Mohon tunggu...
Refalina Putri Nursiami
Refalina Putri Nursiami Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 7 SMAN 1 PADALARANG

Refalina Putri Nursiami XII MIPA 7 -an amateur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anak Emas yang Terkepung

15 November 2021   19:48 Diperbarui: 15 November 2021   20:40 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

             Suara  kilat dan guntur yang saling bersahutan membuat suasana semakin mencekam hingga bulu kuduk merinding. Bola lampu yang sudah lama tak diganti itu mulai menunjukkan tanda-tanda akhir penggunaannya. Di bawah sinar bola lampu terlihat seorang anak yang terus menerus mengintip dari balik jendela rumahnya. Badannya gemetar ketakutan. Dia menunggu kedatangan orang kesayangannya yang sudah dua hari tidak dia jumpai. Barangkali malam ini mereka bisa muncul dihadapannya.

Sudah satu jam dia duduk di tempat yang sama, namun nihil, hanya ada gemericik air yang turun dari atap rumahnya. Anak itu pun bersiap untuk tidur menyusul adiknya yang sedari tadi tidur di belakangnya. Dengan muka yang sedih dan kecewa dia segera menarik selimut yang tidak cukup hangat itu ke tubuhnya. Belum sempat dia memejamkan mata, suara ketukan pintu membuat dia cepat beranjak dari kasur dengan wajah yang kegirangan. "Ibu!! Bapak!! Ahmad rindu kalian!" Ahmad berlari dan memeluk erat kedua orang tuanya. Ahmad tidak bisa menyembunyikan senyumnya dibalik pelukan itu. Ahmad pun akhirnya tidak merasa kesepian lagi.

            Pagi itu, langit cerah, angin sejuk membuat suasana hati Ahmad senang. Bagaimana tidak, kedua orang tuanya sudah ada dihadapannya dan dia tidak kesepian lagi. Bahkan, kini dia sedang menonton ibunya yang sedang menjemur pakaian dengan senyum lebar diwajahnya. Dia takut ibunya akan pergi meninggalkannya lagi.

            "Bu, dulu cita-cita ibu apa?" tanya Ahmad membuka pembicaraan.

            "Cita-cita ibu? Apa yaa? Ibu lupa, nak hehe. Kalau kamu memangnya ingin menjadi apa, nak?"

            "Aku ingin menjadi orang yang menyelamatkan dunia bu, seorang pahlawan super! Waktu di sekolah, bu guru menceritakan cerita tentang pahlawan super yang menyelamatkan dunia bu! Ahmad ingin jadi seperti itu juga! Bukankah itu keren?!" jawab Ahmad dengan mata yang berbinar tak lupa nada yang semangat dan juga suara yang lantang.

            "Wah keren sekali! Semangat ya, nak, belajar yang rajin." Ibunya tidak terlalu serius menanggapi keinginan Ahmad yang ingin menjadi pahlawan super itu.

            Bagai petir di siang bolong. Tiba-tiba saja hujan mengguyur kediaman mereka. Dengan cepat Ahmad membantu Ibunya mengangkat kembali jemuran yang baru saja mereka jemur. Dengan kecepatan kilat Ahmad bolak-balik mengangkat jemuran dan segera masuk ke rumah. Duh, benar-benar kilat yang tidak tahu sopan santun. Hari itu Ahmad habiskan dengan berbincang-bincang bersama Ibu dan kedua adiknya sambil menunggu kedatangan Bapaknya dari tempat kerja.

            Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu benar adanya. Ahmad yang lahir pada 19 Juni 1922 ini memiliki wajah dan juga sifat yang menurun dari bapaknya. Mereka berdua sama sama penggila kebersihan, sehingga mereka sering sekali membersihkan rumah bersama sambil bercengkrama. Harmonis sekali hubungan bapak dan anak ini. Istana keluarga Ahmad pun selalu bersih setiap harinya. Mungkin bisa disebut terlalu sayang untuk ditinggali karna saking takutnya kotor.

            Walaupun Ahmad terlahir dari keluarga yang sederhana, dia mampu menjadi murid yang terpintar di sekolahnya. Sifatnya yang sopan, ceria dan juga pintar membuatnya semakin disukai oleh guru-guru dan teman-temannya, bahkan penjaga sekolah pun sudah menganggap Ahmad sebagai anaknya sendiri. Kini dia bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS) di Purworejo dan berada di kelas 3. Ahmad memiliki seorang teman yang sangat dekat dengannya, namanya adalah Jono. Tak disangka-sangka ternyata Jono adalah anak dari penjaga sekolahnya. Mereka berdua sering sekali bermain bersama ataupun belajar bersama, entah itu di rumah Ahmad ataupun Jono. Mereka ini lengket sekali seperti lem.

            Ahmad yang saat itu sedang asik-asiknya bermain bersama Jono, tiba-tiba didatangi oleh ibunya. Dengan sedih Ahmad berpamitan dan segera pulang ke rumahnya. Tak pernah terpikir di benak Ahmad satu kalipun bahwa hal ini akan terjadi. Dia dan keluarganya akan pindah ke Magelang. Perasaan campur aduk menyelimutinya kala itu. Entah itu sedih, terkejut, khawatir, semua menjadi satu di pikiran Ahmad. Sangat sulit baginya untuk meninggalkan kampung halamannya, sekolahnya, teman-temannya dan juga sahabatnya, Jono. Namun Ahmad yang masih bocah SD itu bisa apa? Dia hanya bisa menuruti keputusan kedua orangnya.

            Tanpa berpamitan dengan Jono, Ahmad pun langsung pindah ke Magelang. Dia hanya berharap suatu saat nanti di masa depan dia bisa bertemu dan berteman kembali dengan Jono. Sudah sekitar enam bulan Ahmad dan keluarganya tinggal di Magelang. Kini dia sudah menginjak kelas 3 SD. Kadang-kadang dia merindukan kampung halamannya, Purworejo. Untuk urusan sekolah, dia tetap bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS) Magelang yang berada didekat rumahnya. Dimanapun Ahmad berada, dia tetap menjadi murid yang paling pandai di kelasnya. Saat minggu pertama dia bersekolah disana pun semua guru dan murid terkejut akan kepandaiannya. Murid jenius, begitulah kira-kira sebutan dia di sekolah barunya.

            Namun, lagi dan lagi ketika Ahmad sudah mulai nyaman dengan Magelang, orang tuanya akan pindah untuk yang kedua kalinya, berharap ini menjadi yang terakhir kalinya. Ahmad pun bingung kenapa mereka harus pindah melulu, ini sudah yang kedua kalinya dan dia takut akan ada ketiga kalinya, keempat kalinya, kelima kalinya, keenam kalinya, dan seterusmya. Namun dia terlalu sungkan untuk menanyakan hal itu kepada orang tuanya karna akhir-akhir mereka terlihat sibuk sekali, dia tidak mau mengganggu pekerjaan orang tuanya. Ahmad mungkin akan menanyakannya lain kali.

Siang itu angin berembus kencang menyapu daun-daun di halaman rumah keluarga Wongsoredjo. Keadaan rumah itu terlihat lebih sibuk dari biasanya. Banyak yang lalu lalang keluar masuk rumah untuk mengangkut barang-barang. Ada yang mengangkut lemari, kotak pakaian, ada yang menyapu rumah dan ada juga yang hanya diam saja, Ahmad misalnya. Dia hanya jongkok dibawah pohon mangga depan rumahnya karna dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sesekali dia berteriak, "Ayo pak yang kuat angkat barangnya!" "Semangat bapak!" "Ahmad bantu doa saja ya pak! Hehe," dan masih banyak lagi ucapan-ucapan yang lainnya.

"Ahmad, tolong bantu ibu sebentar sini, nak." tiba-tiba ibu Ahmad memanggil dari dalam rumah.

"Iya, bu, Ahmad kesana." dengan cepat Ahmad segera menghampiri ibunya yang berada di dapur.

"Tolong bawakan minum ini ya kedepan, kasihan mereka lelah setelah mengangkat semua barang-barang disini."

"Siap, bu! Laksanakan!" ucap Ahmad sambil melakukan hormat.

"Awas hati-hati minumnya tumpah."

"Iya bu, ini hati-hati kok." Ahmad pun pergi meninggalkan ibunya sambil membawa nampan yang berisikan 6 gelas minuman itu.

"Pak ayo diminum dulu airnya." Ahmad dengan sopan memindahkan satu-satu minuman dari nampan ke meja yang ada dihadapan bapak-bapak yang sedang mengobrol itu.

"Waduh, terima kasih, nak Ahmad." kata salah satu bapak yang ada disitu sambil mengambil minuman yang ada di meja.

Akhirnya pekerjaan mereka pun selesai dan Ahmad beserta keluarganya akan segera berangkat menuju Bogor. Tapi tiba-tiba ada orang yang mendatangi rumah mereka. Dia tidak terlihat seperti orang Indonesia karna perawakannya yang besar, kulitnya yang putih, rambut pirang dan juga bola mata berwarna biru, yap benar! Orang yang mendatanginya adalah orang Belanda. Ahmad heran untuk apa orang ini berada di rumahnya, sebenarnya dia juga sedikit takut dengan orang itu, namun dia tidak menunjukkan ketakutannya. Ternyata setelah mendengar apa yang dikatakan orang Belanda itu, dia memiliki urusan dengan bapaknya, Ahmad menguping sedikit pembicaraan mereka, walaupun ini perbuatan yang tidak baik tapi dia sangat ingin tahu pembicaraan mereka.

Jangan remehkan anak kelas 3 SD. Walaupun masih anak sekolah dasar, Ahmad mengerti dan bisa bicara bahasa Belanda. Jadi dia juga bisa mengerti apa yang dibicarakan oleh bapaknya dan orang Belanda tadi. Kurang lebih isi percakapannya seperti ini: Kau harus cepat-cepat pergi ke Batavia, kalau tidak nanti bos akan marah besar padamu, jangan sampai kau membuat kesalahan, karna kalau kau membuat kesalahan walau sedikit saja, nyawamu akan melayang.

Ahmad yang mendengar hal itu pun dibuat terkejut. Kini Ahmad tahu apa yang membuat dirinya dan keluarganya harus terus-menerus pindah. Ternyata itu karena pekerjaan bapaknya yang merupakan bawahan dari Belanda. Ahmad merasa sedih dan sakit hati mengetahui fakta bahwa ternyata bapaknya selama ini kesulitan dan berada dibawah tekanan dari Belanda. Bapaknya selalu tersenyum dan tertawa ketika mereka sedang berkumpul. Tidak pernah sekalipun bapaknya menunjukkan wajah yang sedih, tertekan ataupun marah. Akhirnya orang Belanda tadi pun beranjak dari kursi dan akan segera pergi. Ahmad yang mengintip dan menguping mereka dari tadi buru-buru pergi karna takut ketahuan oleh mereka berdua.

Setelah orang Belanda itu pergi Ahmad segera menghampiri bapaknya dan memeluk kakinya dengan erat tanpa mengeluarkan satu patah kata pun. Bapaknya mengira bahwa Ahmad takut oleh orang Belanda tadi, ia pun balik memeluk Ahmad dan menggedongnya sambil mencium keningnya. Ahmad yang diperlakukan begitu pun merasa semakin sedih dan khawatir akan keadaan bapaknya.

Setelah adzan ashar berkumandang, mereka pun sholat ashar terlebih dahulu di masjid. Setelah semuanya siap mereka akhirnya langsung pergi dari Magelang ke Bogor. Tak lupa mereka semua berdoa agar selalu diberi perlindungan oleh Yang Maha Kuasa.

Akhirnya mereka pun sampai di Bogor. Mereka harus berjalan dulu beberapa meter sebelum sampai di rumah baru yang akan mereka tempati. Ketika mereka sampai di kediaman mereka, Ahmad terkejut karna rumah itu lebih besar daripada rumah yang pernah mereka tinggali. Ahmad pun berlari-lari di halaman rumahnya yang masih berantakan itu diikuti oleh adik kecilnya di belakangnya dan berakhir main kejar-kejaran. Padahal mereka baru saja melakukan perjalanan jauh, namun mereka tidak merasa lelah. Orang tuanya yang melihat anak-anaknya senang pun merasa senang dan hal itu menghilangkan sedikit kegelisahan yang mengganjal di hati mereka.

Suhu dingin yang menusuk kulit membuat Ahmad masih ingin tinggal di dalam dunia mimpinya. Pagi itu suasana masih sama, ada bapaknya yang akan berangkat kerja, ibunya yang sedang menyiapkan sarapan dan Ahmad beserta adiknya yang masih terlelap tidur. Ahmad memang sudah mendapatkan sekolah barunya, namun dia masuk mulai besok dan hari ini akan dihabiskan untuk beres-beres peralatan sekolah dan juga istirahat untuk memulihkan energi yang sudah habis selama perjalanan kemarin.

Hari esok pun tiba. Ahmad sudah tidak sabar untuk pergi ke sekolah barunya, sebenarnya nama sekolahnya masih sama seperti dua sekolah sebelumnya yaitu di Hollands Inlandse School (HIS) namun, sekolah ini berada di kota yang dijuluki Kota Hujan atau Bogor. Memang ya, julukan sebuah kota itu tidak pernah salah. Baru saja Ahmad melangkahkan kaki keluar dari rumahnya tiba-tiba saja turun hujan. Untungnya masih gerimis, jadi Ahmad masih bisa berangkat ke sekolah walaupun harus basah sedikit. Dia tidak mau terlambat di hari pertama sekolahnya. Ahmad sangat ingin cepat-cepat belajar di sekolah karna dia memang sangat suka belajar. Dia sepertinya tidak akan pernah bisa lelah walaupun belajar terus menerus.

Dua tahun pun sudah berlalu. Pada tahun 1935, Ahmad sudah lulus dari Hollands Inlandse School (HIS) Bogor. Dia pun melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Karena nilainya yang cukup baik, guru nya memberi saran pada Ahmad untuk melanjutkan ke Meet Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Bogor. Ahmad pun mengikuti saran dari gurunya tersebut, dia akhirnya mendaftarkan diri di Meet Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Bogor. Sekolah ini terletak tidak terlalu jauh dengan HIS, mungkin hanya terpisah beberapa bangunan saja. Ahmad berharap sekali untuk bisa diterima di MULO ini, karena sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang termasuk top di daerahnya. Setelah penantian panjang, akhirnya pengumuman penerimaan pun diumumkan dan Ahmad diterima di MULO. Hal itu pun membuat Ahmad senang sekali, dia berjanji bahwa akan belajar dengan lebih giat lagi agar bisa membanggakan ibu bapaknya.

Tidak seperti tahun-tahun di HIS yang penuh dengan kepindahan orang tuanya, di MULO ini Ahmad bisa menamatkan sekolahnya dengan baik tanpa memikirkan kemana lagi dia akan pindah. Hari-hari di MULO menurut pandangan Ahmad sangatlah hebat, karna disana banyak sekali murid yang berprestasi. Dalam hal kepandaian, banyak murid yang melebihi dirinya. Namun Ahmad tidak ambil pusing soal itu, dia hanya harus terus belajar dan belajar agar bisa menjadi orang seperti yang dia harapkan. Sudah seperti yang kalian sangka, pada tahun 1938, Ahmad berhasil lulus dari Meet Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Bogor dengan nilai terbaik.

Persaingan yang ketat dengan anak-anak lain membuat Ahmad semakin tertantang untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Setiap hari dia selalu meluangkan waktu untuk membaca materi-materi dari sekolah dan selalu mencatat apa yang diajarkan gurunya di sekolah. Hasil memang tidak pernah mengkhianati usaha. Selama sekolah di MULO, Ahmad menjadi ketua kelas selama 3 tahun berturut-turut. Hal itu sudah membuktikan bahwa sedari kecil dia sudah memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dia juga merupakan anak yang percaya diri di depan teman-temannya, ketika dia berbicara di depan kelas dia selalu menunjukkan bahwa kualitas dirinya lebih tinggi disbanding siswa yang lain. Ketika ada teman yang bertengkar, dia selalu melerai dengan halus, disaat yang lain hanya menonton, hanya Ahmad yang berani untuk melerai pertengkaran mereka.

"Wah, anak bapak hebat ya, bapak bangga sama kamu, nak!" sambil mengelus rambut Ahmad dengan lembut.

"Hehe, Alhamdulillah pak, ini juga karena doa bapak sama ibu." Kata Ahmad sambil tersenyum.

"Wah, kamu jadi juara lagi, nak? Memang anak ibu ini hebat! Untuk mengucapkan selamat, jadi ayo kita buat makanan kesukaan Ahmad." ucap ibunya sambil memeluk Ahmad dengan erat.

"Asiikkkk." Kata Ahmad dan juga adiknya yang ikutan bersorak.

Ahmad dan keluarganya hari itu diselimuti kebahagiaan. Mereka pun menghabiskan waktu dengan memakan makanan kesukaan Ahmad, bersenda gurau, dan saling mengobrol dengan suasana yang hangat.

Ahmad yang kala itu lulus dengan nilai yang terbaik membuatnya bingung harus mengambil sekolah yang mana. Karena sebenarnya sekolah manapun bisa menerima Ahmad sebab nilainya memang memenuhi hampir semua sekolah di Bogor, bahkan jika Ahmad memilih untuk ke luar Bogor pun bisa saja dia diterima. Setelah berpikir matang-matang, akhirnya Ahmad pun memillih untuk melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Jakarta. Dia masuk ke AMS Jakarta ini dengan mudah, padahal sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang paling sulit untuk dimasuki. Inilah hasil belajar Ahmad selama ini, walaupun harus mengurangi waktu bermain, namun hal itu tidak berakhir dengan sia-sia dan Ahmad senang akan hal itu.

AMS adalah sekolah yang setara dengan sekolah menengah umum yang terletak di Jakarta. Ahmad diterima di AMS pada tahun 1938 dan seharusnya lulus pada tahun 1941. Namun, Ahmad tidak menjalankan sekolahnya di AMS sampai lulus, tetapi hanya sampai kelas dua saja. Hal ini disebabkan karena pecahnya Perang Dunia II yang membuat pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan milisi untuk menjalankan wajib militer. Ahmad akhirnya memilih untuk mendaftarkan diri dalam pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor.

Namun, secara tidak disangka-sangka, ketika Ahmad menjalankan pendidikan militernya di Malang, dia bertemu dengan teman masa kecilnya yang sudah lama ingin dia temui. Awalnya Ahmad tidak yakin kalau dia bertemu dengannya, namun Ahmad ingat bahwa temannya ini memiliki tahi lalat yang agak besar dibawah matanya. Ternyata benar, orang itu memiliki tahi lalat yang sama persis dengannya. Ahmad pun memanggil orang tersebut.

"JONO!!" panggil Ahmad dengan suara lantangnya. Orang yang dipanggil pun menoleh dan mencari-cari siapa yang memanggilnya dengan suara yang familiar itu. Ketika Jono menyadarinya, dia kemudian berlari ke arah Ahmad.

"AHMAD!! WOO SERSAN AHMAD!!" mereka pun saling memeluk satu sama lain untuk mengobati rasa rindu yang mereka punya.

Setelah itu mereka pun berbincang-bincang dan membicarakan banyak sekali hal. Mereka senang sekali bisa bertemu dan bisa mengetahui bahwa mereka dan keuarga mereka berada dalam kabar dan kondisi yang baik. Kini Jono sudah berubah banyak, dari yang dulunya penakut sekarang dia lebih berani dan percaya diri. Padahal saat masih kecil dulu Ahmad lebih tinggi darinya, namun sekarang Jono lebih tinggi dari Ahmad. Namun, sayangnya pertemuan mereka ini tidak lama, karna bulan depan Ahmad akan menjalankan pendidikan militernya di Bandung, sedangkan Jono akan tetap berada di Malang.

Selain karena kewajiban, Ahmad juga memang benar-benar ingin untuk mengikuti program wajib militer ini. Karena keinginannya selama ini masih sama dengan saat ia kecil dulu, Ahmad masih ingin jadi pahlawan bagi sebuah negara. Dia berpikir mungkin ini salah satu cara untuk mewujudkannya. Malang adalah tempat awal mula karirnya di dunia militer. Karena kerja kerasnya dan bakat militer yang dia punya selama pendidikan militer, saat itu Ahmad mendapatkan pangkat Sersan Cadangan Bagian Topografi. Ketika mendapat pangkat itu, dia sangat senang bukan main, bahkan hampir menangis di depan banyak orang. Dia ingin cepat cepat mengabari orang tuanya yang sedang berada di rumah. Sudah satu langkah lebih dekat, begitu pikir Ahmad. Kini dia tinggal harus berusaha dengan lebih keras lagi agar keinginannya bisa benar-benar terwujud. Sebelum Ahmad ke Bandung, ia diperbolehkan untuk pulang dahulu ke rumah orang tuanya oleh atasannya. Akhirnya Ahmad pun menemui orang tuanya di Bogor.

"Bapak, Ibu, Ahmad berhasil pak, bu.." air mata tiba-tiba keluar dari mata Ahmad saat itu, dia sudah tidak kuat menahan tangis bahagia nya apalagi di depan orang tuanya.

"Ya Allah, nak alhamdulillah nak." ibu nya yang mendengar putra nya menangis pun langsung memeluk Ahmad dengan sangat erat, tak henti-hentinya beliau mengucapkan Alhamdulillah sambil menangis haru.

"Ini baru anak bapak! Bapak bangga nak sama kamu." bapaknya memeluk erat Ahmad dengan air mata yang menetes dari matanya.

Adiknya yang tidak tahu apa-apa ikut memeluk mereka dari belakang. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Ahmad memeluk mereka semua dengan sangat erat sambil menangis sesenggukan, hari itu adalah salah satu hari yang plaing membahagiakan bagi Ahmad. Bisa melihat anak dari keluarga yang sederhana meraih pangkat sersan dalam militer walaupun masih cadangan, tetapi hal itu sudah sangat membanggakan bagi keluarga Wongsoredjo. Memiliki keluarga yang selalu mendukung apa yang ingin dilakukan oleh anaknya memanglah hal yang sangat menyenangkan. Hal ini membuat Ahmad ingin terus membuat keluarga mereka tetap utuh dan bahagia.

Pada pertengahan tahun 1941 Ahmad Yani ditugaskan di Bandung. Karena selama di Bandung Ahmad menjalankan pekerjaannya dengan baik akhirnya dia dikirim ke Bogor untuk menjalani pelatihan yang intensif. Setelah itu ia dikembalikan lagi ke Bandung. Saat itu ia ikut melawan Jepang dalam pertempuran di Lembang bersama dengan Angkatan Perang Belanda, namun pasukan Belanda ini tidak cukup kuat untuk melawan serangan dari pasukan Jepang. Akhirnya ketika Bandung jatuh ke tangan Jepang, Ahmad ditahan selama beberapa bulan di kamp tawanan yang ada di Cimahi. Setelah beberapa kali pemeriksaan, akhirnya Ahmad pun dibebaskan dan ia kembali ke kampung halamannya.

Namun, sayangnya pendidikan yang selama ini telah Ahmad tempuh harus terganggu karena kedatangan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang bersamaan dengan pendudukan Jepang di Indonesia itu pula Ahmad dan beserta keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah. Pada tahun 1942, Ahmad menganggur dan tidak melakukan pekerjaan militernya. Dia memanfaatkan waktunya bersama keluarganya di rumah yang merupakan kampung halamannya, Purworejo.

Pada tahun 1943, Ahmad bergabung dan mengikuti pendidikan Heiho di Magelang yang tugasnya membantu prajurit-prajurit militer Jepang. Saat itu ada seorang perwira Jepang yang melihat adanya bakat militer dalam diri Ahmad Yani. Akhirnya Obata, perwira Jepang tersebut menyarankan Ahmad untuk mendaftar menjadi prajurit militer karena melihat bakat militer yang besar mengalir dalam diri Ahmad. Akhirnya Ahmad pun mengikuti saran dari Obata dan mengikuti pendidikan shodanco di Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) yang ada di Bogor, Jawa Barat.

"Mungkin inilah jalan bagiku untuk bisa menjadi seseorang yang lebih besar." Ahmad berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin.

Setelah kurang lebih Ahmad menjalani latihan yang berat selama empat bulan, Ahmad lulus dari pendidikannya dengan prestasi yang membanggakan dan ia mendapatkan predikat sebagai siswa terbaik. Ahmad pun lulus menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Pada acara penutupan pelatihan pendidikannya, sebagai bentuk apresiasi kepada Ahmad, ia diberi hadiah atau penghargaan berupa pedang samurai. Setelah itu, Ahmad Yani yang merupakan siswa terbaik ditugaskan sebagai Komandan Seksi I Kompi 3 Batalyon 2 yang ditempatkan di Magelang.

"Dengan ini, saya selaku komandan Korps Latihan Pemimpin Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa mengumumkan bahwa, siswa atas nama Ahmad Yani berhasil menjadi siswa terbaik pada pelatihan tahun ini. Oleh karena itu, saya memberi penghargaan atas apresiasi kerja keras siswa Ahmad Yani berupa pedang samurai. Semoga dengan adanya penghargaan ini bisa memberi motivasi bagi Ahmad Yani maupun para siswa lainnya disini."  Komandan Supri dengan tegas mengumumkan hasil akhir pelatihan pada acara penutupan sore itu. Ahmad yang merupakan siswa terbaik langsung keluar dari barisan dan berjalan menuju panggung dengan gagahnya. Semua siswa disana bertepuk tangan dengan meriah.

"Saya Ahmad Yani, mengucapkan terima kasih atas penghargaan ini. Semoga dengan adanya hal ini bisa memotivasi kita semua menjadi prajurit yang lebih baik lagi." Ahmad menutup ucapan terima kasihnya dengan hormat dan membungkuk kepada semua yang ada disana diakhiri dengan tepukan tangan yang meriah dari para siswa pelatihan.

Sesampainya ia di kamar asramanya, ia segera menuliskan surat untuk ibu dan bapaknya yang ada di kampung. Ahmad menuliskan banyak hal di suratnya, seperti ini: "Halo ibu, bapak, ini Ahmad. Apa kabar pak? Bu? Adek-adek? Semoga kalian sehat-sehat saja ya disana, aamiin.  Maaf ya Ahmad tidak menulis surat untuk ibu dan bapak selama 6 bulan ini, Ahmad sedang ikut pelatihan untuk menjadi prajurit. Dan tadi sore adalah penutupan acaranya. Oh iya ibu tau tidak? Ahmad menjadi siswa terbaik di pelatihan tahun ini dan mendapat hadiah pedang samurai dari atasan disini. Setelah ini Ahmad akan ditugaskan ke Magelang, Ahmad mohon doanya ya pak, bu semoga Ahmad bisa sehat terus dan bisa bertemu dengan kalian semua lagi dirumah. Ibu ingat tidak bu, ketika dulu Ahmad masih kecil, Ahmad bilang ingin menjadi pahlawan? Sepertinya sebentar lagi itu akan terjadi, Ahmad akan menjadi prajurit untuk Indonesia dan menyelamatkan negara kita dari kejadian-kejadian yang buruk. Sudah dulu ya pak, bu. Semoga kita bisa secepatnya bertemu."

Pada tahun 1945, Jepang membubarkan semua organisasi militer buatan mereka termasuk PETA. Pembubaran ini dilakukan untuk mencegah tentara-tentara tersebut melakukan serangan balik terhadap Jepang. Hal ini terjadi dua hari setelah Presiden Soekarno mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Meskipun telah dibubarkan, Ahmad masih tak mengikuti perintah tersebut dan malah membuat pasukan sendiri yang berisikan para pemuda dan anak buahnya yang kira-kira terkumpul sekitar satu batalyon dan pasukan bentukan Ahmad ini dimasukkan kedalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), pasukan Ahmad dijadikan batalyon 4 dan Ahmad Yani diangkat menjadi Komandan Batalyon.

Setelah Indonesia merdeka, pasukan Ahmad Yani bergabung dengan tentara Republik Indonesia untuk melawan agresi militer Belanda. Batalyon yang saat itu dikomandani oleh dirinya sendiri berhasil memukul mundur Inggris di Magelang. Ahmad juga dengan sekuat tenaga berhasil untuk mempertahankan Magelang dari Belanda yang saat itu berniat untuk mengambil alih Magelang. Karena berbagai jasa yang telah ia lakukan untuk Magelang, ia kemudian diberi julukan "Juru Selamat Magelang".

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer kedua. Magelang yang pada saat itu menjadi markas Ahmad Yani dan pasukannya diserang Belanda dari tiga arah, yaitu Yogyakarta, Purworejo, dan Ambarawa. Ahmad yang mengetahui hal itu pun segera membentuk strategi untuk mencegah terjadinya kekalahan dan juga karena dirinya tidak ingin tertangkap oleh Belanda.

"PASUKAN! BUAT BARISAN!" Ahmad sebagai komandan memerintahkan pasukan untuk membuat barisan dengan suara yang lantang dan tegas. Dalam hitungan beberapa detik, barisan sudah terbentuk dengan rapi dihadapan Ahmad Yani.

"SIAP KOMANDAN!"

"Saat ini posisi kita sedang terdesak oleh Belanda, kita akan diserang dari arah Yogyakarta, Purworejo, dan Ambarawa.  Jadi saya sebagai komandan disini, akan membagi   kalian menjadi beberapa kelompok kecil. Bersiap-siaplah untuk Perang Gerilya! Untuk hal-hal yang lainnya akan saya jelaskan nanti setelah saya selesai berkomunikasi dengan Letnan Kolonel Soeharto,"

"SIAP KOMANDAN!"

Setelah pasukan sudah dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, mereka pun bersiap-siap untuk perang gerilya. Ahmad sudah memerintahkan pasukannya untuk membumihanguskan Magelang kemudian baru melancarkan perang gerilya. Perang gerilya  ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta. Akhirnya perang menghadapi Belanda  ini pun berakhir dengan kemenangan Indonesia dan pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.

Setelah Indonesia mendapatkah pengakuan kedaulatan dari Belanda, Ahmad dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, Indonesia masih harus menghadapi pemberontakan yang berasal dari dalam negeri dan Pasukan batalyon Ahmad Yani yang dipercaya untuk menangani pemberontakan ini. Ahmad diberi tugas untuk melawan dan menumpas tentara DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo yang saat itu sedang membuat kekacauan di Jawa Tengah. DI/TII adalah sekolompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Ahmad pun kembali mengumpulkan pasukan untuk membicarakan hal ini.

"Jadi disini kita semua akan menghadapi kelompok pemberontak yaitu DI/TII. Oleh karena itu, saya akan membentuk sebuah kelompok khusus untuk menghadapi para pemberontak ini. Setelah saya diskusikan dengan para atasan dan anggota yang lain, kami akan menamai pasukan khusus ini dengan nama The Banteng Raiders. Apakah kalian mengerti?!" Ahmad melihat ke seluruh pasukan dengan tatapan yang tegas.

"SIAP MENGERTI KOMANDAN!!" jawab semua pasukan dengan suara yang lantang.

Untuk melawan DI/TII Ahmad sudah menyiapkan latihan khusus sesuai dengan medan yang akan dihadapi. Sedangkan yang memberi komando dan petunjuk adalah Ahmad sendiri. Dengan Ahmad Yani melatih dua kompi yang semakin hari semakin terlatih untuk menghadapi DI/TII akhirnya wilayah yang dikuasai oleh DI/TII semakin sempit dan hal ini mempermudah pasukan Raiders semakin mudah untuk melawan mereka. Akhirnya pasuka DI/TII di Jawa Tengah menderita kekalahan satu demi satu dan bisa ditumpas sampai bersih. Setelah penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.

            Pada tahun 1955, Ahmad disekolahkan oleh pimpinan Angkatan Perang di Jakarta ke Command and General Staff College di Forth Leavenworth, Amerika Serikat, setelah beliau melihat kemampuan Ahmad Yani yang telah berhasil menangani berbagai pembenrontakan. Pada tahun 1956, Ahmad juga mengikuti pendidikan pada special Warfare Course di Inggris selama dua bulan. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Amerika Serikat, ia diberi jabatan sebagai Asisten II (Operasi) di Markas Besar Angkatan Darat. Tak lama setelah itu, ia dijadikan sebagai Deputy I (Operasi) dan pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

            Setelah selama enam bulan belajar di Amerika Serikat, tentu ilmu yang sudah didapat tidak akan dibuang begitu saja. Pada 1958, ia menggunakan ilmu yang didapatkannya tentang operasi gabungan dalam rencana penumpasan pemeberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat. Berkat ini, pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi. keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 yang otomatis menjadi anggota kabinet dan menggantikan Jenderal Nasution.

            Walaupun sudah banyak mengalami berbagai macam perjuangan menghadapi pemberontakan, perang, dan lainnya, Ahmad tidak pernah putus asa dan selalu semangat dalam melakukan pekerjaannya hingga ia bisa sampai di titik yang sekarang ini. Ia merasa selalu semangat karena ada orang yang selalu mendukungnya yaitu istrinya, Yayuk Ruliah Sutodiwiryo. Mereka pertama kali bertemu dan saling jatuh cinta ketika bertemu saat Ahmad mengikuti kursus mengetik dan Yayuk yang menjadi gurunya. Walaupun awalnya mereka harus menjalin hubungan cinta jarak jauh namun hal itu tidak mengurangi rasa cinta mereka terhadap satu sama lain.

            Mereka seringkali saling mengirimkan surat cinta untuk membunuh rindu yang mereka rasakan. Namun, jika jarak antara tempat kerja Ahmad dan rumah Yayuk masih memungkinkan untuk didatangi, Ahmad akan lebih memilih mendatangi Yayuk dan bertemu langsung entah itu 10 km, 20 km, ataupun 30 km, Ahmad akan mengayuh sepedanya demi bertemu wanita yang dicintainya. Akhirnya mereka pun menikah pada tanggal 5 Desember 1944. Dari pernikahannya tersebut Ahmad dan Yayuk dikaruniai enam putri dan dua putri.

            Begitu banyak perjuangan yang Ahmad lakukan untuk menghentikan berbagai macam pemberontakan yang ada di Indonesia. Ahmad ini menjadi salah satu sosok yang dekat dengan Presiden Soekarno. Mereka akrab bukan tanpa alasan, namun karena Ahmad sering mengikuti rapat dengan Presiden Soekarno dan saat Ahmad menjadi Kasad hubungan mereka mulai dekat. Bahkan banyak yang menyebut Ahmad Yani ini adalah 'anak emas' nya Presiden Soekarno karna saking akrabnya hubungan mereka berdua.

Saat itu politik di Indonesia sedang panas dan didominasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi jaya di Indonesia karena merasa mendapat dukungan dari Soekarno. Mereka mencoba untuk semakin meluaskan pahamnya. Mereka mengusulkan untuk dibentuknya Angkatan Kelima. Mendengar hal itu, Ahmad Yani dengan tegas menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjantai. Hal ini membuat PKI, khususnya ketua PKI menjadi marah dan kesal.

Akhirnya saat itu PKI menyebarkan isu "Dewan Jenderal" dan dokumen asing yang isinya menyebut kolaborasi antara sejumlah jenderal AD dengen Barat. Hal ini berlawanan dengan Soekarno dan PKI yan lebih condong ke negara blok timur seperti China dan Uni Soviet, akhirnya disebut-sebut bahwa Ahmad Yani dan rekan-rekannya akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Karena isu ini, hubungan antara Ahmad dan Soekarno pun menjadi retak perlahan-lahan, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh PKI.

"Apa-apaan Ahmad Yani itu!" Soekarno berdecak kesal.

"Saya kira saya bisa mempercayainya karena dia orang yang sudah berkorban untuk negara kita. Padahal dia adalah orang yang berharga bagi negara ini, tapi kenapa dia malah ingin menjatuhkan saya?!" ucap Soekarno sambil menarik dasinya dengan kasar.

"Budi, tolong ambilkan dokumen yang ada di laci sebelah kanan." kata Soekarno ke asistennya sambil jalan kembali ke tempat duduknya.

"Baik pak." Budi memberikan dokumen itu kepada Soekarno. Soekarno pun membaca isi dokumen yang berisi list nama-nama itu.

"Budi, tolong kamu hubungi staf nya Jenderal Moersjid dan tanyakan apakah pukul 12 nanti bisa bertemu."

"Baik pak, tapi pertemuan ini untuk membahas apa ya pak?" tanya Budi hati-hati.

"Tidak usah banyak tanya! Cepat hubungi saja!"

"Apakah ini ada hubungannya dengan Dewan Jenderal, pak?" Budi masih ingin memastikan hal itu kepada Soekarno.

"KAMU DIAM SAJA! KALAU TIDAK TAHU APA-APA TIDAK USAH BANYAK TANYA!" Soekarno yang kala itu emosinya sedang memuncak berakhir dengan membentak asistennya sambil menggebrak meja.  

"Maaf kalau saya lancang, tapi pak, saya kenal baik dengan Jenderal Ahmad Yani. Beliau tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Jika tujuan bapak menyuruh saya menghubungi Jenderal Moersjid itu untuk mengganti posisi Jenderal Ahmad Yani, saya sarankan bapak untuk berpikir kembali." Budi masih tetap pada pendiriannya untuk membela Ahmad walaupun sudah dibentak oleh orang nomor 1 Indonesia saat itu, Soekarno.

"Kamu bikin saya pusing, lebih baik kamu keluar sana!" kata Soekarno mengusir Budi untuk keluar dari ruangannya.

Soekarno yang saat itu mendengar mengenai kolaborasi AD dengan Barat pun terlihat sangat marah. Akhirnya Soekarno berencana memanggil Yani ke istana pada 1 Oktober 1965. Beliau berniat untuk mengganti Ahmad Yani dengan Jenderal Moersjid. Tapi Ahmad tak pernah mengetahui tentang hal ini.

Saat semua orang sedang lelap tertidur, Ahmad Yani masih saja membereskan tumpukan dokumen yang menumpuk didepan mukanya. Ia hendak bersiap untuk tidur dan melanjutkan pekerjaannya besok. Namun tidak seperti biasanya, malam itu Ahmad pergi ke kamar anak-anaknya terlebih dahulu untuk mengecek kondisi mereka malam itu. Seteleh itu, ia pun pergi mencuci tangan dan kaki kemudian tidur.

Baru beberapa jam ia tertidur, seisi rumah dikejutkan dengan suara tembakan di setiap penjuru rumah dan suara sepatu lapangan tentara berlarian dari ujung ke ujung. Eddy, putra bungsu Ahmad dan juga pembantu rumah tangga Ahmad sudah bangun saat itu dan sedang berjalan di ruang tengah pun langsung terkejut akan suara-suara itu. Tiba-tiba saja seisi rumah sudah dikepung oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai Cakrabirawa. Salah seorang Sersan dari Cakrabirawa itu memerintahkan pembantu itu untuk membangunkan Ahmad, namun ia tidak berani dan Eddy lah yang akhirnya membangunkan bapaknya.

"Pak, bangun pak, itu ada banyak tentara diluar mencari bapak." kata Eddy sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ahmad dan menunjuk kea rah luar kamar.

"Hmmpp, ada apa nak?" kata Ahmad yang baru saja terbangun dari tidurnya.

"Itu pak.." Eddy menunjuk ke arah luar kamar sambil ketakutan, suaranya gemetar. Tiba-tiba Sersan yang tadi beserta dengan beberapa anak buahnya mendobrak masuk pintu kamar Ahmad Yani. Eddy yang saaat itu ketakutan berlari ke arah pembantunya. Kemudian masuk tentara-tentara lainnya melalui pintu dan jendela yang ada di seisi rumah dan menimbulkan suara bising yang membuat seluruh anak-anak Ahmad terbangun.

Ahmad heran, untuk apa pasukan tentara sebanyak ini mengepung rumahnya di dini hari seperti ini. Namun Ahmad tidak curiga, karena ia memang sudah ada rencana untuk menemui Soekarno, namun ia tak menyangka bahwa akan dijemput seperti ini. Sersan itu pun menjelaskan bahwa mereka menjemput Ahmad,  karena Ahmad diminta menghadap langsung Presiden Soekarno segera saat itu juga.

"Anda diminta menghadap pak presiden secara langsung." Kata Sersan yang membawa senapan di tubuhnya itu.

"Baik, tunggu sebentar, saya mandi terlebih dahulu." Ahmad sudah membalikkan badannya untuk ke kamar mandi

"Tidak usah mandi!" kata sersan itu dengan tegas.

"Baik, kalau begitu biarkan saya ganti baju dahulu." kata Ahmad, karena pakaiannya saat ini hanyalah baju tidur, tidak sopan jikaia menemui presiden dengan penampilan seperti ini.

"Tidak usah ganti baju, jenderal!" kali ini sersan itu membentak Ahmad. Hal itu pun membuat Ahmad marah, bagaimana mungkin seorang bintara berani bersikap kurang ajar dan membentak Jenderal seperti itu. Ahmad yang memang sudah tidak bisa menahan emosi akhirnya menempeleng kepala sersan itu kemudian berjalan ke arah pintu. Anak buahnya pun langsung bersiap untuk menembaki Ahmad.

"Tahu apa kau prajurit." Kata Ahmad sambil berjalan ke Arah pintu.

Segalanya berjalan tiba-tiba dan berlalu begitu cepat. Dalam sepersekian detik sesudahnya, Jenderal Ahmad Yani diberondong tembakan senapan secara membabi buta oleh para Cakrabirawa. Ia ditembak dari jarak dekat, peluru menembus pintu kaca memberondong tubuhnya yang berada di balik pintu. Dalam keadaan seperti itu, ia masih sempat tersenyum ke anaknya Eddy. Dalam keadaan berlumuran darah, tubuhnya diseret ke pekarangan. Noda darah membekas di lantai kediaman Ahmad. Kemudian tubuh Ahmad dilemparkan ke atas sebuah truk

Putrinya saat itu hanya bisa melihat kejadian itu dari balik jendela kamar putrinya. Semua anak Ahmad pun hanya bisa menyaksikan kekejaman Cakrabirawa terhadap bapaknya sambil menangis. Mereka terlalu takut untuk menghentikan kelompok Cakrabirawa itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak. Mengetahui bapaknya dibawa pergi, anaknya segera berlarian keluar rumah sambil menangis memanggil-manggil nama bapaknya. Mereka bergegas mengejar rombongan tentara yang menyeret bapaknya.

"Bapakkkkkk...." Mereka memanggil Ahmad sambil menangis tersedu-sedu.

"Bi, bapak mau dibawa kemana bi? Bapak baik-baik aja kan bi?" tanya Eddy kepada bibinya yang masih terus menangis akan kejadian yang baru saja terjadi.

"Pak jangan pergi pakkk..." kata Amel, salah satu putri Ahmad.

"Kalau anak-anak tidak masuk sekarang juga, semuanya akan ditembak!!" kata salah satu prajurit mengancam mereka semua sambil menembakkan senapannya ke udara dan anak-anak Ahmad pun menjadi sangat ketakutan.

Mereka berlarian masuk ke dalam rumah, mereka mendegar suara kendaraan menderu-deru yang membawa pergi bapaknya entah kemana. Truk itu membawa jasad Ahmad ke Lubang Buaya, Jakarta Timur  bersama 6 Pahlawan Revolusi yang terbunuh lainnya. Lalu semua jasad tersebut disembunyikan dalam sebuah sumur bekas. Kondisi di dalam rumah sangat berantakan. Darah dimana-mana, pintu kaca berserakan, peluru berhamburan dimana-mana. Bahkan sampai luar rumah pun masih berlumuran darah Ahmad. Anak-anaknya berebut masuk ke dalam kamar bapaknya yang kini sunyi dan kosong.

Emmi, salah satu putri Ahmad, memberikan petunjuk untuk cepat berganti pakaian agar kalau terjadi hal lain bisa segera kabur. Anak-anak Ahmad tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya duduk di lantai, mengelilingi darah sang ayah tercinta sambil berharap cemas bapaknya tidak meninggal dunia. Suasana rumah itu dalam sekejap berubah menjadi mencekam, sunyi, dan kacau yang amat sangat.    

Ajudan Jenderal Ahmad Yani pun datang. Anak-anak Ahmad Yani pun langsung berhamburan padanya dan mengadukan bahwa bapaknya dibawa pergi oleh prajurit yang memakai baret merah dan jumlahnya banyak sekali. Mereka pun menjelaskan bahwa bapaknya ditembaki oleh prajurit itu. Ajudan Ahmad yang mendengar hal itu pun terkejut bukan main, ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa dan hanya mondar-mandir dengan napas yang tidak menentu. Tak lama setelah itu, datang sebuah mobil Jip yang ternyata adalah mobil Yayuk, istri Ahmad. Ia belum menyadari semua kekacauan yang telah terjadi di rumahnya sendiri.

"Wah kok anak-anak ibu sudah bangun semua."

"Bu, bapak, bu.. Bapak ditembaki bu dan dibawa pergi oleh tentara.... naik truk!" kata Amelia dengan suara yang bergetar.

"Cari cepat! Semuanya ayo cari bapak! Cari sampai bapak ketemu! Cari, cepat cari!" kata ibunya terkejut ia menjerit-jerit lari keluar, ia terlihat sudah putus asa dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kemudian Istri Ahmad pun pingsan. Setelah sadar, Yayuk mengajak semua anaknya untuk berdoa.

"Nak, bapak sudah meninggal dunia." kata Yayuk mencoba tegar mengatakan hal ini kepada anak-anaknya.

"Tidak bu, bapak masih hidup! Hanya tangan dan kakinya yang terkena tembakan, bu! Bapak masih ada!" kata Amelia dengan tegas.

"Nak.." Ibunya menggeleng dengan tersenyum sambil mengusap kepala Amel. Semua anak-anaknya pun menangis tersedu-sedu.

"Bapak, jangan tinggalin kita pak..." kata anaknya sambil menangis.

Pada pukul 9 pagi nya, sebuah karangan bunga yang indah dengan ucapan "Selamat Ulang Tahun 1 Oktober 1965" datang ke kediaman Ahmad dan karangan bunga ini ditujukan untuk istrinya, Yayuk. Adapun yang mengirimnya adalah Ahmad sendiri, namun sosok itu entah dimana keberadaannya sekarang. Bunga itu membuat kedukaan yang dialami mereka hari itu semakin mendalam.

"Mas.. terima kasih dan sampai berjumpa lagi.." kata Yayuk sambil menangis memeluk karangan bunga yang merupakan hadiah terakhir dari suaminya itu.

Jasad Ahmad dan keenam jasad lainnya ditemukan 3 hari kemudian yaitu pada tanggal 4 Oktober 1965. Pada hari ulang tahun ke-20 ABRI tepatnya pada 5 Oktober 1965, jenazah-jenazah korban pengkhianatan PKI itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali Bata, Jakarta dengan upacara militer yang khidmat dan mengharukan. Bersamaan dengan itu, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 Ahmad Yani beserta rekannya dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi dan pangkat Ahmad Yani dinaikkan menjadi Jenderal Anumerta.

Hari itu anak-anak Letnan Jenderal Yani bolos sekolah seperti permintaan bapaknya. Namun, bukan untuk melihat parade Hari Jadi TNI, melainkan untuk mengantarkan bapaknya, Ahmad Yani ke tempat peristirahatan terakhirnya.. Bagi anak-anaknya, ia merupakan sosok yang penyayang, peduli, dan perhatian. Banyak kenangan yang sudah mereka lewati bersama dan itu merupakan hal yang berharga setelah kepergiannya. Sangat sulit bagi mereka untuk mengikhlaskan kepergian bapaknya, namun mereka yakin bahwa dimanapun Bapaknya berada, ia akan selalu ada di hati ke-8 anak-anaknya. Inilah kata-kata yang diucapkan anak-anaknya sewaktu di makam bapaknya.

"Bapak, terima kasih atas semuanya, selamat tinggal, pak.."

"Aku akan mengingat semua nasihat bapak, pak, aku janji!"

"Semoga kita bisa bertemu lagi ya, pak.."

"Bapak adalah sosok yang baik bagi kita, aku sayang bapak.."

"Aku tidak akan pernah melupakanmu, pak.. Terima kasih banyak.."

Ahmad Yani sudah berhasil menjadi pahlawan super seperti yang dicita-citakannya sewaktu kecil. Perjuangan semasa hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia takkan pernah bisa terlupakan. Tokoh Angkatan Darat dan ayah dari delapan anak itu memiliki prestasi yang cemerlang dalam militer.  Ia memiliki tiga belas buah tanda jasa berkat pengabdiannya kepada negara. Sosok yang disebut sebagai anak emas Soekarno ini meninggalkan banyak sekali jasa yang sangat berarti bagi kesatuan negara kita.

Kepergian bapaknya ini mengajarkan mereka apa arti hidup, kehilangan, dan kekuatan. Bahwa tidak semua yang bersama kita akan terus bersama kita, suatu hari mereka juga akan pergi meninggalkan kita. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, anak-anaknya masih sering mengunjungi makam bapaknya dan mendoakannya, karena Ahmad Yani lah sosok cinta pertama bagi putrinya dan figur pahlawan bagi putranya. Selamanya, sosok Ahmad Yani akan selalu terkenang di hati mereka dan tidak akan pernah terlupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun