"Bukannya kamu sudah tahu?" ia balik bertanya padaku.
Aku mengangguk. Jelas sekali aku sudah tahu. Bukan hanya tahu tentang peraturan yang melarang gadis berkerudung itu berpacaran, tapi juga tahu kalau pertanyaannya lebih mengarah pada, aku tidak mencintaimu, begitulah kira-kira.
"Tidak apa-apa, kita bisa menjalaninya dulu. lagi pula kita tidak melakukan hal yang aneh-aneh---maksudku bergandengan atau lebih dari itu."
"Kalau begitu kenapa tidak bersahabat saja seperti biasa?"
Deg!
Mungkin jika aku memikirkan itu secara sekilas, aku akan setuju. Tidak ada yang salah dengan berteman, kami sudah cukup akrab sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, pun begitu tetap dekat setelah melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kami bersahabat sejak enam tahun lalu.
Aku menyadari kalau aku mulai terbiasa dengan semua itu. Menjadi sangat dekat dengannya meski hanya sebatas sahabat bukanlah perkara yang sulit. Tapi tidak lagi sejak setahun lalu, saat aku tahu dia menyukai seseorang yang baru dikenalnya setelah hari ketiga MOS, pun sebaliknya, lelaki itu juga menyukainya. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bergentayangan, memaksa otakku untuk terus berpikir kenapa dia bisa begitu cepat jatuh cinta pada seseorang yang baru dikenalnya. Sedangkan aku, kami sudah saling mengenal hampir sebelas tahun lamanya, dia juga mengatakan aku lelaki yang baik. Tapi, kenapa?
"Kita sudah menjalani itu sangat lama, dan aku sudah sering mengatakan isi hatiku. Jadi ... aku pikir aku ingin sesuatu yang lain," ucapku yang mengalir begitu saja tanpa bisa kucegah.
Dia mengangguk. Berkata akan memikirkannya dahulu selama beberapa hari. Aku menyetujuinya, menunggu dengan sabar. Melihatnya setiap hari di kelas. Tersenyum padanya jika kami berpapasan. Pun begitu kami tetap bisu.
"Baiklah," jawabnya singkat.
"Ma---makudnya?"