Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 29, Kobaran Api) - Kesigapan Sang Veteran

16 April 2024   09:00 Diperbarui: 16 April 2024   09:10 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Dipandangnya mata itu cukup lama, mata yang tajam namun dalam, milik seseorang yang sepertinya telah melalui banyak peperangan dalam hidupnya. Abdi tak tahu harus berkata apalagi, di benaknya ada rasa khawatir yang cukup besar tapi entah kenapa begitu melihat pria tua ini ia menjadi sangat tenang, bahkan lebih tenang dibandingkan ketika ia barusan membangunkan Dalem tadi.

            "Masuk!"

            Abdi pun melangkahkan kakinya ke dalam, lampu kamar tampak temaram.

Baca juga: Teman Tuk Selamanya

            "Kita harus melakukan sesuatu segera berarti... Hmm, dimana posisi musuh Di?"

            "Eh, di.. di.. di samping kapal sebelah kanan.. Imam Hassan.            "

            "Hmm, menembak dengan panah api ya?"

            "I.. Iya betul, bagaimana..? Eh maksud saya..."

            Imam Hassan seperti mencari-cari sesuatu di bawah mejanya,

Baca juga: Aku Malu

"Abdi, bantu aku angkat meja ini, ke samping," wajahnya berpaling ke arah tempat yang kosong.

            "Oh, baiklah Imam..."

            Meja diangkat ke samping, membuka rahasia yang ada di bawahnya, sebuah pintu kecil.

            "Apa kau melihat apa yang terjadi dengan kapal kita yang lain?" tanya Imam Hassan.

            "Tidak tahu Imam, hanya saja kapal di belakang seperti semakin menjauh dan ada cahaya berkelap-kelip, mungkin mereka sudah..."

            Suara-suara terdengar baik dari lorong maupun dari bawah.

            "Hmm, sebentar, ada yang perlu saya lakukan, Abdi tarik pintunya ke atas!"

            Abdi mendekati pintu itu, ternyata ada gagangnya agar dapat ditarik ke atas, dengan sekali tarikan yang kuat ia membukanya. Di bawah ada tangga kecil menuju lantai dasar. Dilihatnya Imam Hassan sekarang sedang menghadap sebuah benda yang berbentuk tabung mirip kaleng besar. Ia pun berbicara di corongnya,

            "Semua DIAM! JANGAN PANIK! Saya ulangi, semua DIAM! JANGAN PANIK! Siapapun yang mendengarkan SAMPAIKAN PADA YANG LAIN! Yang barusan bangun tetap TENANG! TETAP TENANG!" Ia menarik nafas lalu sesaat kemudian meneruskan,

"BERKUMPUL DI ATAS SEMUA! JANGAN LEWAT LUAR! SAYA ULANGI, BAGI YANG BERADA DI BAWAH JANGAN NAIK LEWAT LUAR! PADAMKAN API HANYA DARI DALAM!"

            "Hufff..." Imam Hassan berusaha mengatur nafas dan berbalik menghadap Abdi.

            "Semoga mereka dengar, ayo kalau begitu Abdi," Imam Hassan mengambil di dalam lemari senjata cukup besar serta mengantongi beberapa benda bulat yang sepertinya cukup berat, kemudian berjalan ke arah pintu yang sudah terbuka di samping Abdi.

            "Para prajurit dulu di bawah, itu yang penting..."

            Tiba-tiba terasa seperti kapal menabrak sesuatu, tetapi lajunya tak terhenti. Kapal berjalan melambat. Imam Hassan berpegangan pada ujung meja agar tak terjatuh, sementara itu Abdi terduduk di lantai.

            "Hmm.. Berusaha menghentikan kapal di tengah laut dan membiarkannya terbakar, meskipun cukup jauh tapi persis di depan pelabuhan..." ucapnya sejurus kemudian.

            "Ayo Abdi jangan buang-buang waktu, untung kau segera kemari..."

            Beberapa langkah setelah Imam Hassan menuruni tangga sambil memikul senjata, seperti ada suara dari corong yang tadi dipakainya untuk berbicara.

            "Koman..dan... lantai.. a..atas..."

            "Siap.. barusan.. seperti..menabrak..."

            "..NGAN PANIK! TENANG! ingat kata komandan..."

            Beberapa suara seperti keluar sekaligus dari alat itu, Abdi masih menoleh memandanginya.

            "Berarti mereka mendengarkan, ayo Abdi! Atau kau mau menunggu di atas saja?"

            Abdi bergegas menarik tas ke punggung dan turun menuju tangga ke bawah.

            "Pelabuhan harus tahu..." Imam Hassan menuruni tangga sambil berpikir.

            Terdengar suara dari balik pintu sebelah bawah.

            "TUNGGU! JANGAN LEWAT LUAR!" terdengar suara seseorang berteriak.

            "TAPI LEWAT TENGAH CUKUP PADAT!" kata beberapa suara lain.

            "SABAR, INI PERINTAH KOMANDAN!"

            Tangan Imam Hassan sudah memegang gagang pintu, dan begitu ia membukanya terlihat tumpukan prajurit yang panik ingin segera naik ke atas. Kobaran api tampak dari samping, menunjukkan wajah-wajah panik dan berkeringat. Beberapa masih berusaha memadamkan api dari dalam.

            "Lewat sini!" Imam Hassan maju untuk membiarkan beberapa prajurit menaiki tangga ke arah kamarnya, Abdi pun ikut menyingkir ke dinding.

            "TUNGGU DI ATAS! JANGAN KELUAR MENUJU DEK!" dilihatnya ternyata tadi adalah suara wakil kapten kapal.

            "Saya dengar pesannya," tunjuk wakil kapten ke arah corong berbentuk sama yang berada dalam kamarnya di sisi kapal yang tak terbakar.

            "Semoga ruang dokter dan koki juga mendengar."

            "Oh..." Abdi sepertinya sedikit paham apa alat itu.

            Imam Hassan terlihat berpikir, namun cukup tenang.

            "Kita harus beritahu pelabuhan dan kapal yang lain, sepertinya serangan dimulai dari barisan paling belakang, cepat sekali, dan kita yang paling terakhir kena. Tapi kalau ada dari mereka yang selamat kita harus sampaikan pesan untuk segera maju ke pelabuhan..." lima kata terakhir diucapkan dengan lambat oleh Imam Hassan, ia melirik ke gudang penyimpanan di sisi yang belum terbakar kemudian ke arah wakil kapten, sementara itu beberapa prajurit terlihat sibuk mengangkut barang bawaan dan senjata ke atas melalui tangga, tidak sedikit yang mengerling ke arah senjata di bahu Imam Hassan. Imam Hassan sendiri memutar wajahnya ke arah tas Abdi yang berbentuk lonjong.

            "Apa kau membawanya? Itu?" tanyanya ke Abdi.

            "Ah, iya, saya bawa Imam..."

            "apa it..." belum sempat wakil kapten menyelesaikan kalimatnya Imam Hassan sudah kembali memberi perintah.

            "Ambil semua kembang api yang kita punya! Ambil SEKARANG!" ucapnya.

            Wakil kapten langsung mengangguk dan bersama beberapa prajurit di sana menuju ruang penyimpanan.

            "AMBIL SEMUA SENJATA YANG KALIAN MAMPU BAWA! TINGGALKAN JIKA TAK MAMPU! SAYA TUNGGU DI ATAS!" setelah itu ia berbalik dan menaiki tangga, disusul lagi oleh Abdi.

            Di atas, sudah berkumpul hampir seluruh penumpang kapal, terasa sesak. Tapi Imam Hassan segera menyuruh mereka berbaris. Pintu kamarnya pun telah dibuka sehingga nampak lorong yang sesak, penuh orang dan senjata bawaan mereka.

            "YANG MEMBAWA TAMENG ADA DI DEPAN BERSAMA SAYA, KEMUDIAN PANAH DAN TERAKOL, SISANYA DI BARISAN KETIGA!"

            Terjadi gerakan cukup masif di ruang yang temaram sehingga setiap orang dengan berhati-hati berbaris sesuai dengan senjatanya. Tameng di paling depan, pembawa panah dan senjata jarak jauh di tengah, dan sisanya pedang, tombak, kapak, pisau, dan gada.

            "Tidak akan sempat menaikkan meriam komandan. Di bawah juga panas sekali," kata seorang prajurit yang membawa tameng di bagian depan.

            "Tenang, ada ini," Imam Hassan menunjuk benda yang ada di bahunya. Kapal semakin melambat dan sepertinya akan terhenti. Dari bawah muncul wakil kapten dan beberapa orang prajurit yang membawa dua kotak kembang api.

            "Hmm.. Pisahkan yang berwarna hijau untuk terakhir! Ambil empat lagi ini di lemari," ujarnya kepada wakil kapten sambil menunjuk senjata di bahunya.

            "Saatnya mencoba seluruh Bayu Geni," ia melirik ke arah Abdi dan Wakil Kapten. Keduanya mengangguk, Abdi melakukannya sambil menelan ludah.

            Imam Hassan berpikir sebentar sebelum memberikan kode untuk diam dengan menempelkan ujung telunjuk ke bibirnya, meneriakkan perintah untuk bersiap berperang.

            "JANGAN DIJAWAB, LAKUKAN SAJA!"

            "BISMILLAH! MUSUH BELUM TAHU KITA SEDANG BERSIAP! SETELAH INI KITA KELUAR!"

            "BARISAN TAMENG AKAN LEWAT DEPAN BERSAMA BARISAN PANAH DAN TERAKOL, SISANYA LEWAT SAMPING DAN BURITAN!"

            "MUSUH ADA DI DEPAN KITA PERSIS DAN BERJALAN KE ARAH KIRI KAPAL," semua mata memandang jendela depan, gelap, bahkan titik cahaya mercusuar yang biasanya kelihatan dari jauh pun tak nampak.

            "Gelap..." ucap salah seorang prajurit pembawa tameng.

            "YA CUKUP BESAR MEMANG, TAPI SEBENTAR LAGI AKAN KITA BUAT KAPAL YANG DICAT HITAM ITU JUGA TERBAKAR DIMAKAN API!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun