"Kita harus beritahu pelabuhan dan kapal yang lain, sepertinya serangan dimulai dari barisan paling belakang, cepat sekali, dan kita yang paling terakhir kena. Tapi kalau ada dari mereka yang selamat kita harus sampaikan pesan untuk segera maju ke pelabuhan..." lima kata terakhir diucapkan dengan lambat oleh Imam Hassan, ia melirik ke gudang penyimpanan di sisi yang belum terbakar kemudian ke arah wakil kapten, sementara itu beberapa prajurit terlihat sibuk mengangkut barang bawaan dan senjata ke atas melalui tangga, tidak sedikit yang mengerling ke arah senjata di bahu Imam Hassan. Imam Hassan sendiri memutar wajahnya ke arah tas Abdi yang berbentuk lonjong.
      "Apa kau membawanya? Itu?" tanyanya ke Abdi.
      "Ah, iya, saya bawa Imam..."
      "apa it..." belum sempat wakil kapten menyelesaikan kalimatnya Imam Hassan sudah kembali memberi perintah.
      "Ambil semua kembang api yang kita punya! Ambil SEKARANG!" ucapnya.
      Wakil kapten langsung mengangguk dan bersama beberapa prajurit di sana menuju ruang penyimpanan.
      "AMBIL SEMUA SENJATA YANG KALIAN MAMPU BAWA! TINGGALKAN JIKA TAK MAMPU! SAYA TUNGGU DI ATAS!" setelah itu ia berbalik dan menaiki tangga, disusul lagi oleh Abdi.
      Di atas, sudah berkumpul hampir seluruh penumpang kapal, terasa sesak. Tapi Imam Hassan segera menyuruh mereka berbaris. Pintu kamarnya pun telah dibuka sehingga nampak lorong yang sesak, penuh orang dan senjata bawaan mereka.
      "YANG MEMBAWA TAMENG ADA DI DEPAN BERSAMA SAYA, KEMUDIAN PANAH DAN TERAKOL, SISANYA DI BARISAN KETIGA!"
      Terjadi gerakan cukup masif di ruang yang temaram sehingga setiap orang dengan berhati-hati berbaris sesuai dengan senjatanya. Tameng di paling depan, pembawa panah dan senjata jarak jauh di tengah, dan sisanya pedang, tombak, kapak, pisau, dan gada.
      "Tidak akan sempat menaikkan meriam komandan. Di bawah juga panas sekali," kata seorang prajurit yang membawa tameng di bagian depan.