Dia mengangkat kepalanya. Matanya yang sipit seperti sengaja dilebarkan olehnya. "Aku tidak menerimamu untuk meminta apa pun," ucapnya. Pergi meninggalkanku yang hanya berteman dengan suara embus angin juga deru kendaraan dari jalan raya di depan sekolah.
Aku hanya bisa mematung. Hingga malam hari aku menghubunginya, hendak meminta maaf atas kata-kataku yang terdengar sedikit kelewatan. Tapi percuma, dia tidak meresponsnya sama sekali. Mengabaikan panggilan teleponku yang mungkin sudah hampir 15 kali.
Di sana, di ruang yang aku tinggali sekitar delapan menit lalu, sebuah loteng yang gelap. Aku merenggangkan jari-jariku, menatap kalung yang niatnya akan kuberikan padanya besok. Lantas membuang benda itu sekuat tenaga, meninggalkannya dengan sebuah nama yang sengaja aku minta tukang kalung untuk mengukirnya kemarin malam. Aku hampir lupa nama itu hingga akhirnya aku membacanya lagi tadi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H