Aku yang sedang membawa seplastik es kelapa langsung diam mematung. Tadi, saat aku keluar dan melihatnya hanya duduk di kelas selama jam istirahat, aku membelikan minuman ini untuknya. Aku bahkan tidak membeli sesuatu apa pun untuk diriku karena sudah beberapa hari ini aku memutuskan untuk berpuasa, menyisihkan uang sakuku demi membelikannya sebuah hadiah. Hadiah itu, aku bahkan telah membelinya semalam.
"Kenapa?" tanyaku bingung. Bagaimana tidak, selama ini kami selalu akur, ia bahkan terus saja tersenyum setiap kali aku meneleponnya dan berbincang selama beberapa jam. Kami tidak memiliki masalah apa pun sehingga tidak perlu mengakhiri hubungan ini.
"Maaf," jawabnya pelan.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
Dia menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. bibirnya terkatup. Pun begitu matanya yang agak sipit terus memerhatikan lantai kelas lamat-lamat.
"Apa aku telah melakukan sesuatu yang salah"
"Tidak," jawabnya cepat.
"Lalu?"
Dia melirikku. Menggigit ujung bibirnya. "Setiap kali kamu menanyakan isi hatiku, aku mencoba untuk mengatakan pada diriku untuk mencintaimu. Hanya saja ... setiap kali aku mencobanya, maka aku hanya mendapati semua itu tidak pernah ada." Dia memalingkan wajahnya. "Maaf, aku tidak bisa," lanjutnya.
"Tidak apa-apa, mungkin kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti," sanggahku yang terkesan memaksa.
Dia menggeleng. Meyakinkan diriku bahwa sekarang atau nanti, semuanya sama saja. Gadis berkulit putih itu bahkan tetap tidak mengubah keputusannya setelah aku meminta padanya untuk bertahan sehari lagi. Ada yang ingin aku berikan padanya.