika bisa, aku lebih memilih untuk tinggal bersama kedua orang tuaku di desa. Namun apa daya? Aku sudah menjadi seorang istri yang harus nurut pada suami. 

"Ayo Dek." Agha menarik tanganku, agar aku segara naik ke mobil. 

"Assalamu'alaikum Mak, Pak, Hana pamit."

"Iya, wa'alaikumus salam, hati-hati ya!"

Aku berjalan masuk kedalam mobil. Kulihat Mamak dan Bapak berpelukan, saling memberi semangat. 

*****

Setelah menempuh perjalanan 4 jam, kini aku sudah sampai di rumah Agha. Selama perjalanan tadi, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut ini. Kami menikmati perjalanan dengan keheningan. Fokus pada fikiran masing-masing. 

"Itu kamarmu." Agha menunjuk sebuah ruangan yang berada di sebelah dapur. 

"Kamarku?" Aku mengerutkan kening, sedikit tidak paham dengan perkataannya. 

"Iya. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi, hanya untuk penggugur janji anatara Mamah dan almarhum kakekmu."

Benar, pernikahan ini terjadi karena Tante Qila yang memiliki hutang janji pada almarhum kakek. Dulu, kakekku lah yang memberi bantuan modal untuk keluarga Tante Qila membangun bisnisnya. 

"Jadi, jangan pernah berharap aku akan mencintaimu. Disini sudah tertulis nama seseorang yang tidak akan pernah tergantikan" Ucap Agha seraya menunjuk dadanya sendiri. 

Sakit? Tentu tidak, aku belum mencintainya. Walaupun aku berharap cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu pada hatiku dan hati Agha. Dan pernikahan ini akan menjadi pernikahan pertama dan terakhir kalinya dalam hidupku. 

"Terserah apa katamu saja," balasku. 

"Kamu tenang saja, aku akan tetap memberimu nafkah sebagai kewajibanku."

"Ya, aku juga akan melakukan kewajibanku sebagai istri."

"Hemm, ini kamarku, dan itu ruang kerjaku." Agha memberi taukan beberapa ruangan yang terlihat dari tempat kita berdiri. 

Aku hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. 

"Ya sudah" Agha berlalu masuk kedalam kamarnya. 

"Hufftt, Allah mudahkanlah semuanya," gumanku sembari berjalan menuju ruangan yang akan menjadi kamarku. 

Ceklek. 

Hawa pengap dan debu langsung menerpa indara penciumanku, begitu pintu ruangan yang akan menjadi kamarku ini terbuka.

Tubuhku tertegun, menatap tumpukan barang yang berserakan tidak beraturan. Barang-barang itu tertutupi oleh debu tebal. 

"Astaghfirullah hal azim." Aku hanya bisa beristighfar, sadar tempat apa yang akan menjadi kamarku ini. Gudang, iya ruangan ini adalah gudang. 

Kutinggalkan koperku di luar ruangan. Kakiku melangkah masuk kedalam ruang itu. 

"Sepertinya dia memang sengaja." Aku berguman ketika melihat alat kebersihan yang sudah tersedia di samping pintu. 

"Ayo kuat Hana, kamu pasti bisa!" ucapku menyemangati diri sendiri. 

Kuambil satu persatu barang yang berserakan itu, dengan perlahan tapi pasti, aku memilah barang yang sekiranya sudah tidak terpakai. 

Pluk. 

Aku tak sengaja menyenggol tumpukan kardus, hingga salah satu isinya terjatuh. 

"Buku?" Kuambil benda kotak yang terjatuh itu. 

"Aishh, berdebu sekali" Ketepuk-tepuk debu yang menempel pada buku itu. 

"Oh buku deary." Kutatap buku berwarna merah maroon di tanganku. 

"Baca tidak ya?" Aku bimbang, haruskah aku membaca buku ini? Akhirnya aku terpaksa membaca buku itu karna rasa penasaran sudah memcak. Walaupun itu adalah hal lancang. 

. . 

Satu kalimat yang aku baca di halaman pertama. 

, , , . 

Kututup buku itu, menyimpannya di koper. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan sekarang, yaitu membersihkan ruangan ini. 

***

"Hufftt, Alhamdulillah selesai juga." Kuseka peluh yang yang membajiri kening. Dua jam sudah, aku berkutat membersihkan ruangan ini sendirian, dan alhamdulillah kini sudah selesai. 

"Lapar sekali," ucapku bermonolog sembari berjalan pergi meninggalkan ruangan yang sudah bersih itu menuju dapur. 

Sampai di dapur, aku membuka kulkas. Berharap ada makanan yang bisa kumakan. Ternyata zonk. Tak ada apa-apa di dalam kulkas ini. 

"Apa Agha tidak pernah memasak?" Aku bergumanku sembari berjalan menuju kamar Agha. 

Tok

Tok

Tok

Kuketuk pintu kamarnya, namun tak ada sahutan. Sekali lagi aku ketuk pintu kamar di hadapanku, sama saja, tak ada hasilnya. 

Akhirnya aku memutuskan pergi dari depan kamar Agha. Berjalan menuju ruang depan, ingin mengecek mobil Agha ada, atau tidak.

"Hufftt, gini banget nikah tanpa cinta." Aku menghela nafas berat saat melihat garasi yang kosong. Ternyata Agha pergi ntah kemana, membiarkanku sendirian kelaparan di rumah ini. 

"Tega sekali."

Akhirnya malam ini aku tertidur dengan perut kosong. 

*****

Mau baca kisahnya yang langsung tamat? Yu, ke aplikasi KBM!! Cari dengan judul yang sama, atau bisa juga cari denang nama penaku, Res... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun